Membaca Pembaca
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kegiatan tulis-menulis di media masa sudah dimulai semenjak menjadi mahasiswa awal tahun 1970 an. Saat itu ada pada semester tiga dan aktif berorganisasi kampus, karena terbawa oleh darah muda yang menggebu ingin mengubah negeri ini menjadi lebih baik dalam satu malam. Pada masa itu ada upaya dari pemerintah orde baru untuk merestrukturisasi organisasi mahasiswa intra kampus, dengan dikenalkannya program BKK dan NKK yang dibungkus dengan slogan “menormalisasi” kehidupan kampus, akibat dari adanya gerakan MALARI singkatan dari Malapetaka Lima Belas Januari.
Mulai dari situ hasrat menulis dimedia massa kepunyaan mahasiswa universitas negeri tertua di Sumatera Selatan dimulai. Tulisan-tulisan opini yang terkesan “emosional” (jika diukur dengan parameter hari ini) , lahir di sana dengan sebelumnya berguru kepada Tokoh Pers nasional yaitu almarhum Bapak B.M.Diah dan Bapak Rosehan Anwar, melalui kegaiatn Dewan Mahasiswa pada jamannya. Hal ini sebenarnya adalah puncak dari “hukuman” yang selalu diberikan oleh orang tua dulu saat Sekolah Rakyat, jika mendapatkan nilai Bahasa Indonesia kecil; maka sesampai di rumah oleh Ortu diminta menulis apa yang dipikirkan dituangkan pada satu lembar kertas folio. Saat itu terasa sangat berat, namun ternyata buahnya ini. Harap maklum karena beliau mantan tentara pejuang, ya modal keras itulah yang dimiliki untuk mendidik anak-anaknya.
Seiring perjalanan waktu, jadilah menulis merupakan sarana untuk menuangkan buah pikiran dan analisis dari peristiwa yang dilihat. Semula bercakupan kecil menjadi sangat luas dan membahana. Hanya perbedaannya dahulu tulisan harus dituangkan dalam media cetak konvensional yang diawali dengan diketik terlebih dahulu pada kertas dan menggunakan mesin ketik jadul yang ribet; sementara sekarang diera modern ini semua sudah menjadi sangat praktis. Semua serba otomatis, praktis dan memudahkan urusan, tinggal berfikir, menulisnya. Bahan pendukung tulisan semula harus membaca buku dengan membongkar susunan buku di rak-rak, dan selalu berserak dimeja tulis; apalagi jika yang ditulis memerlukan referensi yang actual dan bernilai berita. Pernah suatu waktu saat menulis opini tentang pemindahan penduduk, maka dicarilah buku-buku lama yang berisi bagaimana gerak peta migrasi penduduk dengan teori pendukungnya. Tentu saja buku satu almari harus diturunkan hanya untuk menulis seribu limaratus kata sebagai bahan untuk diterbitkan dimedia cetak.
Berbeda dengan sekarang, kita hanya bermodal jaringan internet dan alat tulis canggih berupa Laptop, serta perpustakaan digital yang berserak; kita dapat berselancar dengan bebas di dunia maya; membongkar perpustakaan digital yang jutaan jumlah buku dan judulnya, dengan tidak keluar dari layar tinggal menggeser kursor. Kemudahan inilah yang membuat hasrat menulis semakin tidak terbendung, manakala menemukan fenomena disekitar, baik berupa peristiwa, atau buah pikiran yang terbaca di sosial media; dan bisa juga terpantik oleh peristiwa yang hangat sedang terjadi.
Lalu apa beda pembacanya saat konvensional dan digital. Ternyata saat konvensional kita tidak bisa cek apakah Koran ditangannya di buka atau dilipat, terus dibuang. Sementara media digital kita bisa cepat mengetahui apakah media itu dibaca atau di tinggal begitu saja. Bahkan pada media online ada yang menyediakan secara terbuka sudah berapa pembaca yang membuka laman itu dengan cepat dapat terditeksi.
Jika konvensional dulu ada rasa dan nuansa kejurnalistikan yang sulit untuk dibahasakan; karena hubungan antara media dengan pembacanya sangat kulturistik, bahkan cenderung fanatik. Sementara saat media digital seperti sekarang ini, rasa itu pudar, yang ada sangat personal dan mungkin emosional. Akibatnya hubungan itu mudah rapuh karena cenderung sesaat dan mudah berubah sesuai selera; atau suasana hati dengan penulisnya. Jika penulisnya dianggap kurang segaris dengan pemikirannya, maka tulisan itu terlewatkan begitu saja.
Pembaca sekarang yang sekaligus menjadi pemerhati setia sudah sangat sedikit, dan itupun adalah mereka yang paham akan kekinian dan konseptual. Sementara yang berdasarkan kepentingan personal, sedikit demi sedikit menjauh dan kemudian menghilang. Semula waktu menjadi pejabat dan mengampu matakuliah utama universitas, pembaca tulisan boleh dikatakan luar biasa banyaknya; karena mahasiswa seolah-olah ingin berebut berkomen ria kepada tulisan dosennya, walaupun terkadang komennya tidak ada hubungan dengan tulisan.
Begitu purna tugas dan pindah home base; maka berguguranlah pembaca dan terseleksi secara sistematis. Dahulu ada asisten dosen yang dengan setia menemani diskusi, mengedit, dan menemukenali persoalan sosial. Sekarang yang bersangkutan menghilang ditelan bumi, entah kemana. Saat dikirim tulisan yang sudah terbit, hanya dipandang dan entah dibaca atau tidak. Namun sebagai orang tua, tetap saja tulisan-tulisan terutama yang bernuansa filsafat selalu dikirim kepada beliau, dengan harapan bisa menjadi bekal dalam melangkah.
Ada lagi teman sesama ilmuwan bahkan guru besar, yang semula selalu bergairah untuk diskusi jika membaca tulisan yang baru terbit dengan bahasa-bahasa langit. Saat inipun terbang dari permukaan dan mungkin sibuk tidak sempat lagi berdiskusi atau membaca; walaupun bisa juga karena sebab lain. Sementara media sosialnya masih aktif; semoga beliau-beliau tadi tetap dalam lindungan Tuhan dan mendapatkan keberkahan dalam hidupnya.
Menariknya lagi banyak pembaca yang dahulu memberikan dorongan untuk terus berkarya, kini unjung jarinyapun sudah sangat malas untuk menyapa atau mungkin jarinya kram; dan pada umumnya ini dari mahasiswa program doctoral, yang tertinggal hanya hitungan sebelah jari tangan saja; itupun tidak cukup. Namun yang tertinggal ini justru sangat militant dalam hal memberikan komen; sebagai dosennya kebanggaan muncul dalam hati: semoga ilmu yang diberikan menjadi bermanfaat untuk mereka.
Akan tetapi ada yang menggembirakan, saat ini ada pembaca setia dari kalangan tenaga pengajar muda tersebar di banyak perguruan tinggi baik swasta maupun negeri diseantero negeri, semua mereka bergelar magister bahkan tidak sedikit yang bergelar doktor. Diantara mereka ada yang meminta bimbingan khusus bagaimana cara menulis dimedia dengan benar. Dengan sangat senang dan membanggakan mengajari mereka orang-orang pandai, cukup dengan olesan dua jam saja, tulisan-tulisan mereka menjadi sangat menarik dan layak terbit. Ada juga yang mengajak diskusi tentang filsafat manusia, yang menurut mereka menarik untuk didalami. Semua ini menunjukkan bagaimana gelombang kehidupan itu adanya: Yang pergi biarkan berlalu, yang datang tidak usah ditunggu.
Sesuatu yang sangat menggembirakan terjadi karena semua redaktur dari media online yang menerima tulisan, akan selalu mengedit dengan baik dan benar. Ini merupakan bentuk rasa sayang mereka kepada penulis yang diwujudkan dalam bentuk “mempoles” bahkan “mengganti” judul tulisan agar lebih merangsang untuk di baca. (Terimakasih Para Redaktur). Ditambah lagi ada anak muda yang selalu setia mengupload tulisan ke web lembaga dengan riang gembira, agar supaya tulisan-tulisan itu menjadi fenomenal kelak dikemudian hari. Terimakasih Anak Muda berjambang yang gesit dalam mengedit.
Menulis akan berhenti saat otak berhenti berfikir, berhentinya otak berfikir bersamaan dengan berangkatnya nyawa menuju si EMPUNYA. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman