Harimau vs Perambah, Mencari Ujung Kain Sarung Dalam Kawasan Hutan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Tulisan Herman Batin Mangku (HBM) yang apik tentang persahabatan antara “Si Raja Hutan” dengan “Si Raja Negeri” membangkitkan memori masa kecil saya pengalaman “berinteraksi” dengan harimau liar di kebun karet orangtua kami tahun 1950-an.

Pada masa itu, saya dan abang saya diajak ayah kami pergi ke kebun melalui jalan setapak selama enam jam. Selain membawa bekal atau stok makanan, ayah menyelipkan senjata api saat dirinya jadi gerilyawan kemerdekaan RI.

Kami ke kebun untuk menyulam tanaman karet yang mati dengan tanaman baru, istirahat setelah Salat Ashar. Begitu menjelang malam, kami mandi di sungai kecil yang tenang dan jernih, tidak lupa mengambil air dengan bambu.

Malamnya, kami menginap dan tidur di dangau (rumah kecil) dengan tiang yang tinggi sekali. Untuk mencapai selasar, kami naik tangga tempel yang terjal dan serunya tanpa pegangan tangan.

Setelah Salat Isya, sebelum tidur, ayah membakar kayu besar yang kering di bawah dangau untuk penerangan, mengusir nyamuk, dan kehangatan. Kami sudah terbiasa seperti itu.

Namun malam itu, ada sesuatu yang “aneh” di bawah dangau kami. Kami mendengar suara. Dari celah pelepah (dasar lantai dari bambu yang dicacah), dibantu bulan purnama, kami melihat ada apa di bawah tempat istirahat kami.

Betapa terkejut dan merindingnya, ternyata ada “Si Mbah”, sebutan kami untuk harimau. Ayah berbisik agar jangan berisik dan bergerak yang dapat menarik perhatian “Si Mbah”.

Menjelang pagi, suara kokok ayam hutan terdengar dari kejauhan dan kawanan babi yang melintas di bawah dangau. Si Mbah melesat mengejar kawanan babi masuk hutan belantara.

Kisah ini menjadi pengalaman yang tak terlupakan bagi saya seumur hidup. Setelah pagi melanjutkan aktivitas, siangnya Ayah mengajak kami pulang.

Dalam perjalanan pulang, Abang bertanya kenapa tidak ditembak saja? Ayah menjawab “jangan ganggu karena kita punya wilayah masing-masing untuk mencari makan”.

Sambil berjalan pulang Ayah menceritakan etika berapa di tengah hutan dan bagaimana harus selalu menjaga hubungan baik dengan apapun yang ditemukan di rimba raya.

Dari sana kami paham, kenapa Ayah jika berburu tidak sembarangan memilih sasaran. Seperti ketika ketemu kawanan rusa, Beliau akan membidik rusa yang telah tua dan membiarkan Induk serta anak-anak rusa untuk lolos dari bidikan senjatanya.

Pada saat mencari ikan, Beliau tidak pernah menggunakan putas (racun ikan yang dibuat dari tumbukkan akar tumbuhan tertentu) agar anak-anak ikan bisa tetap hidup dan keseimbangan lingkungan terpelihara.

Bahkan, Beliau pernah akan menembak seorang warga yang menangkap ikan menggunakan bahan peledak (dinamit). Beruntung, warga tadi mengakui kesalahan dan pergi meninggalkan sungai.

Kembali ke pokok persoalan, apa yang dilakukan HBM untuk menarasikan bagaimana kegagalan para pemangku kepentingan dalam menjaga hutan telah terjadi di daerah ini, Provinsi Lampung.

Tentu menimbulkan pertanyaan, apa kerja para pendahulu yang memiliki banyak fasilitas dan kekuasaan untuk mengatur sampai kecolongan ada ribuan orang merambah hutan terlarang alias register.

Sampai, pada masa Gubernur Poedjono Pranyoto, dia memindahkan ribuan perambah lewat program yang tidak murah demi menyelamatkan lingkungan dan ternyata ada yang kembali lagi masuk kawasan.

Adanya wacana program yang sama saat ini, kelemahan program era Gubernur Poedjono harus menjadi pengalaman agar kawasan hutan TNBBS bisa bebas dari pengrusakan. Jika tidak, sama halnya mencari ujung kain sarung. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman