Transformasi Babi Ngepet, Teror dari Ketiak Kekuasaan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Membaca berita pada media yang digawangi HBM ini berkaitan dengan pelaporan akan kejadian Majalah Tempo yang dikirimi kepala babi tanpa telinga dan tikus tanpa kepala.
Dawai jiwa sebagai jurnalis bergetar menandakan kegemasan atas fenomena teror tersebut. Teringat kembali masa Orde Baru, setiap pemberitaan yang menyudutkan pemerintah harus berhadapan dengan satu kata: bredel.
Kata itu jadi momok saat itu, namun perubahan dalam bentuk teror kepala babi dan tikus tanpa kepala untuk mengintimidasi kerja-kerja jurnalistik sungguh sangat menjijikan sekali.
Sebagai orang yang pernah dididik dalam dunia jurnalistik langsung dari dua punggawanya, BM Diah dan Rosehan Anwar, tahun 1974-an, teror yang dapat katakan lebih kejam dibandingkan masa itu.
Dapat dianalogikan, jika babi ngepet untuk mereka yang ingin kaya tetapi tidak bekerja, cukup dengan “menjual dirinya” dengan para iblis. Tampaknya, babi ngepet era milenial ini untuk mencari harta dan tahta sekaligus.
Hanya bedanya, jika babi ngepet pesugijan minta bantuan mahluk lain, sementara yang sekarang justru berlindung di ketiak para penguasa dan pengusaha. Kemungkinan besar, mereka yang mengirim kepala babi dan tikus itu terusik oleh kekritisan Majalah Tempo.
TRANSFORMASI SIMBOL
Dalam banyak budaya, babi sering dikaitkan dengan kerakusan dan keburukan. Perubahan manusia menjadi babi dalam mitos ini bisa diartikan sebagai simbol bahwa seseorang yang mencari kekayaan dengan cara haram telah kehilangan kemanusiaannya dan berubah menjadi mahluk yang serakah.
Pengiriman kepala babi kepada institusi ini menunjukkan bahwa sang pengirim ingin menyampaikan pesan bahwa “dirinya pengecut dan tidak berani unjuk diri” oleh karena itu diwakilkan dengan kepala babi.
Berarti ini meneguhkan bahwa ketidakberanian sekaligus ketidakberadaban yang menyatu dalam diri si pengirim. Mengirim kepala babi kepada suatu institusi adalah tindakan simbolis yang bisa memiliki berbagai makna tergantung pada konteks budaya, sosial, dan politiknya.
Dalam banyak kasus, tindakan ini sering dikaitkan dengan ancaman, penghinaan, atau bentuk protes keras.
SIMBOL KETIDAKWARASAN
Dalam konteks tertentu, terutama di negara dengan mayoritas muslim atau bahkan Yahudi sekalipun, babi dianggap najis, mengirim kepala babi bisa dianggap sebagai bentuk penghinaan religius atau budaya.
Ini adalah bentuk ketidakwarasan yang berawal dari kepanikan karena “kerakusannya” yang buka kedoknya.
Dalam beberapa interpretasi, babi melambangkan keserakahan, korupsi, atau ketamakan. Bisa bermakna: “Institusi ini rakus dan busuk,” terutama jika institusi tersebut terkait dengan skandal atau kejahatan.
Oleh karena itu mengirimkan kepada pihak lain, itu sebenarnya adalah apa yang dimiliki sendiri oleh si pengirimnya.
Secara umum, ini adalah tindakan ekstrem yang bertujuan untuk memberikan efek psikologis yang kuat, baik berupa ancaman, penghinaan, atau perlawanan, kepada pihak lain yang tidak disukai; namun dengan cara-cara yang tidak beradab.
Oleh sebab itu menjadi aneh jika ada pejabat sekelas menteri berkata yang tidak seharusnya dia katakan saat diminta pendapat tentang ini.
Melalui tulisan ini ujuk keprihatinan ditujukan kepada seluruh insan pers bahwa ini adalah tindakan ketidakberadaban terhadap kita semua.
Terlepas apapun motifnya dan siapapun pelakunya, tetapi tindakan seperti sangat tidak elok dilakukan oleh manusia yang merasa dirinya masih sebagai manusia. Namun juga berarti peneguhan akan kebenaran apa yang sudah dikatakan oleh Tempo sebagai media melalui para jurnalisnya.
Mari kita rapatkan barisan untuk tetap kritis terhadap apapun yang menyimpang dari kaidah-kaidah dan norma-norma kehidupan. Sekali layar terkembang pantang surut kembali pulang. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman