Kemenpora Gelar Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di Universitas Malahayati, Ajak Generasi Muda Bersikap Inklusif dan Kolaboratif

Bandar Lampung (Malahayati.ac.id): Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) melalui Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda menyelenggarakan acara Sosialisasi Penguatan Moderasi Beragama di kalangan pemuda, di Aula MCC Universitas Malahayati, Bandar Lampung, Kamis, 17 Oktober 2024. Acara tersebut dibuka oleh Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA, yang sekaligus menjadi keynote speaker.

Rektor Universitas Malahayati sekaligus Anggota DPR RI Komisi X periode 2024-2029, Dr. H. Muhammad Kadafi, S.H., M.H., dalam sambutannya menyampaikan pandangan mendalam tentang pentingnya toleransi, kolaborasi, dan networking bagi generasi muda. Dr. H. Muhammad Kadafi menyoroti posisi Provinsi Lampung sebagai miniatur Indonesia, terutama karena sejarahnya sebagai daerah transmigrasi tertua di Indonesia.

“Lampung itu adalah miniatur Indonesia. Jika kita berkunjung ke wilayah Lampung Selatan, Lampung Tengah, dan Lampung Timur, kita akan menemukan pemukiman masyarakat Bali yang membuat suasananya hampir seperti di Bali. Sepanjang jalan, kita bisa melihat pura dan budaya yang mencerminkan kehidupan masyarakat Bali,” ujar Rektor Kadafi.

Selain itu, Rektor Kadafi menekankan keberagaman masyarakat di Lampung yang terdiri dari berbagai suku bangsa. Menurutnya, generasi muda harus mampu hadir dengan memberikan toleransi yang luar biasa serta mampu berkolaborasi dalam memberikan kontribusi baik dari segi pemikiran maupun kerja keras untuk bangsa dan negara.

Di tengah arus globalisasi yang bergerak cepat, Rektor Kadafi menekankan pentingnya kolaborasi. “Dengan kemajuan teknologi informasi, komunikasi menjadi sangat intens dan mudah dilakukan. Kita harus berpikir cerdas, bagaimana kita bisa maju bersama melalui kolaborasi,” ungkapnya.

Menurut Rektor Kadafi, moderasi beragama juga menjadi isu yang sangat penting di era ini. Ia mencontohkan negara-negara di Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini lebih terbuka untuk berkolaborasi dengan masyarakat global. “Generasi muda harus membangun networking yang kuat, karena dari situ kita bisa menemukan peluang dan mengatasi tantangan di masa depan,” tambahnya.

Kadafi juga menyoroti sektor pariwisata Lampung yang sedang berkembang pesat, menjadi arus ekonomi baru di provinsi tersebut. Berdasarkan target Kementerian Pariwisata, Lampung diproyeksikan akan menerima wisatawan hingga dua kali lipat jumlah penduduknya. “Jumlah penduduk Lampung sekitar 10 juta, sementara target wisatawan tahun ini mencapai 23 juta. Ini artinya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Lampung dua kali lipat dari jumlah penduduknya,” jelas Kadafi. Ia mengajak generasi muda untuk menyambut keberagaman para wisatawan dengan sikap terbuka dan menjadikan keberagaman sebagai kekuatan yang luar biasa.

Menutup sambutannya, Rektor Kadafi mengajak para pemuda untuk memanfaatkan setiap peluang yang ada, baik itu di bidang kewirausahaan maupun pendidikan. “Hari ini kita duduk bersama dalam acara ini, kita berbagi pengalaman, peluang, dan kesempatan. Ini adalah momentum luar biasa untuk memperluas networking kita. Dengan jaringan yang kuat, kita tidak hanya akan tumbuh dalam hard skill, tetapi juga akan berkembang dalam soft skill yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan,” pungkas Kadafi.

Sedangkan, Deputi Bidang Pemberdayaan Pemuda Kementerian Pemuda dan Olahraga, Prof. Dr. H. M. Asrorun Ni’am Sholeh, MA., selaku Keynote Spekaer menekankan pentingnya membangun cara pandang yang inklusif untuk menghadapi perubahan sosial, ekonomi, dan budaya di era globalisasi. Menurutnya, menjadi besar dan berpengaruh tidak terjadi secara tiba-tiba, melainkan harus melalui upaya membangun relasi kehidupan yang terbuka dan kolaboratif.

“Jika kita membangun relasi dari awal dengan cara yang kompetitif, protektif, bahkan reaktif, kita justru akan cenderung menutup diri. Setiap ada hal baru, kita merasa terancam, baik itu dalam bidang ekonomi, sosial, maupun keagamaan. Padahal, kita harus membongkar cara pandang eksklusif ini dan menggantinya dengan inklusivitas, sebagai prasyarat penting untuk kehidupan yang plural dan beragam,” ujar Asrorun.

Ia mengingatkan peserta bahwa dunia saat ini semakin “borderless” atau tanpa batas, baik dalam bidang sosial, ekonomi, maupun budaya. Hal ini terlihat dari bagaimana negara-negara Timur Tengah, termasuk Arab Saudi, yang kini membuka diri untuk berkolaborasi dengan dunia internasional. “Generasi muda harus menyadari bahwa kolaborasi, bukan kompetisi, adalah kunci sukses di masa depan. Negara-negara yang membuka diri justru akan lebih maju,” tambahnya.

Dalam konteks menuju Indonesia Emas 2045, Asrorun menjelaskan bahwa tantangan utama bagi generasi muda saat ini adalah mengubah mindset atau cara berpikir mereka. Dengan waktu yang terbatas—hanya sekitar 21 tahun lagi menuju tahun 2045—generasi muda harus mulai mempersiapkan diri dari sekarang.

“Jika sekarang kalian berusia 20 tahun, maka pada saat Indonesia mencapai 100 tahun kemerdekaannya, usia kalian akan 41 tahun. Lihatlah contoh Dr. Muhammad Kadafi, Rektor Universitas Malahayati, yang sudah menjadi anggota DPR dan memimpin kampus sebesar ini pada usia yang masih muda. Apa yang kalian persiapkan untuk menyambut Indonesia Emas?” tanyanya kepada peserta.

Asrorun juga menjelaskan bahwa peta jalan untuk mencapai Indonesia Emas sudah ditetapkan melalui Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) hingga tahun 2045. Namun, posisi generasi muda dalam peta itu sangat tergantung pada cara pandang mereka terhadap perubahan yang terjadi saat ini.

“Mindset kalian menentukan posisi kalian di masa depan. Apakah kalian akan menjadi pelopor dan trendsetter? Atau hanya akan menjadi pengikut dan bahkan penghalang kemajuan? Jika kita hanya menjadi penonton, kapan kita akan menjadi subjek perubahan?” kata Asrorun, mengajak generasi muda untuk berani mengambil peran aktif.

Ia juga mengingatkan bahwa dalam era yang semakin kompetitif ini, pendekatan kolaboratif harus lebih diutamakan daripada bersaing secara sempit. Asrorun mencontohkan bagaimana dalam perdagangan global, produk yang dibuat di Vietnam hari ini, bisa berada di meja makan kita esok hari. Dalam dunia yang serba terbuka, kolaborasi menjadi faktor kunci untuk bertahan dan sukses.

Prof. Dr. Asrorun juga menjelaskan bahwa dalam relasi sosial yang terus berubah, inklusivitas menjadi syarat utama untuk tetap relevan. Ia menyoroti pentingnya generasi muda membangun jejaring yang luas dan membuka diri terhadap ide-ide baru.

“Kita hidup di dunia yang terhubung. Relasi sosial dan ekonomi sudah melewati batas negara. Kita tidak bisa lagi berlindung di balik tembok proteksi, melainkan harus siap bersaing secara terbuka dan berkolaborasi,” jelasnya.

Menurut Asrorun, generasi muda tidak boleh hanya fokus pada kompetisi semata, tetapi harus memahami bahwa kolaborasi adalah jalan untuk maju di era global ini. “Mindset kolaboratif ini harus menjadi pegangan dalam menghadapi tantangan masa depan, baik dalam bidang ekonomi, sosial, maupun budaya,” pungkasnya.

Para panelis memberikan perspektif beragam terkait moderasi beragama. KH. Hasan Errezha, Ketua Himpunan Ekonomi Bisnis Pesantren (HEBITREN) Lampung, membahas peran pesantren dalam penguatan moderasi beragama. Hasintya Saraswati, Staf Khusus Menpora Bidang Percepatan Inovasi Pemuda dan Olahraga, menekankan pentingnya pemuda dalam menjaga keseimbangan dan harmoni dalam beragama.

Sedangkan, Riski Gunawan, MPd, Fasilitator Nasional PMB Lampung, menutup sesi diskusi dengan menyampaikan definisi dan kebijakan terkait moderasi beragama yang tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2023 tentang Penguatan Moderasi Beragama. (*)

 

Editor : Asyihin