Yang Engkau Cari dan Yang Mencari Engkau
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Terik matahari di awal kemarau tidak harus menjadi penghalang menghadiri acara resepsi pernikahan anak bungsu teman yang Guru Besar pada universitas ternama di negeri ini. Memang waktu diambil setelah selesai dhuhur agar tidak tergesa-gesa, dan semua berjalan lancar sesuai rencana. Di tempat acara justru bertemu dengan sohib-sohib lama yang jika tidak menghadiri acara seperti ini sangat sulit untuk berjumpa. Selesai acara formal dilanjutkan dengan ijin undur diri menerobos terik matahari. Pada daerah perlambatan kendaraan terlihat pasangan usia lanjut sedang menarik dan mendorong gerobak untuk mencari barang bekas. Terbayang bagaimana susahnya hidup ini untuk mencari sesuap nasi harus kerja keras seperti itu; andaikata diminta untuk bertukar peran, sudah pasti patik tidak akan mampu melakoninya. Mereka mengais rezki halal yang entah di mana ditebar Tuhan untuknya; sambil menjalankan kendaraan perlahan terbayang bagaimana rezki itu kita harus cari di muka bumi ini.
Pada saat itu terbayang pendapat Rabiah Al-Adawiyah tentang rezeki sangat erat kaitannya dengan konsep zuhud dan cinta sejati kepada Allah. Sebagai seorang sufi perempuan ternama dari abad ke-8, beliau memandang rezeki bukan hanya sebagai hal duniawi seperti harta, makanan, atau jabatan, tetapi sebagai bagian dari kehendak dan pemberian Allah yang harus diterima dengan penuh tawakal dan syukur.
Rabiah percaya bahwa rezeki setiap makhluk sudah ditentukan oleh Allah, sehingga manusia tidak perlu khawatir secara berlebihan tentangnya. Yang penting adalah menjalankan tugas dan ibadah kepada Allah dengan ikhlas. Beliau dikenal karena menolak hadiah atau pemberian dari para penguasa karena takut hatinya terikat pada dunia. Rezeki yang berlebihan dikhawatirkan bisa membuat seseorang lalai dari mengingat Allah.
Baginya, keimanan yang sejati mencakup keyakinan bahwa Allah akan mencukupkan kebutuhan hamba-Nya. Oleh karena itu, beliau sangat menekankan sikap qana’ah dan tawakal dalam menghadapi kehidupan. Dalam banyak doanya, Rabiah tidak meminta surga atau takut neraka, tetapi hanya menginginkan cinta Allah. Maka baginya, rezeki spiritual seperti ketenangan hati, keikhlasan, dan cinta ilahi jauh lebih berharga daripada kekayaan materi.
Sementara itu Jalaluddin Rumi, penyair sufi besar dari abad ke-13, memiliki pandangan yang sangat dalam dan filosofis tentang rezeki. Dalam ajarannya, rezeki bukan hanya berupa materi, tetapi juga mencakup kebijaksanaan, cinta, cahaya ilahi, dan pemahaman spiritual. Berikut beberapa poin utama dari pandangan Rumi tentang rezeki: Rumi percaya bahwa Allah mencurahkan rezeki kepada setiap makhluk sebagai bentuk kasih sayang-Nya. Setiap makhluk menerima apa yang sudah ditakdirkan untuknya, dan tidak ada satu pun yang bisa mengambil rezeki orang lain. Rumi berkata: “Jangan khawatir tentang rezekimu. Tidak akan ada yang bisa mengambil apa yang ditakdirkan untukmu.”
Meskipun percaya pada takdir, Rumi tidak menganjurkan pasif. Ia menekankan pentingnya usaha, tapi usaha itu harus dibarengi dengan kepasrahan (tawakal). Dalam puisinya, dia sering menggambarkan usaha manusia sebagai pelayaran, sedangkan arah angin dan ombak ditentukan oleh Tuhan. Bagi Rumi, rezeki yang paling mulia adalah penyadaran hati, kebijaksanaan, dan rasa cinta kepada Tuhan. Dalam banyak puisinya, dia menekankan bahwa manusia seharusnya tidak sibuk mengejar rezeki duniawi semata, karena kekayaan sejati adalah kebersamaan dengan Tuhan. Rumi berpesan: “Carilah yang tidak akan pudar, karena dunia dan semua isinya adalah pinjaman.” Dalam ajaran Rumi, kepuasan batin (qana’ah) jauh lebih penting daripada kelimpahan materi. Orang yang hatinya penuh cinta dan syukur tidak akan merasa kekurangan meskipun secara lahiriah sederhana.
Imam Al-Ghazali berbeda lagi cara pandangnya; melalui karya-karyanya seperti Ihya Ulum al-Din, beliau membahas rezeki dari sudut pandang syariat, filsafat, dan tasawuf. Al-Ghazali menegaskan bahwa setiap makhluk sudah dijamin rezekinya oleh Allah. Namun, dia juga menjelaskan bahwa manusia tetap diperintahkan untuk berusaha karena usaha adalah bagian dari sunnatullah. Pandangan beliau yang terkenal mengatakan “Rezeki itu terbagi dua: yang engkau cari dan yang mencari engkau. Rezeki yang engkau cari tidak akan datang kecuali dengan usaha. Tapi rezeki yang mencari engkau, akan datang meski engkau duduk diam.”
Al-Ghazali menolak pandangan ekstrem, baik yang mengatakan harus pasrah total tanpa usaha, maupun yang berlebihan dalam mengandalkan kerja tanpa bergantung pada Allah. Ia menekankan bahwa manusia harus berusaha (kasb), tetapi tetap yakin bahwa hasilnya di tangan Allah. Ucapan Al-Ghazali yang monumental adalah “Tawakal bukan berarti meninggalkan usaha, tapi menyerahkan hasilnya kepada Allah.”
Sama seperti para sufi lainnya, Al-Ghazali membedakan antara rezeki lahiriah (makanan, pakaian, harta) dan rezeki batiniah (ilmu, keimanan, hikmah). Ia bahkan menyebut rezeki batin sebagai bentuk rezeki yang lebih mulia dan langgeng. Menurut beliau orang yang tidak qana’ah akan selalu merasa miskin, walaupun hartanya melimpah. Ia menekankan bahwa rezeki sejati adalah yang mendatangkan ketenangan hati dan mendekatkan diri kepada Allah. Oleh sebab itu beliau berpesan “Kekayaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, tapi pada sedikitnya keinginan.” Al-Ghazali mengingatkan bahwa rezeki yang banyak bukan selalu tanda cinta Allah. Sebaliknya, kadang itu adalah ujian. Yang penting adalah bagaimana seseorang mengelola dan bersikap terhadap rezeki itu.
Lamunan mendadak pudar karena saat memundurkan kendaraan memasuki teras rumah mendadak roda belakang membentur pembatas. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman