Bersih Diri

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Bulan September adalah bulan mengenangkan sejarah tragedi berdarah yang terjadi di negeri ini; yaitu adanya peristiwa Pemberontakan yang bernama Gerakan 30 September, yang didalangi oleh Partai Komunis Indonesia di tahun 1965. Saat itu korbannya adalah para jenderal terbaik negeri ini yang dibunuh secara keji di Lubang Buaya. Luka sejarah ini menjadi catatan kelam bangsa yang tidak dapat dilupakan kapanpun, terlepas dari perbedaan sudut pandang dalam melihat peristiwa.

Peristiwa itu juga meninggalkan jejak sejarah lainnya, yaitu pemerintah pada waktu itu mensyaratkan kepada siapapun di negeri ini, jika ingin menjadi pegawai pemerintah, tentara, dan kepolisian atau pejabat apapun dia; harus mengantongi surat “bersih diri”, yaitu surat yang menerangkan bahwa diri dan keluarganya, ayah dan ibu, tidak terkontaminasi dengan ajaran komunis. Bahkan untuk tentara dan kepolisian dan beberapa instansi lain lebih ketat lagi harus ada juga surat “bersih lingkungan” yaitu surat yang menyatakan keluarga besar yang bersangkutan tiga generasi ke atas, tiga generasi ke bawah, tiga ke kiri dan kanan (paman, mertua, saudara ipar, sepupu dll) tidak terindikasi ajaran komunis.

Terlepas dari implikasi atau konsekuensi dari aturan itu, tulisan ini tidak membahasnya, akan tetapi fokus pada masalah konsep “bersih diri” dari makna yang lebih dalam lagi, yaitu kajian filsafat manusia. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi, konsep “bersih diri” dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang, seperti etika, spiritualitas, dan eksistensialisme.

Berikut beberapa pandangan yang berkaitan dengan konsep ini: Pertama, Etika dan Moralitas. Dalam konteks etika, “bersih diri” sering dikaitkan dengan kesucian moral, di mana seseorang dianggap bersih jika mereka hidup sesuai dengan prinsip-prinsip moral dan etika yang baik. Dalam hal ini, kebersihan diri bukan hanya menyangkut fisik, tetapi juga sikap, pikiran, dan tindakan yang bebas dari korupsi, kejahatan, atau niat jahat. Filosof seperti Immanuel Kant menekankan pentingnya niat baik dalam tindakan, di mana kebersihan moral tercermin dari tindakan yang didorong oleh rasa kewajiban dan penghargaan terhadap orang lain sebagai tujuan, bukan sarana.

Kedua, Spiritualitas. Dalam banyak tradisi agama dan filsafat spiritual, konsep kebersihan diri sering dikaitkan dengan kesucian jiwa. Tradisi Sufisme dalam Islam, misalnya, berbicara tentang pentingnya penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) sebagai jalan menuju kedekatan dengan Tuhan.

Ketiga, Eksistensialisme. Dalam filsafat eksistensialisme, seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre, “bersih diri” mungkin tidak secara langsung dibahas dalam hal moralitas atau spiritualitas, tetapi lebih sebagai kondisi eksistensial seseorang. Menurut eksistensialisme, manusia bertanggung jawab atas kebebasan mereka untuk menentukan makna dan arah hidup. Kebersihan diri bisa diartikan sebagai kejujuran radikal terhadap diri sendiri—otentisitas. Dalam hal ini, seseorang dianggap “bersih” ketika ia hidup sesuai dengan nilai-nilai yang dipilihnya sendiri dan tidak hidup dalam ketidakotentikan atau penyangkalan diri.

Keempat, Fenomenologi dan Kesadaran Diri. Edmund Husserl dan pengikutnya dalam aliran fenomenologi membahas kebersihan diri dalam konteks kesadaran dan niat (intentionality). Kebersihan diri dalam konteks ini berkaitan dengan kejernihan dalam pengalaman dan persepsi manusia terhadap dunia di sekitar mereka. Pengalaman manusia haruslah murni dari prasangka, interpretasi yang kabur, atau ilusi, sehingga memungkinkan seseorang melihat realitas dengan lebih jelas.

Kelima, Konsep Dualisme dalam Pikiran dan Tubuh. Filsuf seperti René Descartes yang berargumen tentang dualisme pikiran dan tubuh, melihat kebersihan diri dalam hal pikiran yang jernih. Kebersihan pikiran, bagi Descartes, adalah kunci untuk mencapai kebenaran, di mana seseorang harus membersihkan pikirannya dari segala keraguan dan prasangka agar dapat mencapai pengetahuan yang pasti.

Keenam, Praktik Sosial dan Politis. Dalam konteks sosial dan politik, kebersihan diri bisa dihubungkan dengan integritas dan tanggung jawab sosial. Filsuf seperti John Stuart Mill berbicara tentang pentingnya kemerdekaan moral individu di dalam masyarakat yang berfungsi baik. Kebersihan diri dalam konteks ini berkaitan dengan tidak memanipulasi, tidak menciderai hak orang lain, dan hidup dengan etika publik yang bersih.

Secara keseluruhan, konsep “bersih diri” dalam filsafat manusia melibatkan dimensi moral, spiritual, eksistensial, dan kesadaran, dengan fokus pada bagaimana individu menjaga kebersihan batiniah, moralitas, dan integritas mereka dalam berhubungan dengan diri sendiri, masyarakat, dan dunia. Semua ini mudah di tulis dan diucapkan, namun pada tataran implementasi sangat sulit dilakukan karena dituntut kesadaran diri dan mawas diri yang lebih tinggi sangat diperlukan. Tidak salah jika orang bijak berpesan “sejauh manusia masih memijakkan kakinya di bumi, maka salah dan alpa merupakan pakaian hidupnya”.

Pokok utamanya adalah setelah kita menyadari akan kesalahan dan kealpaan, segeralah meminta maaf dan bertaubat, karena kesempatan itu tidak akan terulang dua kali. Selagi nyawa masih dikandung badan maka bersegeralah dalam kebaikan, karena dengan pahala, salah, dan dosa-lah Tuhan meneguhkan keberadaan kita sebagai manusia ciptaan-NYA. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman