Ngudo Roso

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa puluh tahun lalu Radio Republik Indonesia (RRI) Yogjakarta ada satu acara yang diberi nama “Ngudo Roso” yang diasuh oleh reporter mashur pada zamannya. Acara itu konon berkembang sampai hari ini yang berisi “ungkapan hati” dari para pemirsanya terhadap dunia sekitar.

Ngudo roso berasal dari bahasa Jawa yang berarti mengungkapkan perasaan atau pikiran secara jujur dan terbuka. Dalam konteks budaya Jawa, ngudo roso biasanya dilakukan dalam suasana yang tenang dan penuh kebijaksanaan. Seseorang berbicara tentang isi hati atau masalah yang sedang dihadapi dengan tujuan mencapai pemahaman bersama atau mencari solusi yang damai.

Ngudo roso sebagai tradisi sering dianggap sebagai cara untuk mempererat hubungan, baik dalam keluarga, masyarakat, atau antara pihak yang berselisih. Melalui pengungkapan perasaan secara terbuka dan jujur, ketegangan atau konflik bisa diredakan. Ngudo roso tidak hanya berkaitan dengan pengungkapan emosi negatif, tetapi juga mencakup berbagi rasa syukur, kebahagiaan, atau pengalaman hidup lainnya. Dengan demikian, ngudoroso memiliki dimensi yang dalam dalam budaya Jawa sebagai praktik untuk menjaga harmoni sosial dan emosional di antara individu atau kelompok.

Ngudo roso mengedepankan keterbukaan, empati, dan kejujuran. Oleh sebab itu, ngudo roso bisa membantu menciptakan kehidupan yang lebih harmonis dan seimbang di berbagai aspek kehidupan sehari-hari. Saluran sosial seperti ini patut dipelihara agar paling tidak mengurangi ketegangan sosial (jika ada).

Sebelum sebuah acara seremonial akademik, sebelum acara dimulai ada teman yang ngudo roso tentang suatu hal yang dia hadapi saat ini. Ia mendeskripsikan dengan lugas bagaimana sebenarnya yang terjadi. Kami semua yang hadir merasa penasaran. Ia kemudian menjelaskan secara terperinci kesulitan-kesulitan yang dihadapi. Ia ngudo roso” bagaimana harus bersikap yang terkadang menyulitkan posisinya. Hal itu karena ia harus selalu ambil posisi ditengah dan berimbang,  padahal terkadang badai itu datang tidak mengenal waktu.

Membebani pemikiran dan perasaan yang berlebihan secara individu maupun kolektif tampak memerlukan katarsis. Salah satu bentuk katarsis itu adalah ngudo roso. Menjadi persoalan ketika tempat kita melakukan ngudo roso “tidak satu frekuensi”  atau justru dicurigai memiliki maksud lain. Jika ini yang terjadi, maka bukan penyelesaian atau meringankan yang didapat, tetapi justru malapetaka baru yang muncul.

Ketidaktepatan meletakkan “rasa” ternyata bisa menimbulkan malapetaka juga. Sebab bisa membuahkan persepsi yang berbeda dan berujung pada kecurigaan akan sesuatu tanpa alasan. Apalagi ini terjadi karena pengalaman masa lampau yang selalu diyakini “kebenarannya” secara mutlak, tanpa terlebih dahulu dianalisis sebagai suatu pengalaman yang hanya bisa digunakan sebagai referensi. Oleh sebab itu, bisa saja terjadi relasi negatif manakala dalam ngudoroso kita sudah menempatkan objek sebagai sesuatu yang tidak kita sukai. Atau sebaliknya, apa yang ditampilkan oleh obyek selalu baik ketika kita mempersepsikan objek sebagai sesuatu yang tanpa celah. Oleh sebab itu, objektivitas dalam ngudoroso harus selalu kita letakkan pada posisi awal, tengah, dan akhir.

Seiring perkembangan teknologi terutama pada bidang artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, ngudo roso bisa dibuat sedemikian rupa dengan memprogram suara, tampilan dan lain sebagainya, menjadi seolah-olah benar dalam ketidakbenaran. Atau sebaliknya: seolah-olah salah dalam kebenaran. Di sini tampaknya “moral etik” sangat diperlukan dan dikedepankan dalam tatapergaulan manusia. Tanpa ini, maka ancaman “kemerosotan moral” dalam bentuk lain akan mengancam pola interaksi antarmanusia di bumi ini. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman