Piting

Oleh: Sudjarwo

Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kata ini sebenarnya “biasa-biasa saja” tidak bermakna apapun kalau hanya diposisikan sebagai makna kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Juga bagi anak-anak kecil di Jawa, khususnya Jawa Tengah, kata inipun menjadi istilah dalam permainan sehari-hari. Namun menjadi berubah makna manakala dimasukkan dalam wilayah epistemology dan axiology; karena berubah wilayah yang menjadi tujuan dan kegunaan sebagai esensi atas dipilihnya kata itu.

Sementara pengguna diksi juga akan memberikan bobot makna dari kata “piting” yang dipakai. Jika itu anak-anak yang sedang bermain, maka tentu penggunaan berwilayah pada permainan yang penuh senda gurau. Namun jika itu diucapkan oleh petinggi negeri yang memiliki pasukan, maka makna berubah menjadi perintah. Dan seterusnya sesuai dengan tokoh sentral pengungkap kata tadi.

Tentu saja kata bermakna menjadi tidak masuk akal jika diucapkan oleh mereka yang ada pada posisi tidak untuk mengucapkan itu. Sebagai contoh kata “binatang” tidak bermakna apa-apa kecuali hanya menunjuk mahluk; sementara menjadi berbeda jika itu diucapkan oleh seorang ayah yang sedang marah dengan nada tinggi kepada anaknya, disertai hardikan yang menggelegar.

Dampak dari ucapan-pun menjadi perhatian serius; sebab jika dampaknya melukai personal, masih mungkin bisa meminta maaf. Menjadi berbeda jika dampaknya melukai hati kolektif, maka bisa jadi akan memiliki dampak lanjut yang tidak jarang berakibat fatal. Apalagi permintaan maaf itu disertai dengan narasi pertahanan diri, pembenaran, dan berujung ancaman. Hal ini menunjukkan ketidaktulusan dalam bersikap apalagi berbuat akan maaf, justru sebaliknya menunjukkan kekerdilan sipengucap.

Kita bisa bayangkan jika tindakan itu dikenakan kepada rakyat jelata yang mempertahankan haknya, apapun alasannya, tindakan kekerasan adalah bukan satu-satunya cara untuk menghadapi. Sebab banyak contoh negosiasi-negosiasi konstruktif dapat dibangun untuk dapat digunakan sebagai sarana keputusan bersama. Justru narasa-narasi primordial hanya menyesatkan lambang-lambang komunikasi, yang pada ujungnya menjadi berhadap-hadapan itu-pun hanya membela pemilik modal.

Tampaknya kita harus mereferensi kembali ajaran-ajaran lampau untuk menjadi pemimpin pada level manapun, sebab akhir-akhir ini sering kita jumpai kesesatan berfikir akibat ketidakmampuan logika dalam menemukenali persoalan-persoalan kemasyarakatan yang semakin kompleks. Dan, ditambah lagi dengan tuntutan keadaan akan penguasaan teknologi yang semua sudah menggunakan piranti canggih.

Perlu juga dipahami sekarang ada masyarakat baru yang hadir di dunia ini yang dikenal dengan nitizen. Masyarakat ini tidak dalam bentuk nyata, tetapi dalam bentuk maya, yang memiliki tingkat solidaritas sangat tinggi, dan kemampuan menekanpun luar biasa. Oleh sebab kita tidak bisa lagi bersembunyi manakala berurusan dengan masalah orang-perorang, apalagi jika itu kolektif. Demikian halnya dengan ucapan, perbuatan siapapun kita, bisa terjadi menjadi viral; dan jika sudah seperti ini, maka sudah tidak ada lagi yang bisa dirahasiakan, dan atau ditutup-tutupi. Justru yang terjadi kita akan dikuliti oleh mereka tanpa mengenal ampun.

Pemerintah bukanlah “penjajah baru” dalam konteks moral, akan tetapi perangkat pelayanan kepada rakyat; sebab pemerintah setiap lima tahun sekali harus memperbaharui mandatnya dihadapan rakyat. Pemerintah bisa silih berganti, tetapi suara rakyat adalah abadi sepanjang masih ada negeri. Oleh sebab itu mari jaga negeri ini dengan salah satu diantara caranya adalah jangan lukai hati rakyat.

Pembangunan yang ide awalnya mensejahterakan, selalu memiliki dampak. Menyakitkan sekali justru manakala dampak itu justru menyengsarakan rakyat, lebih-lebih rakyat diposisikan sebagai korban. Sebagai contoh dampak dari pembangunan kereta cepat, ternyata menyisakan berapa ribu hektar lahan pertanian yang tidak produktif lagi karena lahannya rusak tertimbun material bekas bangunan jalan. Berarti ada kemiskinan baru di sana yang tercipta. Jangan pula akibat “piting” nanti akan ada pengangguran baru, dan jika mereka memilih untuk migrasi, kemudian memilih menjadi warganegara tetangga, jangan salahkan mereka; karena kita telah memporakporandakan marwah mereka. (SJ)