Tukang Parkir Sejati
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Hari libur adalah hari yang dinanti oleh banyak orang, sebab bisa keluar dari rutinitas keseharian. Ada suasana baru yang hadir atau dihadirkan, seperti mengurus tanaman di kebun, membersihkan kolam ikan, dan lain sebagainya, tergantung hobi dan ketersediaan sarana. Namun pada umumnya pilihan ada pada bertamasya dalam arti sesungguhnya atau kiasan. Arti sesungguhnya menunjukkan pergi ke tempat daerah wisata, sementara yang arti kiasan adalah bertamasya dalam bentuk lain; salah satu diantaranya adalah mengantar istri belanja ke pasar.
Kategori terakhir tadilah menjadi pembuka tulisan ini saat minggu lalu menjadi pengawal polisi dapur; Dan, pagi itu matahari baru muncul diufuk timur dengan suasana tidak begitu terik, kami memutuskan untuk pergi berbelanja di salah satu pasar tradisional.
Kesepakatan diambil “pak supir” tinggal di kendaraan, sementara kepala dapur yang keliling pasar untuk berbelanja. Kesempatan ini digunakan untuk mengamati keadaan sekitar yang menarik untuk bahan kajian perenungan diri. Tampak di kejauhan ada sosok tukang parkir yang sedang menepi sambil berkipas, beliau tampak sangat kelelahan. Ada keinginan untuk mendekati yang bersangkutan, namun terlebih dahulu mencari tahu tentang profesi ini; ternyata dari penelusuran digital diperoleh informasi sebagai berikut: “Tukang parkir sejati” bisa diartikan secara filosofis, bukan hanya sekadar profesi. Seorang tukang parkir sejati memahami bahwa kendaraan yang ia jaga bukan miliknya, ia hanya mengatur, merapikan, dan memastikan semuanya berjalan lancar. Ketika saatnya tiba, ia harus rela melepas kendaraan itu kembali ke pemiliknya tanpa rasa memiliki. Makna ini bisa menjadi filosofi hidup yang sangat dalam: kita hanya “mengatur” apa yang sementara, bukan memiliki sepenuhnya—baik itu harta, jabatan, atau bahkan orang-orang di sekitar kita. Semua datang dan pergi sesuai waktunya.
Profesi tukang parkir mulai muncul seiring dengan meningkatnya jumlah kendaraan bermotor dan kebutuhan akan keteraturan dalam parkir. Jika kita lihat sejarahnya, ditemukan jejak digital demikian: Awal Abad ke-20 – Di kota-kota besar seperti di Amerika dan Eropa, seiring dengan bertambahnya mobil pribadi, muncul sistem parkir yang lebih teratur. Petugas parkir mulai dipekerjakan untuk membantu mengatur lalu lintas dan parkir di area ramai.
Indonesia (Era 1950-an – 1970-an) – seiring pertumbuhan kendaraan setelah kemerdekaan, terutama di kota besar seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Surabaya, profesi tukang parkir mulai banyak muncul secara informal. Awalnya, mereka hanya sukarela membantu pemilik kendaraan untuk mendapat sedikit uang.
Regulasi Parkir (1980-an – Sekarang) – Pemerintah daerah mulai mengatur sistem parkir, termasuk retribusi dan pengelolaan oleh dinas perhubungan atau pihak ketiga. Namun, di Indonesia, masih banyak tukang parkir yang bekerja secara mandiri atau di bawah organisasi tertentu. Secara esensial, profesi ini muncul sebagai solusi atas kebutuhan manusia dalam mengatur ruang parkir yang semakin padat.
Demikian halnya yang ada di pasar tradisional ini, tampaknya mereka “setengah resmi” dalam pengertian mereka mendapatkan pembahagian hasil dari yang diperoleh kepada atasannya. Atasannya sendiri harus “setor” dengan petugas, yang untuk ini belum jelas apakah resmi sebagai ristribusi kota atau oknum.
Begitu ada kesempatan turun dari kendaraan menghampiri mereka untuk sedikit ngobrol sebagai berikut: saat ditanya sejak kapan menjadi tukang parkir dan berapa penghasilannya, dan bagaimana mekanismenya; yang bersangkutan menjawab: “saya sudah lima tahun disini pak…meneruskan pekerjaan abang saya yang juga dulu tukang parkir di sini. Beliau sudah sakit-sakitan dan saya harus gantiin beliau. Dahulu abang yang menyekolahkan saya sampai SMP, kemudian tidak ada uang lagi, sementara beliau sakit, maka saya harus bantu”.
Soal penghasilan beliau menjawab: “kalau soal hasil tidak menentu pak, kadang banyak kadang sedikit……namun berapapun semua saya serahkan pada Abang. Kata Abang akan disetorkan ke petugas yang memerintah mereka”.
Apa harapannya dengan pekerjaan seperti ini, jawab beliau : “saya nikmati saja pak dengan bersyukur, walau kadang sakit jika ada pemilik kendaraan saat memberikan uang parkir dengan cara melempar, namun apa hendak dikata itu sudah nasib saya. Tetapi saya sangat senang jika kendaraan-kendaraan yang parkir tadi bisa tertata rapi dan pergi dengan tidak ada halangan apapun”.
Saat ditanya apakah tidak ada keinginan mengubah nasib, jawaban beliau “..keinginan itu ada pak, tetapi saya tidak tahu jalannya, dan kalau soal rejeki saya yakin Allah telah mengaturnya, jadi biarlah semua berjalan sebagaimana adanya”.
Takut mengganggu pekerjaannya untuk sementara undur diri karena kebetulan juga polisi dapur sudah selesai berbelanja. Dari perbincangan tadi dapat kita renungkan apa yang pernah dikatakan orang-orang terdahulu bahwa; “rezeki semua kita berbeda, ujian masing-masing kita juga berbeda, setiap kita memiliki keberentungan yang berbeda, juga setiap kita memiliki jatah dan jatuh yang berbeda pula. Oleh sebab itu jangan bandingkan diri kita dengan diri orang lain; sekalipun kita hidup di bumi yang sama, tetapi dengan takdir yang berbeda”. Dengan kata lain mensyukuri apa yang ada, kemudian mengelola dengan baik dan benar secara syariat; mudah-mudahan Tuhan memberikan keberkahan akan kehidupan kita. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman