Bertempur tanpa Kata Libur
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi di Hari Kebangkitan Nasional itu L, saya kedatangan tamu seorang dosen muda yang bergelar doktor. Di samping mengucapkan selamat ultah ternyata beliau mengajak diskusi. Topik pagi itu adalah mengomentari satu artikel yang dikirim oleh teman lama waktu ditempat kerja dulu yang dimuat oleh harian digital ternama di negeri ini, bertema beban kerja dosen yang mirip pekerja rodi, sesuai judul yang dimuat “Dosen Kerja Seperti Kuda”. Diskusi melebar dengan melacak pendapatan pekerja profesional di negeri ini dibandingkan dengan jam kerja dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing profesi.
Ternyata ditemukan indikasi pendapatan dosen itu pada level golongan tertentu sama dan sebangun dengan pendapatan Supir Bus Malam eksekutif di Jawa, bahkan bisa dibawah yaitu setara kondektur atau malah kernetnya. Kami berdua tertawa dan akhirnya diskusi menjadi menarik, dan jika disaripatikan hasilnya sebagai berikut: Dalam dunia profesional yang terus berubah dengan cepat, tuntutan akan produktivitas, efisiensi, dan dedikasi kian meningkat. Kalimat “Bertempur tanpa mengenal kata libur” bukan sekadar ungkapan semangat, melainkan mencerminkan sebuah filosofi hidup dan kerja yang mendalam. Ungkapan ini tidak berarti seseorang harus bekerja tanpa henti secara fisik, tetapi lebih pada sikap mental: komitmen tanpa jeda untuk terus berkembang, menghadapi tantangan, dan menyelesaikan tanggung jawab dengan tekad penuh, tanpa melihat pendapatannya berapa.
Diksi yang sering dipakai oleh para supir Bus Malam AnatarProvinsi ini memiliki makna filosofis sebagai Perjuangan Tak Kenal Henti. Secara harfiah, kata “bertempur” merujuk pada pertempuran atau peperangan. Namun, dalam konteks pekerjaan, maknanya meluas menjadi upaya terus-menerus untuk mengatasi tantangan, memenuhi target, menjaga profesionalisme, dan menciptakan nilai.
Sementara itu, frasa “tanpa mengenal kata libur” bukan ajakan untuk mengabaikan istirahat, tetapi gambaran semangat juang yang konsisten, bahkan ketika banyak orang memilih untuk berhenti. Filosofi ini juga menekankan bahwa perjuangan dalam bekerja adalah bagian dari proses hidup. Dalam dunia kerja, musuh yang dihadapi bukan musuh fisik, tetapi bisa berupa kemalasan, rasa puas diri, tekanan deadline, persaingan, maupun krisis moral.
Di berbagai sektor industri, karyawan, pengusaha, dosen, maupun pemimpin dihadapkan pada tekanan yang luar biasa. Tenggat waktu, target, inovasi, pelayanan, dan ketahanan terhadap krisis menuntut semua pihak untuk selalu siaga dan tanggap. Dalam situasi seperti ini, filosofi “bertempur tanpa mengenal kata libur” menjadi relevan sebagai sikap mental untuk: “Tidak cepat puas dengan pencapaian sementara”. Seseorang yang menghidupkan prinsip ini dalam pekerjaan akan menunjukkan etos kerja tinggi yang melampaui sekadar bekerja untuk menggugurkan kewajiban.
Dalam dunia kerja modern, etos kerja menjadi indikator utama keberhasilan seseorang. Etos kerja meliputi ketekunan, tanggung jawab, kejujuran, disiplin, dan daya tahan mental. Filosofi bertempur tanpa libur menyatu dalam semangat ini, karena mencerminkan kesediaan untuk terus berkontribusi dan bertahan, bahkan ketika kondisi tidak ideal seperti halnya saat covid-19 kemarin.
Seorang profesional yang menghayati prinsip ini tidak akan menyerah saat menghadapi tekanan. Ia akan terus berpikir solutif, memperbaiki kesalahan, dan berinovasi, karena dalam benaknya tidak ada ruang untuk berhenti. Libur fisik mungkin ada, tetapi mentalitasnya tetap menyala. Banyak orang-orang sukses yang memulai dari nol. Mereka bekerja dari pagi hingga malam, tanpa akhir pekan, karena menyadari bahwa membangun karier membutuhkan dedikasi penuh. Kegagalan demi kegagalan menjadi bagian dari perjuangan mereka, namun semangat pantang menyerah membuat mereka bertahan. Seorang pendidik sejati tidak hanya mengajar di kelas, tetapi juga mempersiapkan materi, membimbing mahasiswanya, bahkan di luar jam kerja.
Mereka terus belajar, menyesuaikan metode dengan zaman, dan menjadi contoh hidup dari prinsip perjuangan berkelanjutan.
Penting untuk memahami bahwa filosofi ini tidak berarti mengabaikan kesehatan mental dan fisik. Justru, dengan mentalitas bertempur tanpa libur, seseorang belajar mengelola waktu, energi, dan emosi dengan baik. Istirahat tetap diperlukan, namun bukan sebagai bentuk pelarian, melainkan sebagai strategi pemulihan agar bisa bertempur lebih baik esok hari. Dalam dunia kerja, terlalu memaksakan diri hingga kelelahan dapat menimbulkan burnout. Oleh karena itu, penting untuk membedakan antara “kerja keras” dan “kerja cerdas”. Filosofi ini mendorong kita untuk terus berjuang, tapi juga mengembangkan strategi agar tetap sehat dan produktif dalam jangka panjang.
Sikap mental yang siap “bertempur” membuat seseorang memandang tantangan sebagai pembelajaran, bukan sebagai hambatan. Setiap krisis menjadi peluang untuk tumbuh. Setiap kesalahan menjadi ruang refleksi. Dengan begitu, dunia kerja bukan sekadar tempat mencari nafkah, tetapi juga arena untuk mengembangkan potensi diri secara utuh.
Oleh karena itu, mereka yang ada pada posisi ini memandang tempat mereka bekerja adalah rumah kedua dalam kehidupannya.
“Bertempur tanpa mengenal kata libur” adalah filosofi yang relevan di tengah dinamika dunia kerja saat ini. Ia mengajarkan kita untuk konsisten, tangguh, dan berdedikasi. Slogan ini bukan ajakan untuk mengorbankan diri secara buta, tetapi panggilan untuk bekerja dengan semangat pantang menyerah, mengabdi dengan hati, dan terus berkembang sebagai pribadi. Dalam dunia kerja, mereka yang berhasil bukan hanya yang pintar, tetapi juga yang gigih. Karena pada akhirnya, kesuksesan adalah milik mereka yang memilih untuk terus “bertempur”, bahkan ketika jalan terlihat berat. Terlepas akan penghargaan rupiah terhadap profesi, namun hikmah yang terkandung bernilai ibadah, adalah sesuatu yang mulia dihadap Tuhan. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman