Kereta Terakhir

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu mendapat berita duka dari handai tolan lama yang mengabarkan bahwa teman baik seperjuangan dalam kehidupan meninggal dunia. Berita ini membuat sedikit shock karena pembuktian akan tesis bahwa kematian itu datangnya bukan atas daftar urut, akan tetapi daftar cabut. Karena, jika di lihat dari usia, sahabat tadi masih jauh lebih muda dari penulis, jika dilihat dari kesehatan fisik almarhum memiliki riwayat kesehatan cukup baik. Namun, seperti yang dipesankan orang-orang terdahulu bahwa kematianmu bukan urusanmu.

Dari peristiwa di atas ternyata ada yang menarik saat pengangkatan jenazah atau biasa disebut katil atau keranda; disiapkan untuk almarhum sebagai kedaraan terakhirnya menuju alam keabadian. Lapis kasur dibentang di keranda dengan dialasi karpet lembut sebelum jenazah diletakkan. Betapa selesainya semua urusan dunia jika kita mau merenung bahwa semua kita akan menaiki kendaraan terakhir seperti ini.
Duduk di sisi penulis beberapa sohib yang secara serius menceritakan kebaikan-kebaikan almarhum semasa hidupnya jika berkaitan dengan urusan kemasyarakatan. Bahkan saat ada calon anggota legeslatif membagikan sekedar tali kasih, beliau maju ke depan mengatakan bahwa tali kasih tadi sebaiknya diberikan kepada mereka yang layak menerima saja secara ekonomi. Begitulah kepedulian beliau akan sesama. Bahkan beliau selalu memanfaatkan lahan kosong untuk ditanami singkong sekedar agar kelihatan bersih dan asri. Manakala pemilik tanah datang dan konfirmasi, beliau dengan ringan menjawab “Saya membersihkan dan menanami saja agar kelihatan bagus, dan tidak ingin memiliki tanah karena itu tidak akan saya bawa mati”. Tentu saja pemilik menjadi tersipu malu karena tidak mampu merawat hartanya.

Namun, ternyata tidak semua kita menyadari bahwa kita nantinya akan menaiki “Kereta Terakhir” menuju alam keabadian. Buktinya masih banyak diantara kita bermain patgulipat saat diberi amanah. Kecenderungan itu akhir-akhir ini tampak nyata didepan mata; bagaimana rumus penjumlahan menjadi berubah dari yang seharusnya. Bagaimana kelangkaan pangan dialaskan kepada gejala alam, padahal akibat perilaku kita yang tidak bisa mengontrol dan membedakan mana konsumsi dan mana produksi. Lebih parah lagi dicarikan alasan dengan mengkambinghitamkan kebijakan orang lain yang tidak mendukung. Pepatah lama mengatakan “tak pandai menari dikatakan lantainya yang licin”; tampaknya sempurna untuk menggambarkan ini semua.

Kereta terakhir itu sebenarnya sudah termasuk paket pesanan saat kita akan lahir di dunia; namun lagi-lagi “lupa” sebagai anugerah dari Tuhan sering membawa kita lalai akan semua. Akibat lanjut kita terjebak pada ketidakmampuan memahami persoalan yang “benar-benar, benar” dan mengetahui sesuatu yang “ benar-benar, salah”. Justru yang hidup “semua salah, yang benar hanya saya”; kerangka paradigmatik serupa inilah sebenarnya yang membawa kepada kesesatan.

Mumpung masih ada waktu, mari kita mempersiapkan diri untuk naik Kereta Terakhir. Bekalnya bukan uang atau permata, hanya cukupkan amal semata. Agar kereta tidak berhenti ditempat yang bukan semestinya, maka diperlukan ilmu sebagai bekal untuk penentu arah kemana kita menuju.

Waktu terus berjalan, dapat melanda apa saja, termasuk manusia. siapakah yang mau menjadi roda kereta kita, itupun sangat tergantung kepada amal perbuatan kita. Mengurangi timbangan, melebihkan penjumlahan, adalah salah satu bentuk perilaku yang akan menghambat jalannya Kereta Terakhir kita.

Semoga peristiwa masa lalu dapat kita jadikan pembelajaran, dan mumpung masih ada kesempatan untuk selalu berbenah agar perjalanan Kereta Terakhir kita dapat berjalan dengan baik dan benar. Kata orang bijak, didunia ini tidak lebih ibarat kita mampir sejenak untuk minum menghilangkan dahaga, setelah itu kita melanjutkan perjalanan yang masih amat jauh, entah di mana ujungnya.
Salam Sehat (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply