Jalani, Nikmati, Syukuri
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Saat memandang temaramnya senja diufuk barat, menanti munculnya senjakala; dalam konsep jawa waktu seperti ini disebut “wayah surup” dan akan muncul warna semburat merah dilangit dan itu disebut “candikolo”. Pada jaman dahulu mewajibkan para pengembala untuk memasukkan semua ternak masuk kekandang, anak-anak sudah harus masuk rumah karena dipercaya banyaknya penyakit yang berterbangan. Namun bagi mereka yang sedang “laku batin” saat seperti ini adalah waktu mawas diri akan kebesaran Illahi. Merefleksi diri dengan menjalani kehidupan, menikmati apapun prosesnya, dan mensyukuri apapun hasilnya.
“Jalani, Nikmati, dan Syukuri” adalah tiga dimensi pandangan hidup yang sederhana tapi dalam maknanya. Ini bisa dipahami sebagai cara menghadapi kehidupan dengan sikap yang penuh penerimaan, kesadaran, dan rasa syukur. Filusuf sekelas Al Ghazali dan Djalaludin Rumi membahas ketiganya dengan sangat dalam dan berisi. Rumi pernah menulis demikian: ”Jalani: seperti sungai yang tak menolak batu, Nikmati: seperti mawar yang tetap mekar walau berduri, Syukuri: seperti bintang yang diam-diam memuji malamnya”. Sementara Al-Ghazali menulis “”Orang yang bersyukur bukan hanya berkata ‘alhamdulillah’, tetapi mereka yang menjadikan nikmat sebagai jalan menuju Allah.” Jika kita telusuri melaalui papan digital yang ada, maka ditemukan kajian mendalam secara filosofis dari ketiganya. Mari kita jelajahi satu-persatu:
1. JALANI: Hidup dan Takdir
Al-Ghazali; Menekankan ikhtiar (usaha) sebagai bentuk tanggung jawab manusia. Setelah itu, baru tawakkal dan ridha. Pandangannya logis dan seimbang: manusia punya peran dalam menentukan hidup. Seolah berkata: “Jalani dengan sadar dan tanggung jawab.”
Rumi: Menekankan pasrah total dan “menari” bersama irama takdir. Mengalir seperti sungai dalam kehendak Tuhan. Dan, beliau lebih mistik dan puitis dalam bersurat: “Jangan lawan hidup, biarkan Tuhan yang menuntunmu.”Seolah berkata: “Jalani dengan cinta dan biarkan Tuhan menari melalui dirimu.”
2. NIKMATI: Makna Kebahagiaan
Al-Ghazali; Nikmati hidup secara zuhud: tidak melekat pada dunia, tapi tetap menikmati yang halal. Kenikmatan hakiki adalah dalam penyucian jiwa (tazkiyah) dan dekat dengan Allah. Seolah berkata: “Nikmati yang perlu, sisanya tinggalkan.”
Sedangkan Rumi bermetafor: Nikmati hidup sebagai bentuk ekstasi cinta Ilahi. Semua keindahan dunia adalah pantulan Tuhan. Kenikmatan adalah ketika hati larut dalam kerinduan kepada Sang Kekasih (Tuhan). Seolah berkata: “Nikmati segalanya, karena semuanya adalah tanda dari-Nya.”
3. SYUKURI: Rasa Terima Kasih
Al-Ghazali: Syukur adalah ilmu, hati, dan amal. Bukan cuma merasa, tapi harus nyata dalam tindakan. Syukur harus diiringi dengan pengendalian diri agar tidak kufur nikmat. Dan, seolah berkata: “Syukur itu tanggung jawab.”
Rumi: Syukur adalah tarian jiwa, ekstasi batin yang merayakan kasih Tuhan. Syukur bisa datang bahkan dari penderitaan, karena sakit pun adalah cara Tuhan mendekat. Seolah berkata: “Syukur itu mabuk cinta.”
Titik Temu Keduanya adalah: Sama-sama menekankan hati yang bersih dan tujuan hidup menuju Tuhan. Sama-sama melihat dunia sebagai tempat ujian, bukan tempat tujuan akhir. Bedanya adalah: Ghazali menjaga batas, Rumi melampaui batas—secara metaforis, tentu saja.
Lalu apa yang dapat kita petik sebagai pembelajaran dari keduanya; terlepas dari kelemahan dan keunggulan masing-masing; kita menemukan benang merah bahwa Ghazali seperti guru bijak yang membimbing dengan aturan dan kebijaksanaan. Sedangkan Rumi seperti penyair gila cinta yang menarik kita ke dalam tarian semesta.
Persoalannya sekarang bahwa budaya yang tumbuh dan berkembang saat ini tidak memberikan ruang yang cukup untuk menyemaikan bibit filsafat dalam kerangka fikir rohani pada generasi yang ada. Lembaga pendidikan yang diandalkan untuk tempat bersemainya paradigma berfikir atas dasar filsafat, ternyata tidak ditemukan. Akhirnya produk yang ada hasilkan hanya “para tukang” yang siap mencari kerja, tetapi tanpa paradigma. Sehingga saat mereka tidak menemukan “materi” yang disublimasikan sebagai rejeki, maka pilihan yang ada hanya korupsi.
Falsafah negeri yang telah digali oleh para pendahulu negeri dari akar budaya bangsa, kini hanya ada dialmari museum sebagai penanda bahwa “pernah ada pendidikan masif tentang filsafat negeri” pada masa lalu. Pendidikan masal disertai tekanan memang tidak perlu, karena harus melalui proses penyadaran diri yang berkelanjutan. Namun ironisnya dua-duanya sekarang tidak ditemukan, justru yang ada pembiaran dan sebagai penghias bibir saat pidato untuk bernostalgia dengan masa lalu. Akibatnya banyak pihak bagai biduk hilang kemudi, saat berlayar semua mau dilanggar. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman