Viral, antara Ilusi dan Prestasi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Akhir-akhir ini jagad dunia maya berkembang begitu pesat, baik isi maupun ragamnya. Teknologi informasi tampaknya sedang tumbuh dan berkembang begitu pesat, karena memudahkan suatu peristiwa menyebar luas tanpa tenggang waktu yang cukup lama. Lima belas tahun yang lalu hal seperti ini baru merupakan mimpi bahkan ilusi; walaupun sudah diberi peringatan dini, banyak pihak tidak percaya bahkan abai akan dekade ini.
Begitu pesat perkembangan teknologi, sehingga dapat dimanfaatkan oleh siapapun, dengan maksud apapun, sehingga menjadikan apa saja menjadi terbuka untuk diketahui oleh siapa saja. Sekat-sekat sosial, jarak, waktu; sudah bukan menjadi hambatan; justru menjadi momentum untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Sehingga dari kepala daerah sampai orang biasa, atau bukan siapa-siapa dapat membuat dan kemudian mengunggahnya untuk dapat diviralkan.
Saat ini sedang menjadi “hias layar” Gubernur, Bupati, Pemuka Agama, ahli mekanik, pemerhati, pendidik , menampilkan acara singkatnya dengan harapan apa yang diinginkan cepat menyebar luas di tengah masyarakat melalui dunia maya. Atas nama “mengedukasi masyarakat” mereka mengejar rating sekaligus mendapatkan imbalan dari penyelenggara media. Oleh sebab itu ada diantara mereka mendapatkan penghasilan yang cukup besar dari kegiatan seperti ini.
Lebih jauh kita menelisik tentang ini; bersumber dari berbagai pustaka digital ditemukan informasi secara filosofis sebenarnya makna dari Ungkapan “prestasi apa ilusi” mengandung pertanyaan mendalam tentang makna dan nilai dari apa yang kita sebut sebagai prestasi. Berikut beberapa interpretasi dan makna yang bisa ditarik:
1. Pertanyaan tentang Makna Sejati Prestasi
Ungkapan ini mengajak kita untuk merenungkan apakah pencapaian yang kita raih atau yang dinilai oleh masyarakat benar-benar mencerminkan keberhasilan yang hakiki. Dengan kata lain, apakah apa yang kita anggap sebagai “prestasi” hanyalah suatu konstruksi atau gambaran ilusi, yang pada akhirnya tidak memiliki substansi atau arti mendalam dalam kehidupan?
2. Kritik Terhadap Standar Sosial
Di era modern, standar keberhasilan sering kali diukur dari pencapaian materiil, pengakuan sosial, atau reputasi. Ungkapan ini bisa dilihat sebagai kritik terhadap kecenderungan tersebut, yaitu bahwa:
Nilai Prestasi Relatif: Apa yang dianggap sebagai prestasi bisa berbeda-beda tergantung pada norma sosial dan budaya yang berlaku.
Superfisialitas: Penghargaan dan pencapaian yang terlihat cemerlang di permukaan belum tentu mencerminkan kualitas, dedikasi, atau kebahagiaan sejati seseorang.
3. Refleksi atas Realitas dan Harapan
Ungkapan ini juga mengandung dimensi reflektif, mengajak setiap individu untuk: Pertama, mengevaluasi Tujuan Hidup: Apakah pencapaian yang dikejar hanya untuk memenuhi ekspektasi eksternal atau memang sejalan dengan nilai dan keinginan pribadi?. Kedua, menerima Ketidaksempurnaan: Di balik sorotan gemerlap prestasi, ada realitas kehidupan yang kadang tak seindah penampilannya. Hal ini mengingatkan kita bahwa tidak semua pencapaian bersifat permanen atau benar-benar “nyata.”
4. Mengajak pada Pemikiran Kritis
Dengan mengajukan pertanyaan “prestasi apa ilusi”, kita didorong untuk: Pertama, mempertanyakan Sistem Penilaian: Bagaimana kita mengukur kesuksesan? Apakah melalui pencapaian yang tampak atau melalui proses dan pertumbuhan pribadi?. Kedua, mengutamakan Makna Personal: Mungkin pencapaian yang sejati adalah yang memberi kepuasan batin dan memberikan dampak positif, bukan semata-mata pengakuan dari pihak luar.
Secara keseluruhan, ungkapan “prestasi apa ilusi” merupakan undangan untuk menilai ulang arti sebenarnya dari kesuksesan dan pencapaian. Ini menantang kita untuk berpikir apakah pencapaian yang kita kejar hanyalah bayangan yang dibentuk oleh harapan dan norma sosial, ataukah merupakan realitas yang bermakna dalam konteks kehidupan dan nilai-nilai pribadi. Ungkapan ini membuka ruang untuk diskusi mengenai bagaimana kita mendefinisikan keberhasilan dan apakah kita sebaiknya mencari kepuasan dari dalam diri daripada terpaku pada standar yang dibentuk oleh masyarakat.
Tak terbayangkan sebelumnya bahwa setiap momen peristiwa saat ini dapat seketika diunggahsiarkan kepada khalayak maya; sehingga apapun kejadiannya bisa dengan cepat merambatsebar keseluruh penjuru. Namun sayangnya banyak diantara kita tidak sadar bahwa apapun peristiwanya akan membuat penilaian berbelah tiga; pertama yang mendukung, kedua netral, ketiga antipati. Diksi yang dipilihpun tidak jarang membuat terperangah pembacanya, karena sering dengan pilihan yang fulgar; bahkan seolah tak bernorma. Tetapi itulah kenyataan dunia maya, manakala kita tidak siap menghadapinya, lebih baik cukup membaca dan melihatnya. Pengambilan jarak aman seperti inipun bukan berarti kita terbebas dari emosi. Oleh sebab itu pendewasaan berfikir harus terus kita lakukan agar tidak terjebak kepada kesesatan berfikir; sehingga kita masih waras untuk membedakan mana prestasi dan mana yang hanya ilusi. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman