Sepuluh Tahun yang Telah Berlalu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

inggu lalu saat sore menjelang senja, beristirahat rebahan ditempat yang memang tersedia untuk “menjalin pikir” menata inspirasi yang akan dinarasikan menjadi kata, kemudian teruntai menjadi kalimat. Tidak sengaja mendengar alunan lagu lawas yang sepenggal katanya menjadi judul tulisan ini. Namun bukan berarti ada kenangan pada lagu itu, hanya sekedar pengingat satu-satunya lagu yang hafal ya hanya itu, dengan kata lain “lagu jimat” yang jika terpaksa dikeluarkan ya hanya itu yang bisa.

Kita tinggalkan penggalan melankholik itu, namun ada narasi pikir yang lain perlu dikemukakan, yaitu mengapa harapan sepuluh tahun lalu yang kita percayakan kepada sosok pemimpin pilihan, tetapi disisa hari yang ada dan kita evaluasi; banyak hal yang tidak sesuai harapan. Memang manusia mahluk yang tidak sempurna, justru ketidaksempurnaannyalah yang meneguhkan dia sebagai manusia. Kita harus akui infrastuktur jalan dibangun dimana-mana; Sumatera nyaris tersambung dari Lampung sampai Aceh. Namun, mengapa masih banyak sisa tanya yang menggelayut di kepala; karena rerata tingkat pendidikan masyarakat masih tergolong rendah, ekonomi kelas bawah yang masih rentan, perilaku politik yang tidak layak untuk dicontoh; semisal memaksakan keluarga untuk dapat duduk pada kursi “penyelamat” dinasti, kelas menengah ekonominya mulai terancam, daya beli yang terus turun, modal asing dan pekerja asing merajalela di dunia pertambangan, dan masih banyak lagi.

Belum selesai itu, beberapa waktu lalu pelantikan anggota lembaga legeslatif dilangsungkan, muka-muka kaum muda bermunculan disela yang lama yang bertahan. Namun ada aroma tidak sedap di sana; hanya demi meloloskan cicit proklamator, ada dua calon anggota nomor urut di atasnya harus rela undur diri tidak ikut dilantik. Karpet merah untuk “Sang Cicit Proklamator” dibentang agar sampai ke Senayan. Apakah Sang Eyang di sana tidak menangis melihat perilaku penerusnya yang justru menabrak etika dan kepatutan yang sepanjang hidupnya beliau perjuangkan? Tinggal dari sudut mana kita memandangnya. Padahal diantara kita ada yang masih ingat bahwa sepuluh tahun yang lalu mereka-merakalah yang sangat gigih memperjuangkan demokrasi dan antidiinasti, bahkan teriak antinepotis paling kencang.

Berbagai analisis dilakukan untuk menilai periodesasi suatu kepemimpinan; tampaknya banyak hal yang harus kita perhatikan dengan seksama. Banyak variabel yang berkelindan di sana; terutama variabel kepentingan, dan untuk terus melanggengkan. Salah satu cara diantaranya adalah menerusgenerasikan “kursi” jabatan kepada anak turunannya. Bentuk nepotis seperti ini duapuluh tahun lalu sudah ditentang sampai menggoyang Senayan; ternyata hari ini di sana tumbuh subur benih-benih baru, dan bisa jadi itu adalah generasi penerus yang ikut menggoyang waktu itu. Tampaknya waktu itu menggoyang pohon yang berbuah masak, maka buahnya yang jatuh tak jauh dari pohonnya dan akan tumbuh menjadi penerusnya.

Apakah ada korelasi makin lama berkuasa maka akan merasa makin nyaman, dan makin berupaya untuk tidak berganti. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi : Korelasi antara lamanya seseorang berkuasa dengan keinginan untuk tidak mau berganti sering kali berkaitan dengan beberapa faktor yang saling mempengaruhi.

Beberapa faktor utama yang dapat menjelaskan korelasi ini adalah: Pertama, Kekuasaan yang Mengakar (Entrenchment of Power). Semakin lama seseorang memegang kekuasaan, semakin kuat posisinya dalam sistem politik dan institusi negara. Mereka memiliki lebih banyak kesempatan untuk mengendalikan institusi-institusi kunci, seperti militer, polisi, atau sistem peradilan, yang bisa digunakan untuk memperkuat cengkeraman terhadap kekuasaan. Hal ini membuat mereka lebih sulit untuk digantikan dan memberikan insentif untuk mempertahankan kekuasaan.

Kedua, Kepentingan Pribadi dan Kelompok (Self-Interest and Cronyism). Pemimpin yang lama berkuasa biasanya membangun jaringan pendukung yang terdiri dari keluarga, teman, atau kolega politik, yang juga mendapat manfaat dari status quo. Kelompok ini memiliki kepentingan yang kuat untuk mempertahankan pemimpin tersebut di posisi kekuasaan, karena kepergian sang pemimpin bisa berarti hilangnya akses mereka terhadap sumber daya atau posisi penting.

Ketiga, Ketakutan akan Balas Dendam atau Penuntutan (Fear of Retaliation or Prosecution). Pemimpin yang berkuasa dalam jangka waktu lama, terutama yang menggunakan metode otoriter atau melakukan pelanggaran hak asasi manusia, sering kali takut akan adanya pembalasan atau tuntutan hukum jika mereka meninggalkan kekuasaan. Ini membuat mereka cenderung enggan untuk mengundurkan diri atau menyerahkan kekuasaan secara sukarela.

Keempat, Legitimasi dan Pengkultusan Individu (Legitimacy and Personality Cult). Pemimpin yang lama berkuasa sering kali berusaha membangun citra diri sebagai figur yang tak tergantikan. Mereka mungkin mengklaim bahwa stabilitas negara atau kemajuan ekonomi hanya dapat dijamin dengan kehadiran mereka. Ini bisa menciptakan persepsi, baik di kalangan elit maupun masyarakat umum, bahwa penggantian pemimpin akan membawa ketidakstabilan atau krisis.

Kelima, Pengendalian Media dan Informasi (Control of Media and Information). Pemimpin yang lama berkuasa sering kali memiliki kontrol yang kuat atas media dan arus informasi. Mereka dapat menggunakan media untuk mempromosikan narasi bahwa mereka masih diperlukan atau tidak ada alternatif yang layak, sehingga memengaruhi opini publik dan memperkuat keinginan untuk terus berkuasa.

Keenam, Kecanduan Kekuasaan (Power Addiction). Kekuasaan bisa bersifat adiktif. Seorang pemimpin yang lama berada di posisi puncak mungkin merasa sulit melepaskan kendali karena mereka menikmati kekuasaan dan keuntungan pribadi yang datang bersamanya. Mereka mungkin juga merasa bahwa kekuasaan adalah identitas pribadi mereka dan enggan melepaskannya karena khawatir kehilangan pengaruh atau status.

Ketujuh, Krisis atau Ketidakstabilan sebagai Alasan (Crisis or Instability as a Pretext). Pemimpin yang lama berkuasa dapat menggunakan krisis, baik yang nyata atau diciptakan, sebagai alasan untuk tetap berkuasa. Mereka dapat mengklaim bahwa saat-saat sulit membutuhkan “pengalaman” mereka dan bahwa perubahan kepemimpinan akan berisiko besar bagi negara.

Lebih jauh dijelaskan bahwa dalam banyak kasus, lamanya berkuasa dapat memperkuat dorongan untuk tidak mau berganti, karena pemimpin tersebut telah membangun struktur politik dan kekuasaan yang sangat menguntungkan posisi mereka.

Pertanyaan apakah periodesasi seperti ini akan berulang setiap sepuluh tahun, karena masa kepemimpinan bisa dua periode. Kaji pikir seperti ini tampaknya “ngayuoro” (bahasa jawa = berangan terlalu tinggi); sehingga terkadang dianggap tidak waras, walaupun orang waras ditengah-tengah orang tidak waras, justru dirinya yang dianggap tidak waras. Wallahualam bishawab. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman