Besok dan Kemarin

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Waktu akhir-akhir ini begitu cepat berlalu; sepertinya baru kemarin memberi kuliah di Program Doktor pada salah satu program studi di perguruan tinggi keagamaan terkenal dan bergengsi di daerah ini. Ternyata hari itu sudah selesai, harus bergeser ke program studi lain. Demikian juga di perguruan tinggi tempat home base berada, rasanya baru kemarin memberi kuliah di pascasarjana kesehatan ini; ternyata sekarang sudah ganti angkatan.

Semua itu mengingatkan wejangan salah seorang ulama besar pada jamannya yang mengatakan “jangan khawatirkan tentang besok, dan jangan kau sedihkan yang kemarin”. Karena semua memiliki “saat”, dan saat itu tidak akan tertukar satu dengan lainnya, Tuhan sudah mengaturnya jauh sebelum kita lahir di dunia. Tampaknya semua ini tidak dapat dikaji dengan pikir biasa, akan tetapi harus melalui pendekatan filsafat.

Filosofi dari “tidak terlalu khawatir tentang besok, tidak terlalu sedih tentang kemarin” mengajarkan pentingnya hidup di saat ini, atau sering disebut sebagai mindfulness. Filosofi ini menyiratkan beberapa makna penting:

Pertama, Hidup di Masa Sekarang. Kita sering terjebak dalam kekhawatiran tentang masa depan atau kesedihan atas apa yang sudah terjadi di masa lalu. Filosofi ini menekankan pentingnya fokus pada momen yang sedang berlangsung, karena hanya masa kini yang benar-benar ada dan dapat dikendalikan. Namun juga jangan lupa semua skenario itu sudah ada sebelum peristiwa itu ada, karena ada yang Maha Mengatur tentang itu semua.

Kedua, Menerima Ketidakpastian. Masa depan penuh dengan hal-hal yang tidak pasti. Kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi sering kali hanya membawa kecemasan tanpa solusi nyata. Dengan tidak terlalu khawatir tentang besok, kita diajak untuk percaya bahwa semua akan berjalan sebagaimana mestinya, selama kita melakukan yang terbaik di saat ini. Dan, masa depan kita semua sudah ditakdirkan sebelum kita ada.

Ketiga, Belajar dari Masa Lalu, Bukan Terjebak di Dalamnya. Masa lalu tidak bisa diubah. Sedih berkepanjangan tentang apa yang sudah terjadi hanya membuang energi. Filosofi ini mengajarkan bahwa kita sebaiknya belajar dari masa lalu, tetapi tidak membiarkan masa lalu menahan kita untuk maju.

Keempat, Mendapatkan Ketenangan Pikiran. Dengan melepaskan kekhawatiran tentang masa depan dan kesedihan tentang masa lalu, kita bisa mencapai kedamaian dan ketenangan batin yang lebih mendalam. Ini juga berhubungan dengan ajaran dalam banyak tradisi spiritual, yang menekankan pentingnya mindfulness dan kesadaran penuh terhadap momen ini.

Intinya, filosofi ini mengajak kita untuk lebih bijak dalam menyikapi waktu: menghargai momen sekarang, melepaskan hal-hal yang sudah berlalu, dan tidak terlalu membebani diri dengan apa yang belum terjadi. Hakikat dari “tidak terlalu khawatir tentang besok, tidak terlalu sedih tentang kemarin” adalah penerimaan terhadap ketidakpastian dan keterbatasan manusia dalam mengendalikan waktu. Hakikat ini berfokus pada tiga aspek utama:
Pertama, Kesadaran akan Ketidakpastian Waktu. Masa depan adalah sesuatu yang tidak bisa diprediksi sepenuhnya, dan masa lalu adalah sesuatu yang tidak bisa diubah. Hakikat ini mengajak kita untuk menerima bahwa ada hal-hal di luar kendali kita, terutama yang berkaitan dengan waktu, sehingga kekhawatiran dan kesedihan tidak akan memberikan manfaat nyata.

Kedua, Ketenangan dan Kebijaksanaan dalam Bertindak. Hakikat dari pernyataan ini menekankan pentingnya tindakan bijaksana di saat ini. Kita diajak untuk fokus pada hal-hal yang bisa kita lakukan sekarang, tanpa terlalu terbebani oleh masa depan yang belum pasti atau masa lalu yang sudah lewat. Ini mengarah pada ketenangan pikiran yang lebih stabil, di mana keputusan dibuat berdasarkan keadaan saat ini.

Ketiga, Melepaskan Beban Emosional yang Tidak Perlu. Sedih berlebihan tentang masa lalu atau khawatir berlebihan tentang masa depan adalah beban emosional yang menguras energi. Dengan melepaskan beban ini, kita dapat menjalani hidup dengan lebih ringan, fokus, dan damai. Hakikatnya adalah belajar melepaskan apa yang tidak bisa diubah, sambil tetap optimis dan berusaha untuk yang terbaik dalam kehidupan sehari-hari.

Secara keseluruhan, hakikat ini mengajarkan kita tentang keseimbangan emosional dan mental, serta kesadaran untuk menjalani hidup dengan lebih bijaksana, tanpa dibebani oleh apa yang sudah berlalu atau apa yang belum terjadi. Agama (Islam) mengajarkan “jangan kau mencintai sesuatu secara berlebihan, karena pada waktunya itu akan kau benci. Dan jangan pula kau membenci sesuatu secara berlebihan, karena tiba wakunya nanti justru itu kau cintai”. Memang petuah ini mudah dapat diucapkan, tetapi tidak semua kita mampu menjalankannya. Memerlukan keheningan pikir dan mengendapnya rasa untuk menemukenali segala sesuatu dibalik peristiwa. Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman