Pendidikan, Pemilihan, Pemiskinan

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu secara pribadi terjadi dialog antara dua sahabat, katakan saja satu bernama A, yang satunya bernama B. kedua sahabat ini sama-sama pemerhati masalah-masalah sosial. Keduanya sedang berbincang serius: A mengatakan bagaimana pemilihan umum apapun keperuntukannya mau berkualitas, jika tingkat pendidikan pemilih rata-rata hanya Sekolah Lanjutan Pertama. Dari total penduduk negeri ini sekitar 60 % nya tingkat pendidikannya seperti itu. 10% dari total jumlah penduduk justru di bawah itu; dengan kata lain 70 % dari total jumlah penduduk ada pada tingkat pendidikan dasar.

Kondisi ini membuat penasaran keduanya, akhirnya mereka mencari tahu tentang data ini, ternyata ditemukan hal sebagai berikut: Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dalam beberapa tahun terakhir, persentase penduduk Indonesia yang telah menyelesaikan pendidikan hingga tingkat SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau setara dapat bervariasi, tergantung pada usia dan wilayah. Berikut adalah beberapa poin umum terkait pendidikan di Indonesia: Pertama, Rata-Rata Lama Sekolah (RLS) di Indonesia pada tahun 2022 sekitar 8-9 tahun, yang berarti mayoritas penduduk Indonesia, rata-rata, hanya menyelesaikan pendidikan hingga kelas 9 atau tingkat SMP.

Kedua, Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) BPS tahun 2021 melaporkan bahwa persentase penduduk Indonesia berusia 15 tahun ke atas yang menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMP atau setara adalah sekitar 20-25%. Angka ini bervariasi antar wilayah. Angka ini bisa lebih rendah di daerah pedesaan atau daerah terpencil yang memiliki tantangan dalam akses terhadap fasilitas pendidikan yang memadai. Di sisi lain, wilayah perkotaan seperti Jakarta dan daerah-daerah maju lainnya memiliki angka yang lebih tinggi.

Latarbelakang ini menjadikan perenungan yang panjang dan dalam; karena tingkat pendidikan berkorelasi dengan jenis pekerjaan, dan itu berarti juga berdampak pada tingkat pendapatan. Bagaimanapun berarti mereka menjadi sasaran empuk “operasi wani piro” saat adanya pemilihan, apapun jenis pilihan itu. Menjadi lebih ekstrim lagi, jika ingin melanggengkan kekuasaan, berarti harus tetap dipelihara jumlah kelompok ini; otomatis jalan pikiran selanjutnya bagaimana caranya agar mereka tetap ada pada wilayah ini. Salah satu jalan dibanyak jalan adalah membiarkan mereka tetap ada pada kondisi “miskin”.

Tampaknya berpikir linier seperti itu kedua sahabat tadi tidak sependapat dan bahkan tidak setuju, namun melihat fenomena nondeskreptif di lapangan, kerangka fikir seperti itu ternyata sudah berada pada wilayah aksiomatik. Bagaimana pengaruh “bantuan” (apapun namanya) diluncurkan saat menjelang proses pemilihan, begitu signifikan mempengaruhi jumlah perolehan suara. Sekalipun secara factual tidak tampak hubungannya, namun secara “mutatis mutandis” hal itu terhubung oleh rasa antara yang memilih dengan yang dipilih, antara yang memberi dan yang menerima.

Pada sisi lain di atas sana, rerata pendidikan mereka sudah mapan, pekerjaan mereka sangat menjanjikan; pendapatan mereka justru sama dan sebangun dengan APBD satu kanupaten, bahkan ada yang satu provinsi; malah ada yang separuh negeri ini sama dengan pendapatan dia seorang diri. Lebih gila lagi ada yang pendapatanya sama dengan anggaran belanja negeri ini. Namun nafsu untuk “entuk opo, wani piro” bukan berkurang; terkadang malah lebih “hawak”.

Di sini tampaknya posisi moral ethik dalam tatapergaulan bernegara mulai diuji. Akibatnya akan terjadi polarisasi dalam berfikir: Pertama, pemilihnya waras, yang dipilih waras. Kedua, pemilihnya tidak waras, yang dipilih waras. Ketiga, pemilihnya waras, yang dipilih tidak waras, keempat, dan ini yang paling memprihatinkan, yang milih dan yang dipilih sama-sama tidak waras.

Walaupun belum ada penelitian hubungan antara pendidikan dan kewarasan dalam memilih, namun untuk kondisi seperti sekarang tampaknya celah ini yang digunakan; sehingga untuk mencapai kesuksesan terpilih pada daerah pemilihan terbangun asumsi daerah yang tingkat pendidikannya rendah, maka tingkat kewarasan pada pemilihan diduga dapat direkayasa. Bentuk rekayasa yang paling popular saat ini adalah memberikan “tali suara” berupa cuan; perlu diingat bahwa nominal tertentu bagi kebanyakan kita mungkin tidak seberapa, namun bagi banyak orang yang berada pada garis kemiskinan, hal itu sangat berarti.

Sementara yang di atas sana beda bentuk, bukan natura tetapi “kuasa”. Pemberian dukungan terhadap sesuatu juga harus mendapatkan sesuatu yang lain, bisa berupa Kursi/ Jabatan Menteri, Kursi/jabatan Dirjen dan atau apapun namanya. Itu semua digunakan untuk “menguasai” sumber-sumber penting yang menghasilkan cuan untuk kepentingan diri dan kelompoknya dengan mengatasnamakan politik.

Semoga semua aksioma di atas menjadi bahan pemikiran kita bersama dalam menentukan pilihan sebab, memilih untuk milih itu ada pada satu garis yang sama pada memilih untuk tidak memilih, hanya kutupnya saja yang berbeda. Oleh sebab itu apapun pilihan itu harus kita hormati bersama, termasuk tentunya memilih untuk tidak memilih, karena itu juga adalah pilihan. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman