“Kontemplasi” Yang Tersisa Dari Ramadhan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat dikejauhan berkumandang takbir penanda berakhirnya bulan suci ramadhan, selepas isya’ duduk seorang diri sambil menikmati lantunan pujian kebesaran yang sayup-sayup terdengar. Jika menilik usia sekarang berarti sudah lebih dari tujuh puluh kali mendengar pujian dahsyat itu. Dan, ternyata sudah banyak teman-teman yang tidak sempat menikmati lagi alunan suci itu.
Berkontemplasi seperti ini membuat jalannya fikir makin jauh; lalu apa itu kontemplasi. Dari kenakalan berfikir ini mendorong untuk menelusuri lorong-lorong filsafat yang membahasnya. Dalam filsafat, berkontemplasi berarti merenung secara mendalam dan penuh perhatian terhadap suatu konsep, realitas, atau kebenaran tertentu. Kontemplasi bukan sekadar berpikir biasa, tetapi melibatkan pemusatan pikiran yang mendalam untuk mencapai pemahaman yang lebih esensial atau transendental.
Makna berkontemplasi dalam berbagai tradisi filsafat:
Filsafat Yunani Kuno – Plato dan Aristoteles menganggap kontemplasi (theoria) sebagai aktivitas intelektual tertinggi yang memungkinkan manusia mendekati kebenaran dan kebijaksanaan. Bagi Aristoteles, kontemplasi adalah bentuk kebahagiaan tertinggi karena menghubungkan manusia dengan aspek ilahi.
Filsafat Timur – Dalam ajaran filsafat timur, kontemplasi sering dikaitkan dengan meditasi dan kesadaran penuh (mindfulness), yang bertujuan mencapai pencerahan dan pemahaman akan hakikat realitas.
Filsafat Abad Pertengahan – Para filsuf seperti Agustinus dan Thomas Aquinas melihat kontemplasi sebagai cara untuk memahami Tuhan dan mencapai kesatuan spiritual dengan-Nya.
Eksistensialisme dan Fenomenologi – Heidegger dan Sartre menekankan kontemplasi sebagai cara untuk memahami keberadaan (being) dan kesadaran diri dalam dunia. Singkatnya, berkontemplasi adalah proses berpikir mendalam yang tidak hanya mencari jawaban rasional tetapi juga pengalaman langsung terhadap makna keberadaan dan kebenaran.
Dalam filsafat Islam, kontemplasi (tafakkur atau muraqabah) memiliki makna yang lebih mendalam, yaitu sebagai proses perenungan terhadap hakikat keilahian, alam semesta, dan diri sendiri. Kontemplasi dalam Islam tidak hanya bersifat intelektual tetapi juga spiritual, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah dan memahami realitas yang lebih tinggi.
Tafakkur (Pemikiran Mendalam). Tafakkur adalah aktivitas berpikir mendalam yang dianjurkan dalam Al-Qur’an. Allah sering kali memerintahkan manusia untuk merenungkan tanda-tanda-Nya di alam semesta. Para filsuf seperti Al-Farabi dan Ibnu Sina menggunakan tafakkur untuk memahami hubungan antara Tuhan sebagai Wujud Wajib (eksistensi niscaya) dan ciptaan-Nya.
Muraqabah (Kesadaran akan Kehadiran Tuhan). Dalam tasawuf, kontemplasi sering dikaitkan dengan muraqabah, yaitu kesadaran penuh bahwa seseorang selalu diawasi oleh Allah. Tokoh seperti Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa kontemplasi membawa manusia pada tingkat ma’rifat (pengetahuan hakiki tentang Tuhan). Melalui dzikir dan meditasi Islam, seseorang dapat mencapai fanā’ (peleburan diri dalam Tuhan) dan baqā’ (kehidupan spiritual yang kekal).
Ishraq (Pencerahan Spiritual). Filsuf Suhrawardi, dalam filsafat iluminasi (Hikmah al-Ishraq), menyatakan bahwa kebenaran sejati dapat dicapai melalui kontemplasi dan pencerahan batin, bukan hanya melalui logika rasional. Proses ini disebut sebagai penyinaran (tajalli), di mana cahaya Ilahi menerangi hati dan akal manusia.
Wujudiyah (Eksistensialisme Islam). Ibnu Arabi dalam filsafat wujud (wahdatul wujud) menyebut bahwa kontemplasi membawa manusia pada kesadaran bahwa segala sesuatu adalah manifestasi dari Tuhan. Kontemplasi dalam konteks ini bukan hanya merenungkan Tuhan sebagai sesuatu yang terpisah, tetapi menyadari keberadaan-Nya dalam seluruh aspek kehidupan.
Kontemplasi dalam filsafat Islam adalah sarana untuk memahami Tuhan, eksistensi, dan hakikat diri. Ia menggabungkan aspek rasional dan spiritual, sehingga menjadi jembatan antara akal dan hati. Melalui tafakkur, muraqabah, ishraq, dan wujudiyah, seorang muslim dapat mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang realitas dan tujuan hidupnya. Oleh karena itu tidak salah jika kita merenungkan secara kontemplatif dari pendapat filosof islam terbesar pada jamannya yang mengatakan “belajar tasawauf bukan untuk menjadi alim; Apalagi merasa diri suci. Belajar tasawuf itu sejatinya untuk lebih mengenal kelemahan dan keburukan hati sendiri, karena tanpa tasawuf kita akan sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang lain”.
Pertanyaan tersisa apakah puasa yang baru selesai kita laksanakan sudah mencapai tataran seperti pada uraian di atas. Tentu jawabannya sangat subyektif karena hanya Tuhan dan diri-lah yang mengetahui. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman