Datang dan Pergi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Mendapat kiriman berita duka dari seorang sahabat yang ibunda tercintanya meninggal dunia, atau dalam budaya Jawa dikenal dengan “lelayu”; tentu secara otomatis meluncur doa untuk almarhum semoga surga tempatnya, diampuni segala dosanya, dan dilipatgandakan ganjaran amal sholehnya. Peristiwa itu membangkitkan kenangan mendalam kepada almarhum dan almarhumah kedua orang tua dahulu yang pergi menghadap Sang Khalik beriringan, dengan selisih waktu tiga hari pada tahun 2006 dalam usia 106 Tahun dan 98 tahun.

Ternyata semua itu menunjukkan bukti bahwa dunia ini bagai “bandara besar” yang menampung penumpang datang dan pergi/berangkat. Ada yang harus menunggu lama karena pesawat yang harus ditumpangi belum tiba; namun ada juga yang baru tiba langsung naik pesawat berangkat ke tujuannya. Adapun jeda waktu masing-masing penumpang itu berbeda-beda; juga pesawat yang dinaiki dengan maskapai penerbangan yang tidak sama pula. Ada yang datang dan berangkat dengan “maskapai” yang sama; namun ada juga datang dan pergi dengan maskapai yang berbeda.

Berdasarkan penelusuran literatur digital diksi “datang dan pergi, dunia bagai bandara” dalam filsafat adalah pernyataan yang sangat bermakna dan bisa ditafsirkan secara mendalam. Diantara makna dari kalimat ini ialah:

1. Filsafat sebagai sesuatu yang dinamis
Kalimat ini menggambarkan bahwa filsafat tidak pernah diam—ia datang dengan pertanyaan, pergi dengan jawaban (atau sebaliknya), lalu datang lagi dengan pertanyaan baru. Seperti di bandara, di mana orang-orang datang dan pergi, demikian pula ide-ide filsafat: tak pernah menetap selamanya, selalu berganti, selalu dinamis. Oleh karena itu jika mereka yang sudah ada pada wilayah filsafat, tidak pernah berhenti memikirkan hakekat sesuatu, setiap peristiwa dan kejadian apapun namanya.

2. Dunia sebagai tempat perlintasan
Mengibaratkan dunia sebagai bandara menunjukkan bahwa hidup ini sementara, tempat singgah saja. Dalam konteks ini, filsafat hadir untuk memberi makna dalam “transit kehidupan” ini. Tapi sebagaimana di bandara, filsafat pun tidak permanen; ia bisa datang saat kita sedang mencari arah, lalu menghilang saat kita merasa “sudah sampai”.

3. Keterasingan dan pencarian makna
Bandara juga bisa diartikan sebagai tempat di mana orang asing berkumpul—tidak ada yang benar-benar tinggal di sana. Ini bisa mencerminkan rasa keterasingan manusia di dunia, dan filsafat adalah “penumpang” yang datang menemani dalam waktu tertentu, memberi refleksi atau kejelasan, lalu pergi lagi.

4. Kritik terhadap konsumerisme ide
Kalimat itu juga bisa dibaca secara lebih sinis: bahwa kini filsafat diperlakukan seperti komoditas yang “datang dan pergi”, bukan lagi sebagai jalan hidup, tapi sebagai tren, seperti orang lalu-lalang di bandara—cepat, instan, dan seringkali tanpa kedalaman.
Oleh karena itu tidak heran jika di bandara besar ini “penumpang” nya bertingkah macam-macam; ada yang duduk manis dengan segala perenungannya, ada yang asyik dengan dirinya sendiri, ada yang mengejar barang-barang branded dalam etalase, ada yang bersendagurau, dan masih banyak lagi. Oleh karenanya ada penumpang yang begitu menikmati seolah tidak akan “pergi” dari sana, ada yang ingin sekali cepat berangkat karena sudah lelah ataupun jenuh, ada juga yang biasa-biasa saja; namun tidak sedikit yang tidak tahu harus berbuat apa.

Semua akan menaiki pesawatnya masing-masing setelah ada “panggilan” akan keberangkatannya. Dan, panggilan itu tidak dapat ditunda sejenakpun, karena jadwal yang ada bersifat permanen sekaligus imanen. Tidak ada seorangpun pengantar yang bisa masuk ke dalam “pesawat”; semua persoalan harus diselesaikan sendiri.

Demikian halnya yang dibawa; ada penumpang yang membawa begitu banyak bawaan, namun tidak sedikit yang hanya berlenggang karena merasa diri yakin dengan “kartu sakti” yang ada di sakunya. Merasa “amalnya” sudah cukup sebagai bekal untuk menuju tujuan; namun ada juga yang was-was apakah “kartu”nya bisa menyelesaikan segala persoalan, penumpang yang model begini hanya pasrah akan takdirnya. Dan, masing-masing penumpang akan sibuk dengan dirinya sendiri, sekalipun itu suami istri, kakak adik, saudara. Seolah ada sekat diri pada masing-masing dalam melanjutkan “perjalanan abadi” itu.

Tidaklah salah peringatan dini yang ditulis oleh para winasis terdahulu “jangan terlalu pusing memikirkan dunia, sampai sampai membuat tidak sadar kalau sebenarnya kita sedang antri untuk meninggalkannya”. Kalau sudah begini pertanyaan tersisa “masihkah kita harus berebut dengan isi dunia, yang jelas-jelas akan kita tinggalkan jika waktunya tiba”. Masihkah kita terus mengejar fatamorgana dunia hingga lupa akan darah daging kita yang semua nanti akan dimintai pertanggungjawabannya. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman