Calon Bokek, Pilkada Jadi Siapa Memainkan Siapa

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Siang itu gerah, temperatur pengukur suhu mencapai 33 derajat Celcius. Teriknya bukan main, namun semua itu tidak menyurutkan untuk menyimak hotnya “permainan” yang sedang “bermain” di media sosial, diantaranya media yang kita baca ini.

Berita yang lagi ikut naik suhunya seperti cuaca siang itu didominasi berita-berita pemilihan umum daerah. Ternyata, ada pasangan calon yang terkesan “main-main”. Uji wong Palembang, telanjur, asal idak bae.

Ada juga yang terkesan sedang memainkan “mainan” kesana-kemari hingga akhirnya sulit dilihat siapa sesungguhnya yang memainkan siapa.

Pascatiarapnya touke, ada calon yang terkesan setengah hati dalam arena “permainan” ini. Mungkin, sudah bukan ketua partai lagi dan pasangannya pas-pasan, maka dalam bermainpun terkesan main-main ya asal idak bae  itu tadi.

Mau mundur sudah tidak mungkin, mau laju kencang “bensin” tidak cukup, maka ya sudahlah teruskan saja, istilah bahasa Sundanya kumaha engke yang terjemahan bebasnya bagaimana nanti.

Ada juga calon yang digoreng perkara ijazahnya. Anehnya yang bersangkutan tenang-tenang saja terkesan tungguk ko hagamu yang terjemahan bebasnya puaskan maumu. Atau, memang iya ya? Pokoknya saling mainlah.

Akar rumput dan para “radio canting” malah sepertinya yang terkesan sudah kebakaran, namun dahan di atas adem ayem ditiup angin sepoi-sepoi. Seolah-olah terbaca “mau jadi hayo, gak juga gak apa-apa karena sudah pernah ngerasain kursi itu.”

Ada lagi calon yang terkesan menunggu “muntahan” lawan. Calon ini tidak banyak bersosialisasi, namun selalu mengirim utusan untuk memonitor jika ada pihak lawan berkampanye.

Setelah usai kubu sebelah beracara, baru pendekatan personel dilakukan, dan memberikan alternatif pilihan. Kesan calon “gak modal” ini lebih mengandalkan jaringan kekerabatan, dan atau pertemanan.

Beda lagi yang lainnya, kerjanya mengintip kelemahan lawan untuk menghantam balik. Seperti main petak umpet, tidak mau meninggalkan sarang, namun begitu ada peluang langsung teriak paling kencang.

Lagi lagi, mereka semua bermain sambil main-main. Dan, sekarang, ada media yang mereka jadikan sarana untuk dijadikan senjata. Bermodal buzzer dengan sedikit dana dan pulsa, maka konten dimainkan.

Cerita adu gagasan, adu konsep, tampaknya itu hanya untuk memuaskan kameramen saat shooting saja. Di alam nyata, meminjam istilah almarhum Brury Marantika, “Aku begini, kau begitu … sama saja.”

Sama-sama tidak serius karena banyak faktor yang berkelindan di sana. Tentu saja hal seperti ini yang dirugikan adalah para “radio canting” (tim penggembira/tim sukses) karena jualannya tidak layak jual.

Merekapun banyak tidak dapat celah untuk mendapatkan cuan, karena para calon sudah amat sangat paham dengan kelakuan mereka. Terlepas dari, calonnya sendiri modalnya pas-pasan atau memang pelit.

Pada masa lalu, ada broker kebon yang menjadi pundi-pundi, sehingga para radio canting pesta pora berkuah-kuah hingga mulutnya cemang-cemong. Dengan kata lain, sang calon pada masa lalu masih bisa mereka “goreng” sampai perut buncit.

Musim sudah berganti, para calon hanya bisa mengajak para radio cantingnya berjuang dulu bersama dan menjanjikan enaknya jika sudah terpilih kelak. Apalagi, pundi-pundinya dalam pengawasan istri, ada kalkulasinya.

Para tim sukses yang dulu yang sudah ketagihan menikmati enaknya uang kebon tak terlihat lagi. Mereka sepertinya hanya mengintip dan berusaha merapat pada kelompok yang kelihatan bakal menang.

Rakyat juga sudah mengerti, mereka tak lagi menelan bulat-bulat seribu janji yang begitu mudah muncrat dari para calon ketika kampanye. Bermain api dengan janji, tampaknya sudah tidak laku lagi pada musim pilkada saat ini.

Adu spanduk juga sudah kalah dengan gawai modern masa kini. Tinggal bagaimana memelihara ahli pembuat konten untuk berkreatif di media masa. Sayangnya media masa juga memiliki hukum algoritmanya sendiri.

Akhirnya, siapa memainkan siapa. Namun, bagi pemilih saat ini, mereka tidak hanya butuh uang tapi juga butuh masa depan. Jangan sampai, para calon dan radio canting membuat makin muak para pemilih.

Yang paling menakutkan pada hari pemilihan, mereka ogah datang ke bilik suara pada 27 November nanti. Sesungguhnya, mereka kunci dari semua permain para pemburu kekuasaan.

Jangan sampai, kepercayaan rakyat yang sudah menipis malah hilang dan itu tentu saja sangat membahayakan negeri ini di masa depan. Selamat berpesta demokrasi secara fair dan rasional, jangan tipu-tipu kami lagi. Paham! Salam Waras. (SJ)

Editor: Gilang Agusman