Membagi Angin
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pada satu episode pakeliran wayang purwa atau wayang kulit selalu ada adegan goro-goro. Ini momen munculnya empat punakawan, yaitu Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong atau juga disebut Bawor. Mereka selalu menjadi penasihat, penghibur, pembantu para ksatria yang sedang memperjuangkan kebenaran atau suatu kebaikan. Mereka pada umumnya ditampilkan setelah menjelang tengah malam, dengan acara hiburan termasuk kritik sosial. Pada momen ini akan ditampilkan bagaimana kekocakan sekaligus kecerdasan mereka dalam memaknai kehidupan yang ditampilkan oleh dalang kehidupan.
“Petruk apakah semua yang ada di muka bumi ini bisa dibagi? Apakah ada sesuatu yang tidak bisa dibagi? Menurutmu bagaimana?” tanya Gareng.
“Apa pun di dunia ini bisa dibagi. Hanya tinggal bagaimana cara membaginya dan siapa yang membagi. Sebab persoalan bagi-membagi ini tidak mudah karena di sana harus ada dua unsur yang serasi. Yaitu benar dan adil. Karena bisa jadi benar cara membaginya tetapi tidak adil atau membaginya adil…tetapi cara yang dipakai tidak benar,” jawab Petruk.
Belum selesai Petruk menjelaskan, Bagong alias Bawor sudah menyela,”Eits! Nanti dulu!”
“Saya keberatan jika Petruk mengatakan apa pun bisa dibagi. Ada yang tidak bisa dibagi. Salah satu di antaranya adalah angin. Coba perhatikan empat buah ban mobil yang kurang angin. Semua diisi tidak merata oleh tukang tambal ban. Ada yang diisi satu strip cukup. Ban lainnya sampai empat stri, satunya lagi setengah strip, dan yang terakhir sembilan strip. Tukang tambal ban menghitung bukan jumlah angin yang terbag, tetapi banyaknya ban yang diisi angin!”
Petruk merasa terpojok. Ia berpikir sejenak bagaimana cara membela diri.
“Saya sependapat Gong dengan pikiranmu. Ternyata ada yang lebih dahsyat dari itu yaitu angan-angan. Jika-maka pada otak yang kurang waras….”
Bagong tidak paham dengan penjelasan Petruk. Bahkan merasa itu memojokkan dirinya.
“Maksudmu?” tanya Bagong.
“Coba kamu ingat dikerajaan Alengkadiraja dulu. Para penuntut hukumnya baru berangan-angan “Jangan-jangan Si Anu itu korupsi karena punya jabatan. Tentu uangnya banyak. Lantas dia menggunakan kekuasaannya menyita harta Si Anu tadi tanpa alasan yang jelas secara hukum pelanggarannya. Uang anak istrinyapun dirampas…begitu ditanya uangnya disimpan dimana…dan bunganya untuk siapa. Penuntut hukumnya bingung karena dia sendiri tidak tahu caranya,” jawab Petruk.
“Itu belum seru!” tukas Bagong,”Yang lebih seru lagi, segala sesuatu sesuai peruntukkannya, tetapi penuntut hukumnya justru beralasan ‘andaikata atau diduga kira kira kebijaksanaannya dapat memperkaya orang lain’. Kan itu sama dengan membagi angin. Jadi hati-hati ya! Membagi angin itu masuk kejahatan!”
“Ada lagi yang seru,”sela Gareng,”di tetangga desa saya ada orang bekerja sebagai manajer perusahaan milik penguasa daerah. Beliau terkenal orangnya bersih tidak neko-neko. Bahkan tiap rupiah pun ada catatannya. Namun karena kejujurannya dalam bekerja membuat orang lain tidak nyaman. Sebab uang dan hartanya kelihatan banyak. Orang tadi tidak paham jika istrinya juga bekerja sebagai pejabat yang gaji dan tunjangan resminya cukup untuk makan mereka sekeluarga. Akibatnya rumah beliau digeledah. Semua uang dan harta diambil dengan alasan disita untuk negara. Sementara begitu ditanya kerugian apa yang dialami negara dan berapa yang dikorupsi., penggeledah dan penyita masih mencari dulu pasal mana yang cocok untuk membenarkan tindakannya. Ini sama juga namanya menangkap angin, kemudian membagi angin!”
Saat tiga punawakan saling debat, ayah mereka, Semar, datang.
“Dari tadi saya dengar kalian ribut soal menangkap angin. Mana orangnya yang menangkap angin?!” tanya Semar.
“Baru andaikata Pak….” tiga punakawan menjawab kompak.
“Weladalah! Baru angan-angan saja kalian sudah ribut, mau berkelahi. Yang jelas-jelas korupsi kalian diamkan! Ke mana otak kalian hah?!” sergah Semar, lalu ngeloyor pergi sambil membuang angin yang membuat ketiga anaknya mabuk.
Sang dalang pun kemudian memukul kotak dengan cempolo pertanda adegan berikutnya akan berlanjut.
Dari kisah di atas, dapat kita pahami bahwa betapa bingungnya orang jika atas dasar angan-angan dari petugas yang katanya mengerti hukum, seseorang langsung dapat ditetapkan sebagai orang yang terkena masalah hukum, sekalipun kejahatannya masih berupa “Jika, maka”. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman