Berbicara dalam Diam

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang santri menjumpai gurunya dan bertanya, “Guru, apakah yang dimaksud dengan bicara dalam diam? Sementara berbicara itu berarti tidak diam, bagaimana bisa demikian Guru?”. Dengan senyuman khas, Sang Guru menatap wajah santrinya dalam-dalam. Diam-diam dia mengagumi kecerdasan santri ini yang memang senang membaca.

Guru mencoba menjawab “Baiklah muridku, akan aku coba melihat dari pandangan beberapa tokoh besar dalam agama yang kita anut mengenai persoalan ini. Hanya saja, persiapkan diri dengan mata batinmu guna merasakan perbedaan mendasar di antara mereka, dan pesanku dirimu tidak perlu memihak apalagi membenci”.

Sang Guru mulai mendedah persoalan ini demikian: Berbicara dalam diam sering dikaitkan dengan ketuhanan; oleh sebab itu lengkap kalimat itu adalah Tuhan berbicara dalam diam. Dari berbagai sumber buku yang pernah saya baca ditemukan risalah bahwa makna “Tuhan berbicara dalam diam” adalah ungkapan spiritual yang sangat dalam dan kaya akan tradisi sufisme, khususnya dalam ajaran Jalaluddin Rumi.

Berikut makna filosofis dan spiritual dari frasa itu:

Pertama, Diam adalah Bahasa Tuhan.
Dalam dunia yang penuh kebisingan pikiran, kata-kata, dan ego, diam menjadi ruang suci tempat jiwa bisa benar-benar mendengar. Rumi percaya bahwa kata-kata seringkali membatasi, sedangkan Tuhan melampaui bahasa manusia. Dalam keheningan batin, kita bisa menangkap bisikan Ilahi yang tak bisa diucapkan dengan logika. Rumi menulis: “Ada suara yang tidak bisa didengar telinga. Dengarkan dengan hatimu, karena Tuhan berbicara dalam diam.”

Kedua. Diam sebagai Meditasi dan Kesadaran.
Diam bukan sekadar tidak berbicara, tapi diam batin — bebas dari ego, keinginan, dan distraksi duniawi. Oleh sebab itu dalam diam yang hening, hati menjadi cermin. Rumi berpendapat bahwa Tuhan ‘berbicara’ dalam bentuk ilham, kesadaran, pemahaman, atau kedamaian mendalam.

Ketiga, Penderitaan Diam dan Kehadiran Tuhan.
Terkadang, seseorang mengalami luka atau kesedihan yang begitu dalam sehingga tidak terungkap oleh kata-kata. Rumi melihat rasa sakit dan keheningan batin sebagai momen paling dekat dengan Tuhan. Dan Rumi berkata : “Kesedihanmu adalah pesan dari langit. Dengarkan air matamu; ia membawa pesan cinta dari Sang Kekasih.”

Keempat. Diam dan Penyatuan (Fana).
Dalam sufisme, puncak spiritualitas adalah fana — lenyapnya ego dalam kehadiran Tuhan. Di titik ini, tak ada lagi “aku” yang berbicara, hanya ada keheningan murni, yang justru penuh makna Ilahi. Oleh sebab itu Rumi berpesan bahwa: “Tuhan berbicara dalam diam” berarti bahwa dalam keheningan terdalam jiwa — ketika pikiran tenang, hati bersih, dan ego runtuh — itulah saat suara Tuhan bisa didengar. Bukan dengan telinga, tapi dengan hati yang terbuka.

Berbeda lagi pandangan Rabi’ah Al-Adawiyah, sufi perempuan besar dari abad ke-8, tentang “Tuhan berbicara dalam diam” sejalan, namun memiliki nuansa khas: penuh cinta murni (mahabbah) dan pengosongan total diri untuk Tuhan. Dalam ajarannya, diam bukan sekadar keadaan sunyi, tetapi kehadiran penuh jiwa yang sepenuhnya terarah pada Sang Kekasih, yaitu Tuhan.

Adawiyah meyakini bahwa cinta kepada Tuhan tidak membutuhkan perantara kata, karena cinta sejati adalah hadir sepenuhnya untuk-Nya, bahkan tanpa mengucap. Ucapan beliau yang terkenal sampai saat ini ialah: “Tuhanku, aku menyembah-Mu bukan karena takut neraka atau rindu surga. Tetapi karena Engkaulah yang layak dicintai”. Dalam konteks itu, diam adalah bentuk tertinggi dari ibadah dan penyerahan—karena ketika cinta sudah menyala total, tak ada lagi yang perlu dikatakan.

Bagi Rabi’ah, cinta kepada Tuhan membuat jiwa mendengarkan suara Ilahi dalam keheningan batin, bukan dari telinga, tapi dari rasa yang paling halus. Tuhan tidak perlu “berkata-kata” karena hadirat-Nya bisa dirasakan dalam ketenangan, air mata, atau bahkan dalam napas paling sunyi.

Diam dalam ajaran Adawiyah juga bisa dilihat sebagai ruang kosong dari selain Tuhan, tempat jiwa bisa bersatu tanpa gangguan duniawi. Dalam diam itu, Tuhan “berbicara” lewat cahaya, rasa tenang, atau getaran cinta yang menyusup ke relung jiwa. Diam Menjadi doa yang tertinggi, sebab dalam kecintaan yang mendalam, kata-kata malah terasa tidak cukup. Maka, diam dalam cinta sufi bukan hampa, tapi justru doa yang paling dalam, karena cinta murni lebih fasih dari lisan.

Berbeda lagi pandangan Imam Al-Ghazali tentang “Tuhan berbicara dalam diam”; beliau tidak sepekat dan puitis seperti dalam ajaran Rumi atau Rabi’ah Al-Adawiyah, namun tetap mendalam dan kaya secara intelektual maupun spiritual. Sebagai seorang filsuf, teolog, dan sufi besar, Al-Ghazali memadukan akal, hati, dan wahyu dalam memahami relasi manusia dengan Tuhan.

Pandangan beliau, diam sebagai jalan ma’rifah (pengetahuan tentang Tuhan). Pengatahuan sejati tentang Tuhan (ma’rifah) tidak dicapai semata-mata melalui logika atau banyak bicara, tetapi lewat penyucian jiwa dan kontemplasi mendalam. Perkataan beliau yang terkenal sampai hari ini ialah: “Diam adalah kunci ibadah dan sarana keselamatan dari kesalahan lisan”. Jadi, diam di sini adalah alat untuk membersihkan hati, karena hati yang bersih adalah tempat Tuhan menanamkan cahaya-Nya.

Menurut Al-Ghazali, ketika seseorang mencapai tahapan tazkiyah (penyucian jiwa), hatinya menjadi wadah cahaya ilahi (nur). Dalam kondisi ini, bukan suara literal yang didengar, tapi ilham (bisikan kebenaran) yang datang langsung dari Tuhan ke dalam hati. Oleh karena itu beliau berpesan: “Jika hatimu suci, maka setiap bisikan baik yang muncul di sana adalah dari Tuhan.” Walaupun pesan ini sebagai keunggulan sekaligus kelemahan Ghazali; nanti pada lain kesempatan kita bicarakan secara khusus tentang ini.

Al-Ghazali sangat menekankan uzlah (menyepi dari dunia) sebagai cara mendengar kebenaran yang lebih hakiki. Dunia, dengan segala kesibukan dan suara-suara luar, bisa menutupi suara Ilahi. Dalam Misykat al-Anwar (Niche of Lights), ia membahas bahwa cahaya Tuhan hanya masuk ke hati yang bebas dari kegelapan hawa nafsu dan gangguan luar. Oleh sebab itu “diam”, bagi Al-Ghazali, adalah penutup pintu dunia agar terbuka pintu langit.

“Berbicara dalam diam” menurut Al-Ghazali berarti bahwa dalam diam yang dipenuhi dzikir, tafakur, dan penyucian jiwa, hati menjadi wadah ilham Ilahi. Bukan suara yang terdengar telinga, melainkan cahaya kebenaran yang hadir dalam batin.

Demikianlah wahai muridku, betapa “diam” merupakan pintu maksuk ke dalam keramaian “keilahian”; hanya sayang banyak manusia terjebak dalam keramaian, sebenarnya dia dalam kesunyian; dan, akhirnya dia tidak bisa “diam”. Semoga kau memahami apa makna semua itu. Sang santri tertunduk takzim mohon diri dari hadapan sang guru karena harus mengumandangakan adzhan tanda waktu shalat telah tiba. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman