Memang Sudah Saatnya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu mendapat kiriman caption dari teman lama waktu kuliah di Bumi Sriwijaya hampir setengah abad lalu, yang saat ini beliau tinggal di lumbung padinya Sumatera Selatan, sebuah nasehat keagamaan berjudul seperti yang dijadikan judul tulisan ini. Ungkapan “memang sudah saatnya” dalam konteks filsafat bisa mengandung makna bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan waktunya yang tepat, mengikuti jalur atau takdir yang sudah ditetapkan oleh alam, logika, atau kehidupan itu sendiri. Ini bisa merujuk pada gagasan bahwa setiap perubahan, perkembangan, atau peristiwa dalam kehidupan memiliki momen yang tepat untuk terwujud.
Makna hakiki dari ungkapan “memang sudah saatnya” mengandung esensi bahwa sesuatu terjadi karena telah tiba waktunya yang tepat atau sesuai dengan takdir atau kehendak alam. Ungkapan ini sering mencerminkan keyakinan bahwa suatu peristiwa atau keadaan tidak terjadi secara kebetulan, melainkan karena ada suatu proses atau perjalanan waktu yang mengarahkan pada titik tersebut. Berdasarkan penelusuran digital ditemukan beberapa lapisan makna hakiki yang bisa ditangkap dari ungkapan ini: Pertama, Kematangan Waktu dan Peristiwa: Segala sesuatu dalam hidup memiliki waktu yang tepat untuk terjadi. Misalnya, seseorang yang telah berusaha keras dan akhirnya berhasil dapat dikatakan bahwa “memang sudah saatnya” keberhasilan itu datang karena segala usaha dan proses yang dilalui telah matang.
Kedua, Takdir atau Kehendak Alam: Ungkapan ini juga bisa mencerminkan pandangan bahwa ada kekuatan yang lebih besar (Tuhan) yang mengatur kapan sesuatu akan terjadi. Seolah-olah waktu atau momen itu adalah bagian dari rencana kosmik yang lebih besar. Ketiga, Kesiapan Diri atau Lingkungan: Dalam konteks pribadi, ungkapan ini bisa menunjukkan bahwa seseorang atau situasi tertentu telah siap menghadapi peristiwa yang terjadi. Hal ini menandakan bahwa kesiapan internal dan eksternal sudah ada sehingga peristiwa tersebut bisa terjadi dengan lancar.
Pada intinya, “memang sudah saatnya” adalah penerimaan bahwa segala sesuatu terjadi pada waktu yang tepat, baik karena hukum alam, logika, maupun kebijaksanaan spiritual (baca: takdir Tuhan). Dengan kata lain hakikat makna dari ungkapan “memang sudah saatnya” adalah penerimaan terhadap sebuah momen atau peristiwa yang dianggap wajar dan tak terelakkan karena telah mencapai titik waktu yang tepat. Ungkapan ini mencerminkan kesadaran bahwa segala sesuatu bergerak dalam alurnya masing-masing dan tiba pada momen yang sesuai, baik dalam kehidupan pribadi, proses alamiah, maupun dalam konteks sosial.
Secara esensial, hakikat ungkapan ini adalah keyakinan bahwa waktu memiliki cara tersendiri untuk mengatur peristiwa-peristiwa dalam kehidupan, dan setiap kejadian adalah hasil dari alur waktu yang tidak bisa dipercepat atau diperlambat. Dengan kata lain ungkapan “memang sudah saatnya” menjadi simbol penerimaan terhadap proses kehidupan dan waktu, mengakui bahwa segala sesuatu terjadi pada saat yang tepat, baik secara alami, sosial, maupun pribadi. Justru yang paling penting adalah sikap keberterimaan diri akan semua yang dijumpai di dunia ini adalah merupakan garis hidup yang telah ditetapkan sebelum kita lahir di dunia.
Pembelaan apapun atas takdir yang telah ditimpakan kepada kita, adalah pekerjaan sia-sia; bahkan ada diantara kita ada yang mencoba “membela diri” dengan menulis memoar diri; mungkin benar dari sudut subyektif. Namun manakala itu diukurkan melalui takdir yang salah satu bunyi hukumnya adalah “memang sudah saatnya”’; maka obyektifitas akan hadir dengan sendirinya. Jangan lupa bahwa setiap saat ada orangnya, setiap orang ada saatnya. Pengingkaran akan ketentuan keilahian adalah bentuk tipis-tipis dari syirik; sebaliknya menerima segala ketetapan keilahian dengan ihlas dan legowo, maka diujung sana ada ganjaran yang tak terbayangkan indahnya. Sebagai mahluk ciptaanNYA kita hanya diminta sabar dan ihlas dalam menjalankan segala ketentuanNYA.
Oleh sebab itu menerima “ketentuan keilahian” adalah tanda tawadhuknya hamba kepada Sang Maha Pencipta; Para alim berpesan “terbaik menurut kita belum tentu menurut Sang Maha Pencipta, sebaliknya terburuk menurut kita juga belum tentu menurut Sang Maha Pencipta”. Sebaik-baik ketentuan adalah ketentuan dari Sang Maha Menentukan. Terimakasih sahabat yang telah mengirimkan caption, semoga ini menjadi amal jariahmu; dan semoga diri dan keluargamu selalu dalam lindunganNYA. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman