Kalah Tidak Sakit, Menang Merasa Terbantu

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Subuh sepulang dari melaksanakan ibadah di musholah dekat rumah, melihat caption komentar dari seorang doktor pendidikan yang sekarang menjadi petinggi di daerah ini; dengan satu kalimat seperti judul di atas, setelah beliau membaca tulisan beberapa waktu lalu. Sontak semua itu membuat ingin menelusurinya secara filosofis dari hakekat diksi yang bijak itu.

Berdasarkan penelusuran literature digital ditemukan informasi sebagai berikut: Filosofi “Kalah tak tersakiti, menang merasa terbantu” mencerminkan sikap mental yang bijak dan harmonis dalam menghadapi persaingan atau konflik. Maknanya bisa dijabarkan sebagai berikut: Kalah tak tersakiti → Jika mengalami kekalahan, seseorang tidak merasa sakit hati, dendam, atau terpuruk. Kekalahan diterima dengan lapang dada sebagai pelajaran dan pengalaman untuk berkembang lebih baik.

Menang merasa terbantu → Jika menang, seseorang tidak merasa sombong atau merendahkan lawan, melainkan menyadari bahwa kemenangan tersebut juga berkat adanya pihak lain, termasuk lawan yang memberikan tantangan dan pembelajaran.

Filosofi ini menanamkan semangat sportivitas, kesadaran diri, dan kebijaksanaan dalam berkompetisi. Baik menang maupun kalah, yang utama adalah proses dan pembelajaran yang didapat. Ini selaras dengan prinsip “menang tanpa ngasorake” dalam budaya Jawa, yang berarti menang tanpa merendahkan atau menyakiti lawan.

Filosofi ini mengajarkan bahwa tindakan individu tidak terjadi dalam ruang hampa, tetapi berpengaruh pada keluarga dan masyarakat. “Kalah tak tersakiti, menang merasa terbantu” juga menekankan bahwa kemenangan atau kekalahan bukan hanya urusan pribadi, tetapi terkait dengan hubungan sosial dan bagaimana seseorang dihormati oleh orang lain. Oleh sebab itu filosofi ini juga mengandung pemaknaan kesadaran akan konsekuensi tindakan dan pentingnya menjaga harmoni dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain filosofi ini mengajarkan kita juga untuk tetap berjiwa besar dalam kekalahan dan rendah hati dalam kemenangan.

Namun pada tataran praksis topic di atas tidak mudah untuk dibumikan, apalagi disederhanakan; karena seperti disinggung di atas bahwa perilaku individu itu bukan berada pada ruang hampa; banyak variabel yang berkelindan di sana. Salah satu diantaranya adalah adanya kelompok petualang yang berperilaku pecundang. Karena kelompok ini salah satu karakternya adalah hidup di dua alam; alam konflik dan alam damai. Jika konflik terjadi mereka harus mendapat keuntungan, jika damai terjadi mereka harus dapat kedudukan.

Oleh sebab itu agar kelompok pecundang tidak berkembang, perlu dibangun: ruang diskusi yang sehat tanpa saling menyalahkan. Gunakan pihak ketiga sebagai mediator jika perlu. Fokus pada solusi, bukan pada siapa yang benar atau salah. Akan tetapi semua ini pada tataran teori; sementara pada tataran praksis ialah ada pada kesadaran diri, atau kedewasaan diri untuk menyelesaiakan persoalan apapun dengan pola” menang bersama”. Dan, jika itu dapat diwijudkan maka akan terjadi dinamika yang sehat, tidak ada dendam diantara pelaku.

Negeri ini tidak bisa dibangun dengan cara apapun jika para penyelenggara negerinya hanya sibuk mencari kesalahan fihak lain, karena ingin menyalurkan hasrat untuk membalas dendam. Padahal sudah seharusnya menyudahi pertikaian dan mencari kesamaan untuk membangun beradaban. Menang wasyukurilah, kalah alhamdullilah; adalah perwujudan dari ketinggian dan keteguhan akan keimanan dalam menjalankan syareat ketuhanan.

Kita tidak perlu mengirimkan kepala binatang kepada orang yang mengkritik kita, karena bisa jadi apa yang dikatakan benar adanya. Namun juga kita tidak perlu terlalu jumawa menjadi pengkritik paling keras, kalau kita tidak pernah juga memberikan solusi yang bijak. Dengan kata lain di dalam hak itu ada kuwajiban; dan, di dalam kuwajiban itu ada hak yang harus ditunaikan. Semoga diujung bulan suci ramadhan ini kita dapat menemukenali kembali diri kita, siapa kita, dari mana kita, akan kemana kita; apakah bekal perjalanan kita menuju kemana kita sudah mencukupi. Bisa jadi selama ini kita hanya mengejar fatamorgana kehidupan yang tidak pernah berakhir. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman