Kaya Kok Mimpi
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi buta seorang ibu membangunkan suaminya dengan memaksa, tentu akibat kelakuan istrinya tadi suaminya tergagap dan jika dialog itu didiskripsikan akan tampil sebagai beriku:
Istri : “ Pak bangun, bangun, bangun…. mana uang untuk saya, kan bapak dapat uang banyak dari pemberian Bos bapak di kantor. Kenapa bapak mulai tidak jujur mendapatkan uang oplosan minyak jumlahnya banyak, saya tidak dikasih…saya mau jalan-jalan keluar negeri, mau beli Tas dan Jam Tangan mewah. Cepat Pak mana uangnya ”.
Suami: dengan tergagap bangun sambil mengusap mata dengan lengannya, dan terheran-heran melihat kelakuan istrinya; setelah tenang sejurus kemudian bertanya : “Uang apa Bu…saya gak ngerti apa maksud Ibu”. Sambil kelihatan linglung dan bingung.
Istrinya tidak terima dengan jawaban suaminya yang kelihatan bloon, seraya berkata sambil menghardik seperti kebiasaannya “bohonggggg bapak ini, mana uangnya, mana…mana. Sini cepat kasihkan saya” sambil memelototkan matanya dan mebenarkan daster tidur yang mlorot. Suaminya semakin bingung dan garuk-garuk kepala, seraya berkata: “ayo turun dulu kita duduk sambil ngopi, kita bicara baik-baik”. Suami mulai menyadari ada yang tidak beres dengan istrinya.
Sejurus kemudian pasangan suami istri yang sudah tidak muda lagi itu duduk diruang dapur sambil ngopi. Suaminya bertanya baik-baik dengan istrinya: “Ibu bagaimana ceritanya kamu bisa minta uang sementara kita berdua masih tidur dan hari masih gelap”. Suaminya mendekatkan duduknya kesamping istrinya sambil membenarkan sarungnya yang mlorot. Istrinya bengong dan baru sadar bahwa dia sebenarnya tadi mimpi, dan dengan sedikit malu dia berkata pada suaminya : “maafkan saya Pak…ternyata tadi saya itu mimpi…perasaan saya bapak mendapat bagian dari korupsi di Patra Niaga: entah siapa yang memberi..bapak diberi uang satu karung isinya uang ratusan ribu warna merah semua…dan bapak tidak memberikan ke saya, semua bapak ambil dan dibawa lari oleh bapak entah kemana…dan saya kejar: maka saya bangun itu langsung membangunkan bapak untuk minta uang”.
Mendengar permintaan maaf dan cerita dari istrinya, sang bapak sedih dalam hati namun tidak dia tampilkan di raut wajahnya. Beliau tersenyum lalu mencium kening istrinya seraya berkata: “besok kalau mau tidur jangan lupa ambil air sembahyang dan berdoa minta perlindungan Allah, agar tidak diganggu setan dalam tidurnya”.
Kejadian itu berlalu, namun luka hati bapak tadi belum terobati memikirkan bagaimana lukanya hati banyak orang dinegeri ini membaca berita fantastisnya nilai rupiah yang dikorupsi oleh “bandit berdasi”, padahal gaji mereka sudah amat sangat besar. Bapak tadi berfikir perlu berapa ribu tahun dia bekerja untuk mendapatkan gaji sebesar para koruptor tadi. Uang yang dikorupsi tadi jika diberikan beras kemudian dibagikan orang se negara ini, tentu tidak ada orang kelaparan dipinggir jalan, atau jika diberikan kepada mereka yang memerlukan modal usaha, berapa usaha kecil menengah yang terbantu. Berapa banyak sekolah jika dibangunkan sekolah baru atau rehab sekolah yang rusak di negeri ini. Bapak tadi tidak sadar bahwa dirinya juga sudah ketularan penyakit “khayal” istrinya yang baru saja dibangunkan.
Negeri ini tampaknya sedang menampilkan drama kehidupan dengan sempurna, sehingga rakyatnya dibuat bak nonton sinetron. Belum selesai satu episode, sudah dimunculkan episode baru. Akhirnya penonton menjadi lelah, dan bersikap “masa bodoh”: pertanyaannya apakah ini sengaja tertulis dalam skenario. Tentu jawabannya ada pada sang sutradara. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman