Si Pandir dan Pendusta Gabung, Intelektualitas Tumbuh Moralitas Mundur

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu, seorang sohib jurnalis senior Lampung yang kami sering panggil HRW mengirimkan satu tulisan yang jadi inspirasi penulisan opini ini. Selain. respon terhadap keprihatinan banyak pihak yang peduli terhadap pendidikan tingg daerah ini yang banyak area abu-abu.

Area abu-abu tersebut yang kadang terkesan sengaja diciptakan agar yang bukan circle nya tidak betah dan ingin keluar dari ketidaknyamanan area tersebut. Untuk circlenya, area abu-abu itu yang bisa “dimainkan” buat keuntungan gengnya.

Salah satu eksesnya, berdasarkan penyelusuran informasi dan literature digital ditemukan informasi bahwa di tengah harapan besar akan pendidikan sebagai pencerah peradaban malah berhadapan dengan kenyataan pahit.

Kenyataan pahit, bagaimana kebohongan semakin canggih, sistematis, dan sering kali datang dari mereka yang bergelar tinggi. Mereka menjelma jadi penipu dan manipulator bersertifikat doktoral, pendusta berseragam institusi, dll.

Mereka bicara dengan tenang, penuh data, bahkan dengan referensi ilmiah. Tapi, di balik semua itu, kebohongan tetaplah kebohongan. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.

Sistem pendidikan kita banyak mengajarkan apa yang harus dipahami, tapi jarang menyentuh mengapa kita perlu bertanggung jawab secara etis. Intelektualitas tumbuh, tapi moralitas kering.

Tak heran, kita melihat orang-orang dengan gelar akademik tinggi justru menjadi bagian dari jaringan korupsi, pembenaran kebijakan zalim, atau promotor disinformasi. Mereka tidak bodoh—justru terlalu pintar.

Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.

Tapi kepintaran yang dilepaskan dari nurani, hanya menghasilkan kecerdasan tanpa arah. Dan karena mereka cerdas, kebohongan mereka pun sulit dibantah. Mereka tahu cara merancang narasi, memelintir istilah, menyembunyikan motif pribadi di balik jargon profesionalisme.

Inilah dunia kita sekarang: saat kebodohan diejek, tapi kebohongan dimaklumi. Ketika rakyat tertipu, kita menyalahkan mereka karena tak cukup kritis. Tapi ketika pemimpin atau pejabat berbohong dengan rapi, kita memujinya sebagai “pandai bersiasat”.

Citra telah mengalahkan isi. Gelar lebih dipercaya daripada hati nurani. Dan semakin canggih seseorang, semakin besar potensi ia menjadi pendusta yang tak terdeteksi.
Kita saat ini butuh pendidikan yang bukan hanya mencetak ahli, tapi juga manusia.

Yang mengajarkan cara berpikir, bukan hanya cara menjawab soal. Yang mendorong keberanian bertanya, bukan hanya ketundukan pada otoritas. Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang jujur.

Dalam masyarakat yang sehat, orang semacam itu harusnya yang paling kita percayai. Ada yang salah dengan cara kita mendefinisikan “orang pintar”. Kita menganggap cerdas itu cukup dengan menguasai teori, bisa menjawab soal ujian, atau berbicara fasih di forum.

Kita lupa bahwa kecerdasan tanpa karakter hanyalah pisau tajam tanpa gagang—mudah melukai, sulit dikendalikan.
Sistem pendidikan kita, baik formal maupun informal, masih terlalu fokus pada kemampuan kognitif.

Nilai ujian lebih dihargai daripada keberanian mengakui kesalahan. Siswa yang patuh lebih dipuji daripada yang kritis. Dalam jangka panjang, sistem ini membentuk generasi yang pintar memanipulasi sistem, tapi gagap ketika diminta jujur atau bertanggung jawab.

Tak heran jika banyak dari lulusan terbaik justru terjebak dalam praktik curang, baik dalam riset akademik, pelayanan publik, hingga politik. Mereka tidak bodoh. Mereka tahu persis apa yang mereka lakukan. Tapi karena tidak diajarkan untuk peduli pada kebenaran, mereka menganggap kebohongan hanyalah bagian dari strategi bertahan.

Solusi dari semua ini bukan sekadar memperbanyak kelas logika atau debat. Kita butuh pendidikan yang mengakar pada nilai, pada integritas, pada keberanian berkata “saya salah”. Kita perlu ruang belajar yang menghargai pertanyaan jujur lebih dari jawaban sempurna.

Tak ada yang salah dengan menjadi pintar. Dunia memang butuh orang-orang cerdas untuk menyelesaikan masalah kompleks.

Tapi jika kecerdasan hanya digunakan untuk menipu, merugikan orang lain, dan menyelamatkan diri sendiri, maka itu bukan prestasi—itu pengkhianatan.

Maka, sebelum kita memuji seseorang karena gelarnya, tanyakan dulu: apa yang ia perbuat dengan kecerdasannya? Apakah ia memperbaiki hidup orang banyak, atau sekadar memperkaya dirinya sendiri? Karena hari ini, dunia tidak kekurangan orang pintar. Yang langka adalah orang pintar yang masih jujur.

Tampaknya si pandir dan pendusta berkerja makin mesra sampai mereka lupa bahwa jejak digital tidak bisa dihapus begitu saja. Bisa jadi perilaku sekarang adalah sambungan dari jilid yang kemarin, hanya beda orang dan waktu, tetapi kelakuan persis sama.Guru Besar Universitas Malahayati Lampung. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman