Solusi dalam Secangkir Kopi

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Hari itu panas cukup terik saat keluar dari masjid selesai melaksanakan ibadah Jumat. Sesampai di rumah menjelang istirahat siang, saya ngobrol lewat WhatsApp (WA) dengan seorang wartawan senior di daerah ini tentang banyak hal. Terakhir beliau memberikan statemen bahwa semua persoalan bisa diselesaikan dengan duduk bersama, atas paham lama “duduk sama rendah berdiri sama tinggi”. Namun, kawan tersebut dengan menambah simbol tertawa dan keterangan “Solusi ditemukan dalam secangkir kopi”.

Kata kunci ini dijadikan judul tulisan karena ternyata apa yang dibentangkan oleh sohib tadi benar adanya. Banyak daerah di negeri ini yang saat membahas persoalan-persoalan pelik diselesaikan dengan minum kopi bersama, bahkan tidak jarang di Kedai Kopi. Sebagai contoh di Daerah Aceh berjejer ditepi jalan Kedai Kopi yang selalu ramai saat pagi menjelang siang, bahkan ada yang buka 24 jam; bertamukan para petinggi yang sedang memindahkan rapat ke sana sambil minum Kopi.

Minum kopi memiliki sejarah panjang yang tidak mungkin dibentang pada media ini karena tidak cukup halaman; namun harus diakui bahwa Kopi saat ini adalah salah satu minuman paling populer di dunia, dengan berbagai budaya mengembangkan tradisi unik mereka sendiri dalam menyeduh dan menikmati kopi. Dari espresso di Italia, kopi tubruk di Indonesia, hingga café au lait di Prancis, kopi terus menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari di seluruh dunia.

Kita nikmati minum kopi sejenak, sambil mari kita pandang dalam-dalam cawan yang berisi air berwarna hitam mengepulkan asap beraroma sedap. Dengan menggabungkan berbagai perspektif filosofis, kita dapat melihat bahwa minum kopi bukan sekadar kebiasaan harian, tetapi juga tindakan yang penuh makna dan refleksi, yang mencerminkan banyak aspek dari keberadaan manusia dan interaksi sosial. Oleh sebab itu, dalam perspektif fenomenologi, meminum kopi dapat dilihat sebagai tindakan yang penuh kesadaran. Mulai aroma kopi, rasa, hingga sensasi hangat di tenggorokan, semuanya adalah bagian dari pengalaman sadar yang kaya. Sedangkan filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus mengeksplorasi makna hidup dan kebebasan individu. Meminum kopi di pagi hari bisa dilihat sebagai ritual harian yang memberikan momen refleksi dan keheningan, di mana individu merenungkan eksistensi mereka.

Lalu apa kaitannya dengan pembicaraan kita dalam tulisan ini? Perlu disadari bahwa mulai hari kemarin dan hari-hari mendatang meja minum kopi kita akan diisi dengan percakapan berkaitan dengan pejabat yang ditugasi menjadi pejabat pimpinan tertinggi daerah ini. Semua pemangku kepentingan daerah akan menjadikan topik pembicaraan sambil minum kopi berkisar siapa dia, dari mana, akan bekerja seperti apa. Masih banyak lagi tanda tanya tersusun disetiap pembicaraan.

Ada sesuatu fenomena yang menarik pada persitiwa ini, yaitu ada individu atau kelompok yang menggebu-gebu untuk mendapatkan posisi depan agar terlihat oleh sang pejabat, dan ini seperti lumrah saja. Ada juga yang malu-malu tapi mau. Namun, dipojok sana ada beberapa orang yang mulai menepi,  menjauh dari lingkaran, dengan bersikap diam dan paling senyum manis yang tersungging dibibirnya. Saat minum kopi bersama dikonfirmasi atas sikapnya yang menenggelamkan diri, ternyata dengan jawaban diplomatis “takut merepotkan atau membuat repot beliau”.

Jawaban yang intinya “untuk saling menjaga” seperti ini hanya dimiliki sedikit orang. Hal ini mengingatkan tokoh nasional ternama K.H.Ahmad Mustofa Bisri seorang agamawan sekaligus budayawan atau dikenal dengan sebutan Gus Mus. Beliau adalah sahabat karib K.H.Abdulrahman Wahid atau lebih dikenal dengan nama Gus Dur, sejak bersama-sama sekolah di Jazirah Arab sana.

Saat Gus Dur menjadi presiden, Gus Mus hanya sekali mengunjungi Gus Dur dii Istana. Setelah itu memilih tidak untuk datang hanya karena satu alasan “nanti merepotkan atau nanti membuat repot”. Walaupun sikap ini akhirnya dijadikan guyonan ala Gus Dur dengan joke terkenalnya “Gitu aja kok repot”.

Walaupun sikap “ambil jarak” ini sering dipersepsikan salah oleh banyak orang yang kemampuan berpikir jernihnya belum sampai ke sana. Tidak jarang ketidakmunculan atau sikap menjauh ditafsirkan tidak sejalan, bahkan berselisih paham. Akibatnya, muncul spekulasi-spekulasi yang terkadang menyesatkan, sehingga dibangunlah narasi-narasi yang bersifat subjektif irasional.

Banyak di antara kita tidak memahami hakikat  pertemanan yang hakiki. Inilah sebenarnya “sahabat sejati dan sejatinya sahabat” yang sudah sangat langka ditemukan saat ini. Sahabat sejati adalah seseorang yang menunjukkan kedekatan dan loyalitas yang tinggi dalam berbagai situasi. Mereka adalah teman yang selalu ada di saat-saat baik maupun buruk, memberikan dukungan tanpa syarat dan jujur dalam memberikan masukan. Sementara itu sejatinya sahabat mengacu pada makna mendalam dari persahabatan itu sendiri, yang melampaui hubungan sekadar kenalan atau teman biasa. Sejatinya sahabat adalah tentang inti dari hubungan yang dibangun atas dasar kepercayaan, cinta, dan saling pengertian yang kuat.

Justru kini banyak ditemukan “sok dekat sok akrab”, dan seolah paling berjasa untuk minta dikenang sepanjang masa. Entah datang dari langit mana, tahu-tahu sudah ada di barisan depan, dengan semangat mengucapkan selamat sambil berjabat erat. Walau semua orang mengetahui yang bersangkutan selama ini “ngumpet” entah di mana. Sehingga adagium “sedang menjabat semua dekat, setelah selesai lalat-pun minggat” seolah benar adanya.

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply