Tinta Sudah Kering, Kerta Sudah Tiada, Liptop Tergadai Pula

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pagi itu ikut mengantri di salah satu pusat layanan kendaraan, daerahnya di perbatasan kota, tepi jalan utama. Baru saja duduk ada kiriman masuk lewat piranti dalam saku, ternyata kiriman dari sahabat di Indonesia Timur; setelah dibuka-mata terbelalak–karena mengirimkan potongan berita yang mewartakan adanya pejabat negara konoha diduga korupsi sebesar 220 triliun rupiah. Tidak terbayang berapa jumlah angka nol dibelakannya. Negeri ini memang unik. Kalau kita bicara soal birokrasi dan korupsi, jangan harap kita akan menemukan cerita-cerita biasa. Kita seperti menonton sinetron dengan episode tanpa akhir, di mana setiap babaknya selalu lebih dahsyat dari yang sebelumnya.

Bisa dibayangkan berapa banyak tandatangan dibubuhkan untuk menyetujui agar uang sebesar itu keluar, dan sipenandatangan tidak benar-benar membaca isi; yang penting sudah “beres”; setelah amplop lewat tangan kanan. Tidak peduli apakah tinta yang untuk digunakan tandatangan sudah kering, yang penting tetap menghasilkan yang “basah”.

Bukan hanya tinta yang kering, kertas pun katanya sudah habis. tetapi, kertas habis di sini bukan berarti mereka tidak punya bahan untuk menulis, melainkan mereka tidak peduli akan isi tulisan. Di banyak kantor, laporan hanya dicetak untuk memenuhi kewajiban administratif. Soal apakah laporannya benar itu urusan belakangan. Asal ada tanda tangan dan cap basah, sudah cukup. Yang penting kan laporan sudah “dicetak”, entah isinya bohong atau tidak.

Liptop yang tergadai adalah gambaran dari pejabat yang sudah kehilangan harga diri. Tapi jangan salah, harga diri itu bisa dijual dengan harga mahal; kalau yang membeli memang punya uang lebih. Liptop bukan cuma tas kerja, tapi simbol martabat. Ketika liptop sudah tergadai, itu artinya pegawai terpaksa menjual martabat mereka demi sesuap nasi dan segenggam berlian. Bayangkan hutan lindung disertifikat, itu jelas oleh pejabat; dan bukan oleh rakyat.

Korupsi sudah seperti napas di negeri ini. Tanpa korupsi, mungkin sebagian orang akan bingung mau ngapain. Karena korupsi seolah-olah sudah jadi bagian dari kebiasaan, budaya, bahkan “tradisi” yang diwariskan. Dan, korupsi bukan hanya soal uang, tetapi juga soal waktu, tenaga, dan harapan yang dicuri; bagaimana tidak jika artikel ilmiah-pun ditukangi yang berujung dengan “mengambil” uang negara dengan cantik. Kita semua tahu pejabat suka bilang, “Kita sedang berjuang melawan korupsi.” Tapi kenyataannya, “berjuang” itu biasanya berarti berjuang cari cara supaya korupsi tetap jalan dengan tertib, rapi, dan tidak ketahuan. Uang ketok palu, uang sukses, uang pengaman; semua itu adalah bahasa rahasia yang dipakai untuk menyamarkan transaksi “resmi” dalam proyek-proyek yang dijadikan sasaran korupsi.

Bayangkan saja: sebuah proyek bisa “jalan” bukan karena kualitas dan kebutuhan, tapi karena sudah ada “uang sukses” yang diberikan. Kalau tidak, siap-siap proyek mandek dan pekerjaan jadi berantakan. Lebih runyam lagi jika kepentingan politik masuk pada wilayah ini; sekelas pejabat tinggi negara dengan seenaknya mengatakan “uangnya sudah dibagi, dan disaksikan oleh anaknya”. Seolah-olah adagium “yang bayar paling mahal, dapat kontrak. Yang tidak bayar proyeknya mangkrak”, ada benarnya.

Korupsi memang mengalir deras ke kantong segelintir orang, tetapi yang menanggung beban adalah jutaan orang. Kalau ditanya, “Apa yang bisa kita lakukan?” jawabannya memang sulit, tapi tidak mustahil. Paling tidak kita bisa memulai dari hal kecil: jangan ikut-ikutan menerima suap, jangan diam saat melihat penyimpangan, dan dukung mereka yang berani bersuara.

Negeri ini masih punya harapan; tetapi harapan itu tidak datang dari tinta yang kering, kertas yang habis, atau liptop yang tergadai. Harapan itu datang dari kita semua yang masih punya nyali dan hati nurani. Persoalannya apakah masih ada keberanian untuk menyatakan sikap hati nurani. Tentu jawabannya tidak sesederhana membalikkan telapak tangan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman