Hanya Perantara

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Idhul fitri telah lama berlalu, tetapi meninggalkan kenangan dari seorang sohib yang dalam satu acara keluarga beliau berkomentar bahwa kita manusia ini hanya “perantara” dari satu sistem besar yang Tuhan ciptakan. Manusia hanya elemen kecil dari satu sistem dengan tugas tertentu untuk melakukan hal tertentu dalam sub sistem tertentu, dari sistem besar yang ada. Sohib tadi menjelaskan dari berbagai pandangan, yang tidak mungkin diuraikan pada media ini, di samping tidak cukup ruang juga tidak elok tempat. Namun untuk sekedar memahami dari sedikit kulit ari yang ada tentang ini, maka ada beberapa referensi yang dapat kita jadikan tempat berpijak analisis; namun perlu disadari dari awal tentu semua masih bisa diperdebatkan, karena itulah esensi dari filsafat. Adapun pandangan tadi antara lain sebagai berikut:

1. Filosofi Keberadaan dan Keterhubungan
Dalam banyak tradisi filsafat, realitas sering dipahami sebagai sesuatu yang terus berubah dan saling terhubung. Jika sesuatu disebut “hanya perantara”, ini berarti keberadaannya bukan tujuan akhir, melainkan bagian dari suatu proses yang lebih besar.

2. Epistemologi (Teori Pengetahuan)
Dalam teori pengetahuan, pemahaman manusia sering bergantung pada simbol, bahasa, atau konsep yang bersifat perantara antara realitas sejati dan kesadaran manusia. Misalnya, kata-kata dan konsep dalam bahasa hanyalah alat (perantara) untuk memahami dunia, bukan realitas itu sendiri. Dengan kata lain realitanya itu digambarkan melalui bahasa.

3. Etika dan Tanggung Jawab
Dalam etika, seseorang yang menganggap dirinya “hanya perantara” mungkin merasa tidak bertanggung jawab atas akibat dari tindakannya, karena ia hanya menjalankan peran dalam sistem yang lebih besar. Namun, dalam pandangan lain, kesadaran bahwa seseorang adalah perantara bisa mendorong sikap rendah hati dan pengabdian. Tidak ingin berbuat semena-mena karena dia harus bertanggung jawab kepada sipemberi peran sebagai perantara.

4. Filosofi Keberadaan dalam Konteks Mistis atau Spiritual
Banyak tradisi spiritual percaya bahwa manusia hanyalah perantara antara dunia material dan dunia spiritual. Dalam ajaran Sufisme, manusia sering dianggap sebagai perantara antara Tuhan dan alam, yang bertugas menjaga keseimbangan. Dengan demikian pada sudut pandang ini; “hanya perantara” bisa bersifat pasif (mengurangi tanggung jawab) atau aktif (memahami peran dalam sistem yang lebih besar). Dalam filsafat, ini mengarah pada pemahaman tentang keterhubungan, keterbatasan, dan hakikat eksistensi.

Kalau kita bumikan semua hal di atas dapat menggunakan kerangka berfikir kiyai Maimun Zubaeir yang mengatakan “jangan merasa berjasa bagi orang lain, karena kita hanyalah perantara dikehidupan orang lain”. Konsep filsafat ini bisa dimaknai bahwa manusia bukan pemilik mutlak dari apa yang ia miliki, lakukan, atau capai. Sebaliknya, kita hanyalah saluran atau perantara dari sesuatu yang lebih besar. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa dibumikan dalam beberapa aspek berikut:

1. Dalam Pekerjaan dan Karier
Alih-alih menganggap keberhasilan sebagai hasil mutlak usaha pribadi, kita bisa melihatnya sebagai amanah yang harus diteruskan untuk kebaikan bersama. Misalnya: Seorang guru menyadari bahwa ilmu yang ia ajarkan bukan miliknya, tetapi titipan yang harus ia bagikan kepada murid-muridnya. Demikian juga seorang pemimpin tidak mencari kemuliaan pribadi, melainkan melihat dirinya sebagai penghubung bagi kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya. Dia tidak lebih sebagai pengatur antara yang membutuhkan dengan yang dibutuhkan.

2. Dalam Harta dan Kekayaan
Filosofi ini mengajarkan bahwa harta bukan sepenuhnya milik kita, melainkan hanya titipan yang harus dikelola dengan bijak dan digunakan untuk berbagi. Misalnya: Sedekah dan berbagi rezeki menjadi bagian dari kesadaran bahwa kita hanyalah perantara kebaikan. Oleh karena itu semakin kita banyak melakukannya, maka kebaikan akan kita tuai sebagai hasil.

3. Dalam Ilmu dan Pengetahuan
Pengetahuan yang kita peroleh bukan untuk disimpan sendiri, tetapi untuk disebarkan dan dimanfaatkan bagi banyak orang. Seorang penulis, seniman, atau ilmuwan harus memahami bahwa karya mereka adalah hasil dari pengalaman, inspirasi, dan kontribusi banyak pihak sebelumnya dan merupakan rangkaian panjang tak terputuskan.

4. Dalam Kehidupan Sosial
Filosofi ini membantu kita tidak merasa sombong atau terlalu melekat pada peran kita. Dalam hubungan sosial: Seorang orang tua harus menyadari dan memahami bahwa anak bukanlah miliknya, tetapi amanah yang harus dibimbing dengan cinta dan kebijaksanaan. Demikian halnya dalam menolong orang lain, kita tidak merasa lebih tinggi, tetapi sadar bahwa kita hanyalah perantara rezeki atau solusi bagi mereka.

5. Dalam Spiritualitas
Banyak ajaran kepercayaan yang menekankan bahwa manusia hanyalah perantara kehendak Tuhan. Ini mendorong kita untuk lebih rendah hati dan berserah diri dalam menjalani hidup.

Pada akhirnya, menerapkan konsep “kita hanya perantara” mengarahkan kita untuk lebih ikhlas, rendah hati, dan tidak terlalu melekat pada ego. Kita berusaha sebaik mungkin dalam hidup, tetapi juga sadar bahwa segala sesuatu mengalir melalui kita, bukan dari kita, dan bukan pula milik kita. pemahaman akan esensi kehidupan ini memang tidak mudah, memerlukan pengalaman batin yang panjang; namun tetap bisa dicapai bagi mereka yang memahami akan proses. Semoga kita mendapatkan kebajikan setelah kita berpuasa ramadhan berikut syawal pada waktu lalu, dan, diberi kesempatan untuk berjumpa dengan ramadhan serta syawal yang akan datang. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman