Mengejar Mimpi, Mengais Rejeki

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Beberapa hari lalu bertandang ke tepian Batavia karena mengurus perhelatan dari anak yang melangsungkan momen kebahagian hidupnya. Tentu dengan usia yang sudah tidak muda lagi urusan begini cukup melelahkan fisik. Namun karena semangat dan tanggungjawab-lah, semua dihadapi dan dijalankan dengan gembira-ria, alhasil semua dijalani dengan atas dasar ibadah, maka hasilnyapun menggembirakan. Diselah-selah kegiatan itu ada moment-moment menarik untuk dapat dijadikan bahan berbagi dan perenungan, salah satu diantaranya adalah apa yang menjadi judul tulisan ini.

Berjumpa dengan seorang jamaah masjid saat selesai melaksanakan kegiatan peribadatan subuh. Berjabat tangan dan berkenalan dengan seorang bapak yang seusia, demi kode etik jurnalis nama beliau tidak ditampilkan. Bapak ini membuka usaha berjualan makanan subuh sudah sekitar tigapuluh tahun di tepian Ibu Kota ini. Bahkan dapat dikatakan sukses, karena sudah memiliki tempat tinggal sendiri dan beberapa cabang tempat usaha yang dikelola oleh anak-anaknya. Prinsip beliau sekolah tidak perlu tinggi-tinggi, karena yang penting hidup ini memiliki mimpi ingin jadi apa ke depan, dan dimudahkan mengais rejeki ilahi yang halal dan benar. Buat apa sekolah tingi-tinggi, bekerja tempatnya mewah, tetapi bekerja dengan orang lain, rejekinya ditentukan oleh orang lain. dan, masih banyak lagi alasan pembenaran yang beliau ajukan berkaitan dengan bekerja kalau hanya sebagai karyawan, lebih baik berdagang atau buka usaha menjadi manajer sendiri. Apalagi sekarang, menurut beliau kalau tidak korupsi tidak kaya, artinya jika tidak mencuri maka tidak makan.

Pendapat beliau sah-sah saja karena itu personal sifatnya, bekerja di tempat lain dalam bentuk lain, juga sah-sah saja; asal dengan ukuran moral dan agama itu dibenarkan; sebab kita semua seolah “mengejar mimpi, untuk mendapatkan sesuap nasi”, itu menjadi pebenaran, sejauh kita masih tinggal di planet bumi. Persoalannya menjadi seru dan rumit jika diksi itu ditambah dengan “segenggam Berlian”, karena untuk mendapatkan ini diperlukan usaha super keras, dan tidak jarang kita mengambil jalan pintas, bahkan salah jalanpun dilakoni, agar mimpi itu menjadi kenyataan.

Berdasarkan penelusuran digital ditemukan informasi ungkapan “mencari sesuap nasi dan segenggam berlian” memiliki makna filosofis yang mendalam, khususnya dalam konteks kehidupan manusia yang selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan dasar sekaligus mencari sesuatu yang lebih dari itu. Mari kita lihat makna dari kedua frasa tersebut:

1. Mencari Sesuap Nasi

Makna Filosofis: Kebutuhan Dasar: Ungkapan ini menggambarkan usaha seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya, terutama makanan, yang merupakan simbol dari kebutuhan dasar manusia.

Konteks Budaya: Dalam budaya Jawa dan banyak budaya lainnya di Indonesia, “sesuap nasi” bukan hanya menggambarkan makanan fisik, tetapi juga melambangkan usaha mencari rezeki yang halal dan berkah untuk menghidupi diri dan keluarga.

2. Segenggam Berlian

Makna Filosofis: Keinginan Lebih dan Kemewahan: Segenggam berlian melambangkan pencarian akan kemewahan, kesuksesan, dan sesuatu yang lebih dari sekadar kebutuhan dasar. Ini adalah simbol pencapaian dan keberhasilan yang diinginkan oleh banyak orang.

Konteks Budaya: Berlian sebagai simbol kemewahan dan kemuliaan mencerminkan pencapaian tertinggi yang bisa didapatkan seseorang melalui kerja keras, kecerdasan, dan mungkin juga keberuntungan.

Makna Keseluruhan Filosofi dari ungkapan ini mengajarkan keseimbangan antara memenuhi kebutuhan dasar (hidup sederhana dan berjuang untuk hidup) dengan cita-cita untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dan bernilai (impian dan ambisi tinggi). Dalam kehidupan, penting untuk memiliki keseimbangan antara “mencari sesuap nasi” (memastikan kita tidak kekurangan) dan “segenggam berlian” (mengejar impian dan kemewahan).

Secara eksistensial ini juga mengajarkan bahwa setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia harus mencari makna hidup yang lebih dalam, yang mungkin diwujudkan dalam bentuk pencapaian, pengakuan, dan kemakmuran. Sebab jika manusia dalam hidupnya hanya mengejar kebutuhan dasar semata, dan setelah tercapai ternyata tetap ada pada wilayah itu; ini menunjukkan bahwa dia tidak lebih berbeda dengan mahluk lain yang lebih rendah dari manusia, karena menurut pendapat aliran ini siklus seperti itu hanya milik mereka yang derajatnya ada dibawah manusia. Untuk yang satu ini kita boleh setuju tetapi juga boleh tidak, karena hidup adalah pilihan.

Mengejar mimpi bukanlah sesuatu yang ditabukan, hanya yang penting dengan cara apa, dan bagaimana melakoninya; itu semua harus berada pada koridor agama, norma etika, dan aturan negara. Oleh sebab itu tidak salah jika mereka yang melakukan korupsi karena dorongan memperkaya diri diberi hukuman mati. Dan, ini dilakukan oleh negara-negara yang memiliki hukum normative yang kokoh. Sayangnya mereka sering di cap pelanggar HAM, padahal melindungan masyarakat dari kerakusan segelintir orang juga bertugas menegakkan HAM.

Hanya perlu diingat sebelum bermimpi, kita harus tidur dulu; sebelum kita sukses harus berusaha dulu. Ini perlu disadari karena sekarang banyak pemimpi disiang hari; mau berhasil tanpa mencari. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman