Jauh Berjalan Banyak Bertemu, Lama Hidup Banyak Dirasa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa waktu lalu ada seorang sohib memberi komen terhadap tulisan yang dikirim seperti judul di atas. Tampaknya sekalipun beliau bergelar doktor dari perguruan tinggi papan atas di negeri ini; nilai dan rasa diri kedaerahan masih tebal, bahkan nilai-nilai local masih sangat melekat dalam bertutur sapa sebagai anak negeri, terutama dalam beretika dengan orang yang dituakan. Ketinggian pendidikan tidak membuat dirinya angkuh apalagi sombong, justru sangat hormat dan merendah.

Jika kita simak komen yang kelihatan sederhana itu menunjukkan memang betul dalam perjalanan hidup ini menurut hasil nukilan dari orang-orang tua dulu: kita akan berjumpa paling tidak beberapa tipe orang, diantaranya: Pertama, “Tidak semua orang pintar itu benar”. Kenyataannya dalam masyarakat kita sering jumpai tipe seperti ini, justru dengan kepintarannya melakukan ketidakbenaran. Seolah-olah karena kepintarannnya itu dia memahami persis ketidakbenaran sesuatu, sehingga dia melakukannya.

Kedua, “Tidak semua orang benar itu pintar”; dengan kata lain kebenaran itu bukan monopoli orang pintar. Bisa jadi seseorang tidak pandai tetapi bertindak benar, oleh sebab itu kita harus sadar diri bahwa kebenaran itu bukanlah sesuatu yang dapat diklaim atau dimonopoli oleh siapapun.

Ketiga, “Banyak orang pandai tetapi tidak benar”; ini memberi pertanda bahwa kumpulan orang pintarpun tidak menjamin akan adanya kebenaran. Oleh sebab itu mayoritas bukan berarti memiliki nilai mutlak; karena bisa jadi justru himpunan orang pintarlah yang berjamaah melakukan ketidakbenaran.

Keempat, “Banyak orang benar walaupun tidak pintar”; ini menunjukkan bahwa kepintaran tidak menjamin kebenaran, karena perilaku keduanya bisa berbeda arah. Kita lihat bagaimana para petugas kebersihan mereka melakukan pekerjaannya dengan benar, sekalipun mereka tidak pintar.

Kelima, “dari pada menjadi orang pintar tetapi tidak benar, lebih baik jadi orang benar walaupun tidak pintar”. Potret seperti ini sering kita jumpai pada masyarakat kebanyakan; mereka lebih menghargai orang benar sekalipun tidak pintar.

Keenam, “ada yang lebih bagus lagi yaitu jadi orang pintar yang selalu bertindak benar”. Sekalipun jumlah orang seperti ini sangat sedikit, namun betapa bernilainya pribadi seseorang jika bisa berperilaku seperti ini, dan setiap jaman kita akan jumpai mereka-mereka ini. Mereka penghias jaman yang selalu meninggalkan sejarah kebajikan bagi sesama.

Ketujuh, “membuat pintar orang benar itu lebih mudah dari pada menunjukkan kebenaran kepada orang pintar”. Ternyata orang benar itu lebih mudah untuk diajak agar menjadi pintar, dibandingkan dengan menunjukkan kebenaran pada orang pintar; sebab orang pintar selalu berasa diri benar, sehingga jika ditunjukkan akan kesalahannya kemudian ditunjukkan yang benar, mereka kebanyakan lebih sulit untuk menerima kenyataan.

Kedelapan, “membenarkan orang pintar yang berbuat salah itu memerlukan beningnya hati dan kesadaran yang tinggi, karena sangat sulit untuk memahamkannya”. Pada banyak kasus orang yang berbuat salah padahal dia pandai secara intektual, itu sangat sulit untuk memberikan penyadaran padanya akan kesalahan yang diperbuat. Justru yang ada, dirinya merasa berada pada posisi yang selalu benar.

Dari semua di atas ada pembelajaran yang dapat kita petik ialah kita diharuskan selalu optimis atau berprasangka baik kepada siapapun dan apapun kejadian di dunia ini. Bahkan kepada Tuhan-pun kita diharuskan berprasangka baik dalam setiap kondisi. Karena yang diberikan kepada mahluknya pasti yang terbaik, walau terkadang mahluknya tidak menyadari bahwa dia adalah hasil ciptaan Sang Maha Pencipta, yang sudah menyiapkan segalanya.

Dengan kata lain; seseorang yang telah menjalani perjalanan panjang akan memiliki banyak pengalaman dan melihat banyak hal, dan orang yang telah hidup lama akan memiliki banyak pengalaman dan merasakan banyak hal dalam hidupnya. Oleh sebab itu para ulama berpesan bahwa

saat dirimu mempelajari ilmu syariat, maka engkau akan berperang dengan pikiranmu sendiri. Disaat dirimu mempelajari ilmu tarekat, maka dirimu akan selalu menganggap Jin dan Setan adalah musuhmu. Di saat dirimu mempelajari ilmu hakekat, maka engkau akan mulai mengerti bahwa musuh yang nyata itu adalah dirimu sendiri. Di saat dirimu mempelajari ilmu makrifat, maka engkau tidak lagi menemui semua itu”.

Tampaknya proses pengendapan dalam diri manusia itu sangat diperlukan karena jika ditelaah secara filosofis seseorang dalam laku agama harus sampai pada level cinta, yang makna hakikinya adalah mengamalkan ajaran agama dengan penuh kasih sayang serta kesadaran yang mendalam akan adanya Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Pada level paripurna inilah sebenarnya kita dituntut, walau pada derajat mana, biarkan Sang Maha Mengetahui menilainya.

Salam waras. (SJ)

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply