Mikul Duwur Mendem Jero

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Pada saat membagikan tulisan yang terbit di media online kepada salah seseorang yang penulis amat sangat hormati, yaitu Maha Guru Doktor Muklis Paeni, seorang sejarawan yang saat mahasiswa menjadi bimbingan Doktor Taufik Abdullah, sejarawan dan tokoh ilmu-ilmu sosial pada zamannya, sengaja penulis menggunakan diksi Maha Guru karena beliau terlalu kecil kalau dipanggil dengan label profesor atau guru besar walaupun itu gelar formalnya; apalagi gelar itu sekarang sedang mengalami banyak persoalan karena ulah segelintir oknum yang ingin mengail di air keruh.

Beliau pernah menjadi direktur Lembaga Pusat Latihan Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial di Universitas Hasanuddin, dan salah satu muridnya adalah penulis. Beliau menjadi dosen tamu di banyak negara, juga pernah memangku sejumlah jabatan penting di bidang kebudayaan dan berfilman, serta sejumlah jabatan bergengsi lainnya. Sang Maha Guru meminta penulis untuk membeberkan judul di atas yang pada masa orde baru digeser artinya oleh Soeharto guna meredupkan pengaruh Soekarno; dan bagaimana dikaitkan dengan kondisi sekarang.

Sebelum lebih jauh membahasnya, kita telusuri terlebih dahulu apa makna dari “Mikul duwur mendem jero” itu secara konseptual. Berdasarkan penelusuran digital ungkapan “mikul duwur mendem jero” dalam bahasa Jawa memiliki makna yang sangat mendalam dan mengandung nilai-nilai moral serta kearifan lokal. Secara harfiah, “mikul duwur” berarti “mengangkat tinggi” dan “mendem jero” berarti “mengubur dalam-dalam”.

Makna keseluruhan dari ungkapan ini adalah: Mikul Duwur : mengangkat tinggi harkat, martabat, dan nama baik leluhur atau orang tua. Ini berarti menghormati, menjaga, dan memuliakan nama baik serta segala kebaikan yang telah diwariskan oleh mereka. Dalam kehidupan sehari-hari, ini bisa diartikan sebagai usaha untuk menjaga nama baik keluarga dengan berperilaku baik dan berprestasi.

Mendem Jero : mengubur dalam-dalam segala aib, kesalahan, atau kekurangan dari leluhur atau orang tua. Artinya, kita tidak mengungkapkan atau menyebarluaskan hal-hal negatif atau memalukan yang mungkin pernah dilakukan oleh mereka. Hal ini menunjukkan rasa hormat dan menjaga kehormatan keluarga.

Secara umum, ungkapan ini mengajarkan kita untuk selalu menghormati dan memuliakan leluhur atau orang tua, atau orang yang dituakan, serta menjaga nama baik keluarga dengan berperilaku baik dan bijaksana, sambil tetap menutupi dan tidak mengungkapkan hal-hal negatif yang bisa merusak kehormatan keluarga dan atau lembaga.
Namun sayangnya prinsip ajaran moral ini pernah digesermaknakan oleh Soeharto kepada Soekarno.

Penyimpangan ajaran “mikul duwur mendem jero” oleh Soeharto kepada Soekarno bisa dilihat dalam sejarah beberapa tindakan yang diambil oleh Soeharto selama masa transisi kekuasaan dari Soekarno ke dirinya. Ajaran “mikul duwur mendem jero” mengharuskan seseorang untuk menghormati, memuliakan, dan menjaga nama baik leluhur atau pendahulu, serta menutupi kesalahan atau kekurangan mereka. Namun, dalam konteks sejarah Indonesia, beberapa tindakan Soeharto terhadap Soekarno dianggap tidak sejalan dengan prinsip ini.

Degradasi dan penahanan Soekarno, setelah Soeharto mengambil alih kekuasaan pada tahun 1967, Soekarno ditempatkan dalam tahanan rumah. Soekarno mengalami penurunan drastis dalam status dan pengaruh politiknya, yang bertentangan dengan prinsip “mikul duwur” yang seharusnya menghormati dan memuliakan pendahulu. Soekarno dieliminasi secara fisik maupun sosial dari lingkungan bahkan keluarganya.

Pembersihan sejarah pada masa orde baru, banyak upaya dilakukan untuk menggambarkan Soekarno dalam cahaya negatif. Ini bertentangan dengan prinsip “mendem jero”, yang mengharuskan menutupi atau setidaknya tidak mengungkapkan aib pendahulu secara terbuka.

Penghapusan warisan Soekarno: hal ini menunjukkan ketidaksediaan untuk menjaga dan menghormati warisan apapun dari Soekarno. Upaya menjauhkan Soekarno dari rakyatnya dengan mengeliminasi hubungan sosialnya dengan alasan menjaga kesehatan. Dan, memakamkan Soekarno di tempat yang jauh agar tidak terjangkau oleh pengagumnya dengan meng-kamuflase dengan alasan agar dekat dengan keluarganya.

Tindakan-tindakan ini menunjukkan penyimpangan dari ajaran “mikul duwur mendem jero”, karena Soeharto tidak hanya gagal menghormati dan memuliakan Soekarno, tetapi juga secara aktif berusaha mengurangi pengaruh dan warisan pendahulunya. Terlepas pandangan ini ada yang setuju ada yang tidak, hal tersebut adalah sah-sah saja, karena kita bebas menentukan sudut pandang mana yang kita ambil. Namun yang paling penting adalah saling menghormati atas perbedaan sudut pandang tadi.

Padahal sejarah mencatat bahwa sesungguhnya ajaran “mikul duwur mendem jero”  telah menjadi bagian integral dari budaya Jawa sejak lama dan mencerminkan nilai-nilai moral yang mendalam yang dihormati dalam kehidupan sosial masyarakat. Pada era masa lalu, ajaran ini diaplikasikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam keluarga, masyarakat, dan pemerintahan.

Dalam Keluarga; Penghormatan kepada Orang Tua dan Leluhur: Anak-anak diajarkan untuk selalu menghormati orang tua dan leluhur mereka. Ini berarti mendengarkan nasihat mereka, menjaga nama baik keluarga, dan merawat mereka di usia tua. Kebaikan dan prestasi orang tua atau leluhur selalu diingat dan dihargai, sementara kekurangan atau kesalahan mereka tidak diungkapkan atau dibesar-besarkan.

Penerusan Nilai dan Tradisi: Nilai-nilai, adat istiadat, dan tradisi yang baik diwariskan dari generasi ke generasi. Setiap anggota keluarga bertanggung jawab untuk menjaga dan melanjutkan warisan ini.

Dalam Masyarakat; Kepemimpinan dan Kearifan Lokal: Pemimpin masyarakat diharapkan menghormati pendahulunya, meneruskan kebijakan yang baik, dan menghargai jasa-jasa mereka. Kesalahan atau kekurangan pendahulu tidak diungkapkan secara publik, melainkan diselesaikan secara internal untuk menjaga keharmonisan dan martabat masyarakat.

Gotong Royong dan Solidaritas: Nilai “mikul duwur mendem jero” juga diterapkan dalam semangat gotong royong. Setiap individu berusaha untuk mengangkat harkat dan martabat komunitas mereka dan saling membantu untuk mencapai kesejahteraan bersama. Aib atau masalah pribadi yang dapat mencemarkan nama baik komunitas diselesaikan secara bijaksana dan tidak diumbar ke luar.

Dalam Pemerintahan. Penerusan Kebijakan dan Pembangunan: Pemerintah pada masa lalu diharapkan untuk melanjutkan kebijakan dan program yang baik dari pendahulunya, serta menghormati jasa-jasa pemimpin sebelumnya. Kritik terhadap pemimpin terdahulu dilakukan dengan cara yang hormat, santun dan tidak merusak reputasi mereka.

Pendidikan dan Penanaman Nilai: Nilai-nilai “mikul duwur mendem jero” diajarkan di lembaga pendidikan dan diterapkan dalam pendidikan karakter, sehingga generasi muda memahami pentingnya menghormati dan menjaga warisan budaya serta moral.

Ajaran “mikul duwur mendem jero” pada era masa lalu menjadi panduan moral yang menjaga keharmonisan dan kehormatan dalam keluarga, masyarakat, dan pemerintahan. Nilai ini mengajarkan pentingnya menghormati, memuliakan, dan menjaga warisan baik dari pendahulu, sekaligus menutupi dan tidak mengungkapkan kesalahan atau kekurangan mereka secara publik. Dengan demikian, ajaran ini berperan dalam membentuk tatanan sosial yang harmonis dan penuh rasa hormat.

Walau tampaknya akhir-akhir ini tidaklah demikian, banyak kita jumpai pergantian kepemimpinan baik lokal maupun nasional, sering diwarnai penindakan terhadap masa sebelumnya. Bahkan tidak segan-segan untuk memberangus apa saja yang berbau masa lampau, sekalipun pengorbanan masa lampau itu sudah memakan biaya tidak sedikit. Ini terbukti banyak proyek-proyek ideal masa lalu yang menjadi mangkrak hanya karena ketidaksukaan akan orang yang digantikan.

Dapat kita inventarisir dari tingkat nasional, provinsi sampai kabupaten, kita jumpai banyak hal setiap pergantian kepemimpinan, berganti pula proyek mercusuarnya. Kita tunggu saja nanti apakah hal yang sama akan dilakukan oleh pemerintahan baru negeri ini kepada pendahulunya, tentu saja dengan segala macam alasan rasionalitas yang dapat disusun secara rapi dan seolah-olah rasional. Orang bijak mengatakan; saat kita menyampaikan kebenaran, maka kita akan menemukan dua reaksi yang berbeda; mereka yang bijak akan merenung, sementara mereka yang bodoh akan tersinggung. Memang sulit meyakinkan lalat bahwa bunga itu jauh lebih indah dari pada sampah. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman

0 replies

Leave a Reply

Want to join the discussion?
Feel free to contribute!

Leave a Reply