Kotak Kosong
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca tanda-tanda yang ada pada Pemilihan Umum Kepala Daerah periode sekarang, banyak di negeri ini memiliki wilayah yang penyelenggaraannya harus menyediakan kotak kosong. Terlepas terjadinya kotak kosong itu karena terkondisi atau dikondisikan; namun tulisan ini mencoba melihat dari sisi lain tentang sekitar pilih-memilih itu.
Model pemilihan kotak kosong di Indonesia tidak dikenal pada masa penjajahan Belanda maupun Jepang. Fenomena “kotak kosong” dalam pemilihan, khususnya dalam konteks pemilihan kepala daerah (pilkada) di Indonesia, merupakan hal yang unik dan relatif baru dalam sejarah demokrasi Indonesia. Istilah ini muncul ketika dalam sebuah pemilihan hanya ada satu pasangan calon yang lolos verifikasi, sehingga kotak kosong menjadi pilihan alternatif di surat suara. Sejarah kotak kosong erat kaitannya dengan perubahan regulasi yang mengatur pemilihan kepala daerah di Indonesia. Untuk tulisan ini tidak memfokuskan pada peraturan dan sejarah perundang-undanganya, akan tetapi lebih pada hakekat dari suatu pilihan.
Hakikat suatu pilihan adalah keputusan yang diambil seseorang dalam menghadapi berbagai alternatif atau opsi yang tersedia. Pilihan merupakan bagian integral dari kehidupan manusia karena setiap tindakan yang kita ambil didasarkan pada keputusan yang diambil dari berbagai opsi yang kita pertimbangkan. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan beberapa aspek penting dari hakekat pilihan antara lain:
Pertama, Kebebasan dan Tanggung Jawab: Pilihan sering terkait dengan kebebasan untuk menentukan arah tindakan. Namun, dengan kebebasan ini datang tanggung jawab untuk menerima konsekuensi dari keputusan tersebut. Dengan kata lain, memilih itu adalah manisfestasi dari hakikat dasar manusia sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dan tanggungjawab secara sekaligus. Keduanya tidak dapat dipisahka. Termasuk memilih untuk tidak memilih dan kemudian ini diberi ruang dengan dimunculkannya kotak kosong untuk menampung. Sebab, itu adalah bentuk dari suatu pilihan.
Kedua, Kesadaran dan Pertimbangan: Dalam membuat pilihan, seseorang umumnya mempertimbangkan berbagai faktor seperti nilai, kepercayaan, informasi yang tersedia, dan dampak dari setiap opsi. Termasuk mewujudkan opsi itu dalam bentuk kotak kosong, karena kotak kosong adalah lambang nilai keterwakilan dari suatu pilihan. Secara filosofis keberadannya sah, karena itu merupakan lambang akan opsi tadi.
Ketiga, Konsekuensi: Setiap pilihan memiliki konsekuensi, baik yang diinginkan maupun tidak diinginkan. Oleh karena itu, memahami dampak dari setiap keputusan adalah bagian penting dari proses memilih. Hal inilah yang perlu disadarkan kepada setiap pemilih, termasuk dalam memilih apa pun. Keputusan memilih hanya karena ikut-ikutan teman adalah bentuk ketidakdewasaan dari pemilihnya. Manakala kemudian banyak yang memilih kotak kosong karena sebab ini, itu adalah merupakan konsekwensi dari adanya suatu pemilihan.
Keempat, Ketidakpastian: Tidak semua pilihan menghasilkan hasil yang pasti. Kadang-kadang, seseorang harus memilih tanpa mengetahui sepenuhnya hasil dari opsi tersebut. Keadaan ini banyak terjadi pada mereka yang hanya melihat pilihan sebagai suatu kuwajiban saja, tetapi tidak memahami hakikat apa yang dipilihnya. Kelompok-kelompok inilah yang dijadikan sasaran para pecundang politik untuk mendapatkan keuntungan dari suatu proses pemilihan.
Kelima, Etika dan Moralitas: Dalam banyak kasus, pilihan juga dipengaruhi oleh aspek moral atau etika, di mana seseorang mempertimbangkan apakah keputusan tersebut benar atau salah berdasarkan standar moral tertentu. Ruang inilah yang sering dilanggar oleh para peserta, termasuk penyelenggara. Bentuknya bisa permainan uang, baik langsung maupun tidak langsung. Dalam bentuk langsung biasanya dilakukan secara terang-terangan membagikan uang, tentu saja dibungkus dengan istilah-istilah moralis, seperti uang transportasi, uang tali kasih, uang sabun dan lain-lain lagi. Dalam bentuk tidak langsung, seperti mengakali peraturan yang mengatur penyelenggaraan pemilihan oleh panitia pemilih, tentu dengan tujuan memenangkan atau menguntungkan pasangan yang didukungnya karena sudah memberikan sesuatu atau janji akan sesuatu.
Secara keseluruhan, hakikat dari suatu pilihan melibatkan pertimbangan yang kompleks antara kebebasan, konsekuensi, dan nilai-nilai pribadi yang membentuk dasar pengambilan keputusan. Oleh karena itu jika keputusan pragmatis yang ditampilkan seperti “wani piro, entuk opo” (berani berapa dapat apa), posisi pengambil keputusan masih ada pada ranah tingkat rendah menurut teori hirarkhi kebutuhan oleh Maslow. Namun jika sudah berada pada konsekwensi apa yang dipikirkan akan suatu pilihan, maka pemilih model ini menurut teori yang sama, sudah ada pada aras tertinggi. Pertanyaannya yang tersisa berapa banyak pemilih yang ada pada level ini. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman