Lapar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Kelaparan adalah suatu kondisi dimana tubuh masih membutuhkan makanan, biasanya saat perut telah kosong baik dengan sengaja maupun tidak sengaja untuk waktu yang cukup lama. Kelaparan adalah bentuk ekstrem dari nafsu makan normal. Teori tentang lapar dapat melibatkan berbagai disiplin ilmu, termasuk biologi, psikologi, dan sosiologi.

Berikut adalah beberapa teori yang berhubungan dengan konsep lapar: Teori Biologis: terdiri dari dua sub-kajian, yaitu: Kajian Homeostasis: Lapar sering kali dilihat sebagai respons biologis terhadap ketidakseimbangan dalam tubuh. Ketika tubuh kehabisan energi atau nutrisi, sinyal lapar dikirimkan ke otak untuk memicu perilaku mencari makan. Kajian Metabolisme: Kebutuhan energi tubuh berubah seiring waktu dan aktivitas, dan lapar dapat dilihat sebagai hasil dari metabolisme yang terus berjalan.

Teori Psikologis: terdiri dari dua sub-kajian, yaitu: Kajian teori Drive: Konsep lapar dapat dipahami melalui teori drive, di mana lapar dipandang sebagai drive yang memotivasi individu untuk mencari makanan guna memuaskan kebutuhan biologisnya. Kajian peran Emosi: Faktor emosional seperti stres atau kebosanan juga dapat mempengaruhi persepsi lapar seseorang. Misalnya, seseorang mungkin cenderung mencari makanan sebagai mekanisme koping ketika mereka merasa stres.

Sementara itu Teori Sosial: yang terdiri dari dua sub-kajian, yaitu: Pertama, Kajian Pengaruh Budaya: Kebiasaan makan, preferensi makanan, dan waktu makan dapat dipengaruhi oleh faktor budaya. Misalnya, dalam budaya tertentu, makanan tidak hanya dianggap sebagai sumber nutrisi, tetapi juga memiliki nilai sosial dan budaya yang kuat. Kedua, Kajian Pengaruh Lingkungan: Faktor-faktor lingkungan seperti ketersediaan makanan, promosi makanan, dan norma sosial dapat mempengaruhi perilaku makan seseorang. Contohnya, ketika makanan yang tidak sehat mudah ditemukan atau dipromosikan, seseorang mungkin lebih cenderung untuk makan berlebih.

Sedangkan Teori Evolusi: berfokus pada sub-Teori Seleksi Alami: Lapar dipahami sebagai mekanisme evolusi yang berkembang untuk memastikan kelangsungan hidup spesies. Individu yang mampu merespons sinyal lapar dengan mencari makanan memiliki keunggulan seleksi alami dalam memperoleh nutrisi yang dibutuhkan untuk bertahan hidup.

Kita ambil sebagai pijakan kombinasi teori di atas, guna meneropong kondisi saat ini, bersamaan dengan ”puasanya orang muslim” di bulan romadhon sebagai perintah keilahian dengan ditetapkan sebagai rukun dalam akidah keislaman, yang juga dilakukan dengan menahan lapar pada siang hari dengan segala ketentuan yang melekat.

Pada kenyataannya lapar karena berpuasa dalam konteks agama (islam) adalah perintah keilahian yang didasari keimanan; sementara lapar dalam konteks sosial bisa bermakna lain, karena kelaparan dalam bidang apa serta bagaimana dampaknya, tentu ini ranah manusia banget. Karena lapar yang melanda manusia itu tidak pandang tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, status sosial dan apapun yang melekat sebagai atribut manusia. bahkan petani sekalipun jika sudah terkena “lapar lahan”; maka tanah siappun akan dibabat untuk ditanami kemudian dimiliki.

Contoh lain; “lapar kekuasaan” adalah bentuk ketidakpuasan diri secara sosial untuk selalu ingin berkuasa, bahkan menjadi ingin tak terbatas. Jika lapar dalam kontek agama adalah menahan diri untuk tidak berbuat yang merusak pahala puasa; sementara lapar kekuasaan adalah pengumbaran nafsu keinginan untuk selalu berkuasa baik diperoleh dengan cara halal mauapun tidak halal. Dengan kata lain tujuan menghalalkan akan cara yang diambil atau dipilih.

Sedangkan lapar harta; Istilah ini merujuk pada keinginan yang sangat kuat untuk mengumpulkan, menimbun atau memperoleh kekayaan material secara berlebihan, tentu dilakukan dengan berbagai cara, baik yang halal maupun haram, melanggar aturan negara dan syar’I atau tidak; semua dilakukan demi memuaskan nafsu lapar akan harta.

Lapar kekuasaan dan lapar harta dalam beberapa kajian sering berjalan seiring; oleh sebab itu ada asumsi yang dibangun, jika mereka lapar kuasa biasa disertai lapar harta. Jika lapar harta, maka diiringi dengan lapar kuasa. Hukum sosial seperti ini berjalan saling berkelindan karena kekuasaan digunakan untuk mencari harta sebanyak-banyaknya, dan harta sebanyak-banyaknya untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan sebesar-besarnya. Tinggal kita menelisik lebih jauh apakah harta itu hanya sebatas kebendaan atau juga non-benda.

Kekuasaan juga apakah hanya dalam arti harfiah mengatur orang untuk mengikuti kehendaknya, atau lebih dari itu. Bahkan bisa saja sampai pada mengeksploitasi orang lain untuk memenuhi hasratnya. Mencalonkan untuk kursi kekuasaan kemudian dijadikan “boneka mainan”, juga bentuk eksplotasi kekuasaan atas dasar lapar kuasa.

Namun perlu disadari bahwa tidak ada larangan orang untuk menjadi kaya, juga tidak ada larangan untuk berkuasa; akan tetapi yang ada adalah aturan mendapatkan dan memanfaatkan kekuasaan dan kekayaan itu, baik secara hukum formal maupun hukum keilahian. Pada ajaran agama yang penulis yakini bahwa harta dan kekuasaan itu nanti di yaumilakhir akan ditanyakan ”bagaimana cara mendapatkannya? Untuk apa setelah didapat? Apakah hak dan kuwajiban akan keduanya sudah dilaksanakan sesuai ajaran agama?

Tentu pertanyaan imajiner ini adalah bentuk pertanggungjawaban semua perbuatan manusia dihadapan Sang Pencipta. Petuah Jawa kuno “mandeg ko …sakdurunge tuwuk…” yang terjemahan bebasnya berhentilah sebelum kenyang, tampaknya masih relevan sampai saat ini, dan, itu bukan untuk makan dalam pengertian harfiah saja, tetapi juga untuk lainnya…termasuk dalam mencari harta dan kuasa.
Salam Waras (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply