Pembenaran yang Tidak Benar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Konsep filsafat rasionalisme memberi batasan “Pembenaran yang tidak benar” merujuk pada situasi ketika seseorang mencoba untuk membenarkan atau merasionalisasikan suatu tindakan atau keputusan, tetapi alasannya tidaklah tepat atau tidak sesuai dengan fakta. Ini bisa terjadi ketika seseorang mencoba untuk menghindari tanggung jawab atas kesalahan atau tindakan yang tidak bermoral. Ini merupakan contoh dari bias kognitif yang dikenal sebagai “rasionalisasi”. Yakni ketika seseorang mencari-cari alasan yang mungkin untuk mendukung pilihan atau tindakan mereka, terlepas dari kebenaran objektif.

Dalam filsafat idealisme, pembenaran yang tidak benar diinterpretasikan sebagai ketidaksesuaian antara konsep atau keyakinan yang dipertahankan oleh individu dengan realitas objektif atau kebenaran mutlak. Idealisme cenderung menekankan pentingnya ide, pemikiran, atau konsep-konsep yang ada dalam pikiran manusia sebagai kunci untuk memahami dunia.

Jika seseorang dalam kerangka idealis menyimpulkan sesuatu yang bertentangan dengan fakta atau kebenaran, itu mungkin disebut sebagai “pembenaran yang tidak benar” karena tidak konsisten dengan ide-ide yang dianggap sebagai realitas atau kebenaran hakiki. Namun, perlu dicatat bahwa itu adalah interpretasi yang sangat umum, dan filsafat idealisme memiliki variasi dan subtleties yang luas dalam pemikiran dan interpretasinya.

Sudut pandang ini tidak mengabaikan kemungkinan variasi dalam interpretasi idealisme dari berbagai filosof atau aliran pemikiran idealis. Dalam filsafat Hegelian, pembenaran yang tidak benar dianggap sebagai ketidaksesuaian antara pemikiran atau keyakinan individu dengan realitas yang terungkap dalam proses dialektis. Hegel mengembangkan konsep dialektika untuk menjelaskan bagaimana kontradiksi dan pertentangan dalam pemikiran dan realitas dapat membawa pada pemahaman yang lebih dalam.

Dalam kerangka ini, “pembenaran yang tidak benar” bisa terjadi ketika seseorang tetap mempertahankan pemikiran atau keyakinan yang bertentangan dengan perkembangan dialektis atau evolusi pengetahuan. Misalnya, jika seseorang mempertahankan keyakinan tertentu meskipun telah terungkap bahwa keyakinan tersebut tidak konsisten dengan fakta-fakta yang ada atau dengan pemahaman yang lebih dalam tentang realitas, hal itu bisa dianggap sebagai “pembenaran yang tidak benar” menurut sudut pandang Hegelian.
Berbeda tipis dengan pandangan Hegel, yang menyatakan bahwa proses dialektis mengarah pada pemahaman yang lebih tinggi dan sintesis dari pertentangan atau kontradiksi. Oleh karena itu, mempertahankan pemikiran yang bertentangan dengan sintesis yang lebih tinggi dapat dianggap sebagai pembenaran yang tidak benar karena tidak mengikuti pergerakan dialektis menuju pemahaman yang lebih mendalam.

Kenyataannya dalam masyarakat kita sekarang sedang demam akan “pembenaran yang tidak benar” dengan segala macam variannya. Tentu sudut pandang, kepentingan, tujuan, keinginan, dan masih banyak lagi, berkelindan di sana guna mengokohkan akan pembenaran yang diyakini dan diklaim benar oleh diri dan kelompoknya. Sementara kelompok lain memandang ada upaya pembenaran dari sesuatu yang jelas-jelas tidak benar. Inipun tentu didasari akan berbagai motif yang mungkin tidak jauh berbeda atau bahkan sama, jika kerangka pertama tadi digunakan pada kelompok ini.

Pembenaran atas ketidakbenaran ini akan terus dan terus ada di dunia , sampai nanti dunia kiamat. Oleh karena itu, pengadilan akhiratlah yang membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah secara adil. Pertanyaannya apakah kita menunggu nanti setelah mati baru menemukan hakikat kebenaran. Tentu jawabannya tidak, sebab peraturan untuk mengatur kebenaran itu dibuat untuk mengatur kita semua termasuk yang membuat aturan, sehingga jika salah satu atau sebagian diantara kita mengingkari atau melanggarnya, maka sejatinya kita telah masuk neraka sebelum mati.

Oleh karena itu, janganlah sampai kita terjebak pada paradigma; berawal dari yang baik berakhir dengan yang tidak baik. Paling tidak berawal dari yang kurang baik, berakhir dengan baik. Namun alangkah indahnya jika kita memulai dari yang baik dan berakhir dengan yang baik pula. Agama telah mengajarkan pada kita untuk “istigfarlah untuk masa lalumu, bersyukurlah untuk hari ini, dan berdoalah untuk hari esokmu.

Salam waras. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply