Memetik Matahari Menuai Badai

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Seorang santri dalam satu pengajian personal bertanya kepada Guru Mursyidnya apa maksud dari diksi “Janganlah engkau memitik matahari, jika dirimu tidak tahan badai”; tampaknya frase itu sesuatu banget. Sang guru yang mendapatkan pertanyaan demikian dari muridnya merasa perlu menjelaskan pada posisi permukaan saja, karena jika langsung ke inti filosofinya, dikhawatirkan sang murid belum siap secara batiniah. Beliau seraya menjawab; “baiklah akan kujelaskan pengantarnya dahulu, nanti pada kesempatan lain akan dijelaskan inti pokok dari frase itu”.

Lanjut beliau, berdasarkan referensi yang saya baca memberikan informasi bahwa, setiap manusia memiliki dorongan alami untuk tumbuh, mencapai sesuatu, dan meninggalkan jejak dalam hidupnya. Dalam proses tersebut, kita menatap ke atas—kepada sesuatu yang bercahaya, besar, dan tampak menjanjikan. Kita menyebutnya “impian”, “ambisi”, atau “cita-cita”. Namun, ada satu peringatan bijak yang perlu kita renungkan bersama: “Janganlah engkau memetik matahari jika dirimu tidak tahan badai.”

Kalimat ini adalah metafora kuat yang berbicara tentang hubungan antara ambisi besar dan konsekuensi besar. Ini tidak serta-merta melarang kita bermimpi tinggi, tetapi menyadarkan kita bahwa impian besar menuntut kesiapan mental, emosional, dan moral yang besar pula. Secara simbolik, matahari melambangkan segala sesuatu yang terang, tinggi, dan berharga. Ia bisa menjadi representasi dari kesuksesan, pengakuan, kekuasaan, ilmu pengetahuan, hingga pencapaian spiritual. Sementara itu, badai adalah lambang dari kesulitan, tekanan, tantangan, bahkan penderitaan yang kerap mengiringi proses pencapaian tersebut. Badai hadir sebagai bentuk konsekuensi alami dari keinginan untuk naik ke level yang lebih tinggi. Frasa ini menyampaikan pesan sederhana: jangan berani mengejar hal besar jika kamu belum siap menghadapi rintangannya.

Dalam psikologi modern, konsep ambisi sering dikaitkan dengan motivasi intrinsik dan kebutuhan aktualisasi diri, seperti yang diungkap Abraham Maslow dalam teorinya tentang hierarki kebutuhan manusia. Setelah kebutuhan dasar terpenuhi, manusia cenderung mengejar sesuatu yang lebih tinggi—eksistensi, prestasi, makna. Namun, para psikolog juga mengingatkan bahwa ambisi tanpa kesiapan mental justru bisa membawa pada stres kronis, burnout, atau bahkan gangguan kesehatan mental. Orang yang terlalu cepat naik tanpa fondasi ketahanan emosi akan mudah rapuh saat badai datang dalam bentuk kritik, kegagalan, tekanan sosial, atau ekspektasi berlebih. Di sinilah pentingnya resiliensi—kemampuan untuk bertahan dan bangkit dalam kondisi sulit. Dalam banyak studi, resiliensi menjadi kunci keberhasilan jangka panjang, bahkan lebih penting daripada IQ atau bakat alamiah.

Di era digital saat ini, banyak orang berlomba mengejar “matahari” versi masing-masing: ketenaran di media sosial, pencapaian akademik cepat, kekayaan instan, atau validasi publik. Namun, dalam prosesnya, banyak yang mengabaikan satu aspek penting: proses dan daya tahan.

Budaya instan dan citra palsu di media sosial memperkuat ilusi bahwa sukses itu mudah dan tanpa badai. Padahal kenyataannya, setiap orang sukses pasti melewati badai—hanya saja, badai itu sering tak terlihat dari layar kaca. Ketika realita tidak sesuai ekspektasi, banyak yang kemudian mengalami disonansi kognitif, bahkan menyerah pada ambisinya. Maka, penting bagi masyarakat—terutama generasi muda—untuk menanamkan kesadaran bahwa sukses itu bukan hanya soal “memetik matahari”, akan tetapi juga soal tahan uji saat badai menerjang.

Frasa ini juga bisa ditarik ke ranah etika. Ada orang yang memetik matahari dengan cara merusak, mengorbankan yang lain, atau menghalalkan segala cara. Dalam konteks ini, frasa tersebut bisa dimaknai sebagai: “jangan mengejar sesuatu yang besar jika caramu mencapainya akan membawa kehancuran bagi dirimu atau orang lain”. Sains tanpa etika, kekuasaan tanpa tanggung jawab, atau popularitas tanpa integritas bisa menjadi “matahari palsu” yang justru membawa badai lebih besar, bukan hanya pada pelakunya, tetapi juga lingkungannya. Bermimpilah tinggi, namun siapkan fondasi mental yang kokoh. Karena badai pasti akan datang. Dan hanya mereka yang tangguh, yang akan tetap berdiri—bahkan lebih kuat setelahnya.

Dan, pada akhirnya frasa “Janganlah Engkau Memetik Matahari Jika Dirimu Tidak Tahan Badai” adalah bentuk cinta dari kehidupan itu sendiri. Ia bukan larangan untuk bermimpi, tapi pengingat untuk bersiap. Karena dalam setiap perjalanan menuju terang, akan selalu ada gelap yang harus dilewati. Dan siapa yang ingin mencapai puncak, harus siap menghadapi angin paling kencang. Bukan soal seberapa tinggi matahari yang kau petik, tapi seberapa kuat kamu berdiri ketika badai mencoba menjatuhkanmu.

Sejurus kemudian Sang Guru menutup wedarannya dengan kalimat kunci: “Demikian muridku semoga engkau paham akan makna yang terkandung dalam frasa tadi, intinya bahwa tidak ada larangan untuk bercita-cita tinggi, namun yang lebih penting dari itu sudah siapkah dirimu menempuh badai yang menjadi halangrintangnya. Semua kembali kepada mu dan kodratmu”. Sang murid tercenung dan tidak lama kemudian undur diri, dalam hatinya berkata: “ini baru permukaan saja kepala saya sudah goyang, apalagi intinya”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman