Nakal
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Dalam filsafat, makna “nakal” dapat ditinjau dari berbagai perspektif tergantung pada konteks dan aliran pemikiran yang digunakan. Berikut adalah beberapa sudut pandang yang bisa digunakan untuk memahami konsep “nakal”:
1. Etika dan Moralitas
Etika Aristotelian: Aristoteles berbicara tentang “keutamaan” (virtue) sebagai jalan tengah antara dua ekstrem. “Nakal” bisa dianggap sebagai perilaku yang menyimpang dari kebajikan, tetapi tidak selalu buruk jika itu merupakan ekspresi dari kebebasan atau keberanian dalam batas yang tepat.
Sementara itu Utilitarianisme (Jeremy Bentham & John Stuart Mill): Tindakan “nakal” dinilai berdasarkan dampaknya terhadap kebahagiaan atau penderitaan. Jika kenakalan meningkatkan kebahagiaan tanpa merugikan orang lain, maka bisa dianggap netral atau bahkan positif.
Dari kacamata Deontologi (Immanuel Kant): Dari perspektif Kantian, “nakal” bisa dianggap sebagai pelanggaran terhadap kewajiban moral yang universal, terutama jika itu bertentangan dengan prinsip moral yang harus dijunjung tinggi oleh semua orang.
2. Eksistensialisme dan Kebebasan Individu.
Jean-Paul Sartre: “Nakal” bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi kebebasan individu. Jika seseorang bertindak “nakal” untuk menegaskan keberadaannya (existence precedes essence), itu bisa menjadi bentuk perlawanan terhadap norma sosial yang menekan.
Friedrich Nietzsche: Dalam konsep “Übermensch” (Manusia Unggul), “nakal” bisa menjadi simbol penolakan terhadap moralitas budak dan penciptaan nilai-nilai baru yang lebih sesuai dengan kehendak pribadi dan kekuatan diri.
3. Perspektif Sosial dan Budaya
Dalam filsafat postmodernisme (misalnya Michel Foucault), “nakal” bisa dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap struktur kekuasaan yang mengontrol individu. Apa yang dianggap “nakal” sebenarnya bisa menjadi alat untuk membongkar norma-norma yang menekan kebebasan manusia.
4. Perspektif Mistisisme dan Spiritualitas Timur
Dalam filsafat Timur seperti Taoisme, “nakal” bisa dipandang sebagai ekspresi spontanitas dan harmoni dengan dao (jalan alam). Jika kenakalan dilakukan dengan kesadaran akan keseimbangan, maka itu bukanlah sesuatu yang negatif, melainkan bentuk permainan yang alami dalam kehidupan.
Secara umum, “nakal” dalam filsafat bukan sekadar tindakan melawan norma, tetapi juga bisa menjadi simbol kebebasan, kreativitas, atau bahkan refleksi kritis terhadap aturan sosial. Maknanya tergantung pada bagaimana tindakan itu dipahami dalam konteks moral, sosial, atau spiritual.
Sayangnya tidak semua kita, termasuk penguasa; yang mau memahami eksistensi berfikir nakal. Justru kebanyakan terjebak pada perilaku nakal; padahal keduanya sangat berbeda makhomnya. Oleh sebab itu berfikir nakal adalah karunia keilahian yang dilimpahkan kepada manusia; termasuk kepada sedikit jurnalis , termasuk didalamnya HBM.
Sementara perilaku nakal adalah hasil proses interaksi kehidupan yang salah duduk. Tidak salah jika ada tokoh bihavioris yang mengatakan bahwa “orang pandai itu adalah mereka yang diberi kelebihan oleh Tuhan untuk berfikir nakal”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman