Meratap dan Tertawa
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Satu adegan carangan atau karangan Dalang Wayang Purwa saat diminta pentas padat menghibur para pemirsa. Jika mengikuti pakem wayang harus paling tidak lima sampai enam jam satu cerita dipentaskan. Namun sesuai perkembangan jaman para kawula milenial tidak suka berlama-lama untuk menikmati sesuatu. Oleh panitia hanya diberi waktu tiga puluh sampai empat puluh menit saja. Dalang yang seorang doktor dan pernah mengkuti kuliah sosiologi dakwah tidak keberatan, bahkan di dalam hatinya bicara “siapa takut” asal harganya sesuai saja. Makin padat, tentu makin mahal jika mengikuti pola logam mulia. Pentas dimulai, setting yang diambil adalah perjumpaan para Punakawan dalam segmen “Goro-Goro”.
“Petruk, Gareng, saya pingin bicara dengan kalian” demikian pembuka cerita Bagong memanggil dua orang saudaranya. “Ada apa Gong,” sahut Gareng dan Petruk bersamaan.
“Begini, anakku yang tua itu mencalonkan diri menjadi Kepala Perdikan, mbok saya minta bantuan suaramu dan keluargamu agar memilih anakku, kan itu juga anak-anakmu juga, kalau sudah jadi ya nanti ada etung-entungannya lah, bisa berupa proyek jalan, atau mengeringkan sungai, bisa juga menambak laut,” jawab Bagong dengan nada serius.
Petruk langsung menjawab gaspol “Begini Gong, bukan saya tidak mau bantu, saya mau membantu tetapi tidak perlu pakai embel-embel entung-entungan. Sebab kalah dan menang itu dalam pertandingan atau pemilihan adalah sesuatu keharusan. Jika belum apa-apa sudah disebut awal itu namanya gratifikasi. Jadi tolong dicabut dulu pembicaraanmu tentang embel-embel etung-etungan tadi”.
“Kalau saya beda Truk,” tukas Gareng. “Begini ya Gong, soal suara mudah-mudahan saya bisa bantu, tetapi kan mereka satu hari itu harus libur dari bekerja yang sekarang harian ada angkanya. Apakah tidak lebih baik sekarang saja ada uang ada suara, dan jika itu saya akan mulai bergerak. Alasanya ya sekedar ganti uang gaji harian hari ini,” lanjut Gareng.
Petruk dan Gareng akhirnya berbantah seru. “Kalau model kamu Reng, negara ini akan hancur karena suara rakyat sebagai suara Tuhan kamu ganti dengan suara uang. Itu sangat keterlaluan, berarti kamu menggadaikan masa depan negara ini hanya untuk sesuap nasi satu hari. berarti selama ini yang merusak ini yang model kamu-kamu ini,” sergah Petruk dengan suara tinggi sambil tangannya berkacak pinggang.
Gareng tidak mau kalah, dia menjawab dengan matanya melotot, karena memang matanya kero maka makin besar biji matanya keluar sambil mengejek. “Sudah lah Truk, tidak usah idealis banget jadi manusia, mana ada manusia sanggup mati hari ini hanya karena menolak sesuap nasi. Kita berpikir pragmatis sajalah ada uangnya ada harganya, perkara negara ini kedepan ya..bagaimana nanti”.
Mereka berdua beradu argumen ramai, sehingga Bagong kewalahan, walhasil dia memanggil ayahnya, yaitu Semar untuk memisah kedua saudaranya yang sudah mau adu jotos. “Pak Semir…eee..Pak Semar mohon untuk datang ke sini, ini lo kedua anakmu mau adu jotos,” kata Bagong.
Semar bertanya pada Bagong: “Memangnya ada apa Gong kok kedua saudaramu mau adu jotos, seperti kurang kerjaan saja”.
Bagong menjawab menjelaskan persoalannya dari awal sampai akhir. Semar manggut-manggut sambil memegang janggutnya seraya berkata: “He anak-anakku semua, mari kita berpikir dengan jernih, negeri ini baru bisa maju kalau kita memiliki pemimpin yang jujur, bersih dan berwibawa. Di sisi lain mau menjadi pemimpin yang modelnya dipilih ya mesti perlu modal, di samping modal doa, juga modal uang. Namun bukan berarti suara bisa dibeli modelnya Gareng tadi, karena Bagong juga sudah memberi peluang. Oleh sebab itu mari anak-anakku semua kembali kepada aturan yang ada dan percayalah jika penguasa langit tidak menyetujui sekalipun kamu habis uang segunung anakan, tetap saja tidak jadi. Tetapi juga bukan berarti yang duduk denguk-denguk entuk ketuk (duduk termenung dapat kue getuk), tetap saja harus ada upaya. Namun, upaya itu harus sesuai norma yang ada. Demikian anakku. Ayo semua bubar, bersalam-salaman dulu sehingga tidak ada dendam diantara kalian.”
Semar kemudian meninggalkan tempat sambil berjalan perlahan menjauh dari mereka.
Petruk waktu mau meninggalkan tempat mendekati Bagong sambil berbisik “Gong, aku punya seribu mata pilih, per orang seratus ribu, uangnya masukkan amplop terus masukan kantong kresek warna hitam terus gantungkan di pintu kandang ayammu, nanti pukul tujuh malam tak ambil, awas jangan konangan Gareng.”
Bagong bengong melihat sikap Petruk yang justru terbalik dari yang diucapkan tadi. Belum sempat Bagong menjawab, Gareng mendekat dan berkata “Gong, aku punya seribu limaratus suara, per suaranya seratus lima puluh ribu, uangnya masukkan amplop warna putih, kemudian masukkan ke dalam sarung bantal. Sarung bantal isi uang itu kamu letakkan di atas bubungan kandang ayammu, nanti pukul tujuh malam tak ambil”. Kemudian Gareng berlalu.
Tinggal Bagong sendirian tenger-tenger duduk sambil mikirkan cara bagaimana agar Petruk sama Gareng saat mengambil biar ketemu. Dan pasti mereka akan saling silang pendapat, terus juga bagaimana kalau uangnya diganti uang mainan anak-anak yang persis sama dengan uang asli kalau dilihat malam hari, biar sempurna mereka semua tertipu untuk satu meratap dan satu tertawa. Jangan saya saja yang meratap mereka berdua tertawa. Biarkan mereka berdua gantian saling ratap dan saling tawa.
Dalang membunyikan cempolo sebagai penanda pakeliran akan berlanjut pada episode lainnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman