Memberatkan
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Secara umum, konsep “memberatkan” dalam ilmu sosial sering kali digunakan untuk mengeksplorasi hubungan kekuasaan, ketimpangan, dan ketidakadilan yang menciptakan beban tambahan dalam kehidupan individu atau kelompok. Sementara itu dalam Sosiologi kita kenal konsep beban struktural, yaitu: ketidakadilan sistemik atau ketimpangan sosial-ekonomi yang dapat memberatkan kelompok rentan, seperti buruh, perempuan, atau kaum miskin.
Bencana alam yang berakibat menjadikannya bencana sosial karena dampak langsung ada pada yang disebut di atas. Oleh karena itu bencana alam bisa saja terjadi hanya sekejap, tetapi akibat yang ditimbulkan menjadi munculnya bencana sosial yang berlangsung bisa memakan waktu yang lama dan melelahkan. Oleh karena itu kehadiran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan dan kebijakan serta sumberdaya adalah sesuatu keharusan; terutama untuk jangka panjang.
Hanya mendatangi, tidak untuk menindaklanjuti kunjungan kepada para korban bencana, adalah pekerjaan pencitraan belaka. Mereka tidak memerlukan ucapan “kasihan”, akan tetapi lebih kepada tindakan nyata; akan diberi apa, dan kelak akan bagaimana. Mereka lebih butuh kepastian akan nasib diri dan keluarganya pascabencana; yang semua ini pada umumnya jika ditanyakan kepada pejabat yang berwenang, akan menjawab kompak “sedang kami pikirkan”.
Lebih menyedihkan lagi jika “mereka ditinggal” oleh pemimpin yang dipilihnya, hanya karena alasan “jadwal tidak bisa diubah”. Kemustahilan seperti ini menjadikan masyarakat makin menjauh; sehingga bisa jadi mereka akan apatis serta tidak peduli lagi dengan apa yang mereka yakini selama ini baik. Bisa dibayangkan sampai waktu cukup lama yang hadir hanya bantuan, tidak muncul orang yang selama ini di gadang-gadang. Pada hal kehadiran fisik adalah pengobat luka relasi sosial yang bisa saja terjadi karena kelalaian selama ini.
Namun kelihatannya posisi rakyat tetap sebagai sub-ordinat yang memang menjadi obyek untuk “dikerjain”; oleh karena itu cara kooptasi yang dilakukan penguasa semakin sempurna manakala informasi dapat dikuasai atau paling tidak diminimalisir.
Posisi sub-ordinat ini semakin terasa manakala terkait dengan masalah ekonomi; bisa dibayangkan pengusaha besar yang tentu punya modal besar, bisa seenaknya menentukan harga produk hasil pertanian. Hal ini dikarenakan mereka memiliki alat produksi di luar negeri, yang nasilnya dapat untuk mengatur harga, dengan cara “memasukkan” barang milik perusahaan sendiri dengan berbaju “import”. Kondisi ini menjadi subur makmur karena pejabat yang menangani hal ini mendapat upeti.
Rakyat menjadi tersakiti, pejabat membela setengah hati; akhirnya mereka bertindak sendiri dengan terkadang terkesan “anarkhi”. Pada hal sebenarnya mereka menuntut haknya sebagai warga negara, dan meminta negara hadir ditengah mereka.
Pembenaran yang tidak benar terus terjadi; terakhir dengan pongah pengusaha menutup pabriknya untuk tidak menerima hasil pertanian dengan waktu yang tak terbatas. Tentu saja kemarahan rakyat memuncak sampai keubun-ubun mereka. Yang ada hanya dua pilihan, menyelamatkan keluarga atau perang melawan pengusaha.
Semua kita harus memahami bahwa beban berat masyarakat semakin hari semakin memberatkan dalam ukuran skala mereka. Harga yang berkaitan dengan hajat hidup semakin membumbung harganya, sementara harga hasil produk mereka dihargai rendah di pasar karena adanya sistem yang tidak memihak mereka. Untuk itu sudah waktunya untuk memperbaiki seluruh sitem distribusi ekonomi yang membela rakyat, salah satu diantaranya adalah “hadirnya negara” melalui instrument yang dibangun untuk menyelamatkan rakyat.
Tidak berarti selama ini tidak hadir, namun kehadiran yang terbungkus “pencitraan” dan “seolah-olah”; sudah bukan jamannya lagi. Tindakan nyata sangat diperlukan agar mengurangi beban sosial yang memberatkan rakyat kecil, atau paling tidak menguranginya. Sehingga capaian akan rasa keadilan sosial bagi seluruh rakyat, yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar melalui falsafah hidup bangsa, bukan sekedar bahan hafalan di sekolah. Namun betul-betul dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat negeri ini tanpa melihat siapa dan apa latar belakang mereka. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman