Melihat Dari Sisi Lain
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang ruang kerja kedatangan seorang mahasiswa pascasarjana yang kebetulan seorang dokter. Mahasiswa ini tampak cerdas dan berfikir rasional sebagai ciri khas ilmuwan; yang bersangkutan sengaja datang bersilaturahmi, sekaligus ingin sedikit berdiskusi di waktu yang sangat mepet yang dia miliki. Dia berbagi pengalaman saat melakukan studi lapangan di salah satu daerah istimewa negeri ini dan ini sangat menyenangkan.
Pada waktu berkunjung ke salah satu rumah sakit terbesar di sana, dokter ini menemukan ruang profesor di unit gawat darurat; saat ditanyakan lebih dalam kepada kepala unit ternyata sang profesor setiap hari datang dan siap menerima konsultasi dari dokter yang bertugas di unit itu jika diperlukan. Prinsip mereka kegagalan penanganan pertama akan berakibat fatal selanjutnya. Untuk itu agar tidak salah mengambil langkah maka profesor memberi advais jika diperlukan, dan jalan keluar jika ada hambatan ditemukan.
Terlepas dari hal administrasi, dokter yang juga mahasiswa pasca ini dan telah memiliki pengalaman yang luas baik dalam maupun luar negeri, merasa kagum dengan hadirnya seorang guru besar ditengah pengabdian kemanusiaan. Dari persoalan kesehatan ini diskusi berkembang kearah filsafat manusia, karena yang bersangkutan pembaca setia artikel yang selalu dikirim; dan sejurus kemudian mahasiswa balik bertanya dengan pertanyaan sebagai berikut:
Mahasiswa: “Prof, mengapa tulisan prof selama ini yang saya baca banyak melihat sisi-sisi gelap yang tidak terbaca oleh orang lain dari suatu persistiwa atau persoalan, sementara orang lain senang menulis yang terang saja dan sedikit memuja, sementara Profesor agak pelit untuk memuji, apa dasar pemikirannya”.
Pertanyaan ini sebenarnya mewakili dari banyak pembaca terhadap artikel yang selama ini ada, bahkan ada seorang anggota dewan terhormat memberi apresiasi sekaligus peringatan agar hati-hati karena ada juga yang tidak suka dengan cara ini; beliaupun mengingatkan adanya pasal-pasal karet yang sering digunakan untuk melibas orang yang tidak segaris. Oleh sebab itu jawaban pertanyaan di atas adalah: jika kita mau menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna dimuka bumi ini, karena ketidaksempurnaannya itulah justru menyempurnakan. Demikian halnya juga dengan produk budaya, perilaku dan apapun namanya dapat dipastikan memiliki sisi gelap. Dan, sisi itu tidak disadari oleh yang bersangkutan, sehingga merasa diri benar terus, atau paling tidak merasa benar. Oleh sebab itu perlu diberi pemahaman dengan cara santun bahwa dirinya atau apapun namanya, ternyata memiliki sisi-sisi gelap yang harus disadari. Penyadaran ini perlu agar supaya mencapai kesempurnaan setelah diadakan perbaikan.
Mahasiswa tadi terus mengejar dengan pertanyaan baru “tetapi begini Profesor; tulisan Profesor tidak pernah menunjuk orang, tempat, situasi atau apapun itu; sehingga hanya mereka yang terasa saja akan terkena. Sementara mereka yang tidak melakukan kesalahan tetap saja merasa happy; apakah cara ini efektif atau bagaimana sejatinya”.
Pertanyaan ini mengingatkan seorang teman jurnalis senior pada masanya yang berdiskusi di daerah puncak Bogor saat masa pasca orde baru. Karya jurnalis itu tidak selamanya harus disampaikan dengan bahasa bombastis, apalagi tunjuk hidung. Semua itu di samping melanggar sopan-santun ketimuran, juga membawa aura seolah-olah kita menjadi wakil Tuhan untuk menghakimi mahluk didunia ini. Tentu sikap pongah seperti ini sama halnya “merasa diri bersih” dan itu bukan fitrah manusia sejati. Ada paham lain yang berbeda dan bertentangan, itu sah-sah saja, dan boleh boleh saja. Namun menjadi pertanyaan apakah kita memperingatkan harus dengan hardikan, suara keras, dan cara keras lainnya.
Apakah tidak lebih efektif jika peringatan kita itu dirasakan saat yang bersangkutan dalam kondisi tenang dan rileks, sehingga yang bersangkutan menerima dengan tidak harus kehilangan martabat. Bahkan doktor Ridwan seorang mahasiswa bimbingan dulu mengatakan “mandi di laut itu nikmat bagi yang sehat, namun bagi mereka yang ada sedikit luka, maka rasa air laut itu menjadi pedih tak terhingga”. Kalimat ini sangat tajam sebab menunjukkan mereka yang terasa itu karena serasa; sebab jika dia tidak serasa maka dia tidak akan berasa.
Oleh karena itu benar apa kata Kiai Musthopa Bisri kerja yang paling sulit tetapi besar faedahnya adalah kerja bakti membersihkan hati. Itu harus kita lakukan setiap hari agar supaya tidak tersumbat oleh penyakit hati. Dan, bentuk rasa sayang itu tidak selamanya harus ditimang, terkadang sesekali perlu juga ditendang. Oleh sebab itu marah tidak selamanya mewakili ketidaksukaan, justru itu bisa jadi rasa sayang dalam bentuk lain; hanya tinggal bagaimana menyampaikannya, dan menerimanya; itu soal kedewasaan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman