Jalur Langit
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi itu Tuhan menurunkan rahmat melalui hujan yang cukup lebat, dan saat memposisikan kendaraan di areal parkir, mendadak alat komunikasi berdering memberi tanda ada yang ingin bicara. Ternyata di seberang sana ada sahabat yang ingin mengajak berbincang sejenak. Tentu saja dengan senang hati melayaninya; dan, isi bincangan beliau adalah kondisi saat ini yang sedang tidak baik-baik saja; bahkan tunjangan yang seharusnya beliau terima, sampai hari ini belum juga nongol karena persoalan administratif. Sementara kemarin ada juga peristiwa serupa tapi tak sama berkontakhubung dengan penulis ingin menemukan jalan keluar dari persoalan kehidupan. Karena semua jalur sudah dilakukan, namun hasilnya masih juga belum didapat, maka jawaban dari keduanya adalah tiga kata “Gunakan jalur langit”; tampaknya diksi ini sangat mengawang-awang; namun baiklah kita telusuri makna filosofinya melalui pustaka digital.
Secara harfiah, jalur langit mengacu pada sebuah rute pendakian atau perjalanan yang membentang di ketinggian, biasanya menyusuri punggung gunung atau pegunungan. Di berbagai budaya Nusantara, jalur langit juga sering dikaitkan dengan perjalanan spiritual menuju kesadaran yang lebih tinggi, semacam tirakat atau laku batin untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Makna makrifat menapaki jalur langit bukan hanya tentang mencapai puncak gunung, tetapi tentang “menuruni diri sendiri”. Dalam sunyi dan lelahnya pendakian, mereka menemukan perenungan yang tak bisa didapat di tengah hiruk pikuk kehidupan. Pendakian menjadi media kontemplasi, di mana manusia berhadapan dengan dirinya, dengan alam, dan dengan kekuatan yang lebih tinggi.