Ndherek Kersane Gusti
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Kabupaten Pesawaran baru saja menyelesaikan pemungutan suara ulang pemilihan kepala daerah 2025. Setidaknya ada tiga kejadian menarik dalam proses Pilkada ulang di Pesawaran: pertama, saat pemilihan serentak ada kandidat yang juga ketua partai memenangkan kontestasi pemilihan, harus menerima pil pahit karena digugat atas keabsahan ijazah yang dimiliki. Persidangan pembuktian hukum ditemukan sangkaan itu benar adanya sehingga yang bersangkutan kemenagannya dibatalkan.
Kedua, pesaing yang kalah maju menjadi peserta saat pemilihan ulang berhadapan dengan wakil dari pemenang yang dianulir. Anehnya, calon yang dianulir mendukung bekas rival saat pemilihan pertama; sampai-sampai yang bersangkutan diberi sanksi oleh dewan pusat partai karena tidak mendukung kader. Bahkan diwartakan bahwa yang bersangkutan hanya membawa gerbong kosong.
Ketiga, berdasarkan hasil perhitungan cepat yang dilakukan oleh lembaga survai ternyata calon yang kalah waktu pemilihan pertama, menjadi pemenang saat pemilihan ulang. Terlepas dari “upaya” dan kerja-kerja team pemenang yang siang malam bertungkuslumus di lapangan; ternyata hasil berbalik; semula kalah sekarang menang. Semua itu ternyata merupakan hasil “campur tangan Tuhan” dalam menunjukkan kuasa atas makhluknya. Kita sebagai makhluk hanya bisa berkata dalam ungkapan orang Jawa ndherek kersane Gusti.
Masyarakat Jawa dikenal sebagai kelompok etnis yang memiliki pandangan hidup yang kaya akan nilai-nilai filosofis, spiritualitas, dan keselarasan antara manusia dan alam. Salah satu ungkapan yang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Jawa adalah Ndherek kersane Gusti, yang secara harfiah berarti “mengikuti kehendak Tuhan.” Ungkapan ini bukan hanya sekadar ucapan, melainkan sebuah prinsip hidup yang mencerminkan nilai-nilai ketuhanan, kerendahan hati, dan kesadaran akan keterbatasan manusia.
Secara linguistik, ungkapan ndherek kersane Gusti terdiri dari tiga kata: “ndherek” yang berarti ikut atau mengikuti, “kersane” yang berarti kehendak-Nya, dan “Gusti” yang berarti Tuhan. Dalam konteks budaya Jawa, “Gusti” sering digunakan untuk menyebut Tuhan Yang Maha Esa, menunjukkan sikap hormat dan penuh takzim kepada Sang Pencipta.
Ungkapan ini merefleksikan sikap tunduk dan pasrah terhadap kehendak Tuhan, namun tidak dalam arti menyerah tanpa usaha. Sebaliknya, ungkapan ini digunakan setelah seseorang melakukan segala upaya yang mungkin, kemudian menyerahkan hasilnya kepada Tuhan. Hal ini sejalan dengan prinsip manunggaling kawula lan Gusti, yaitu bersatunya kehendak manusia dengan kehendak Tuhan dalam kesadaran spiritual yang tinggi.
Dalam falsafah hidup orang Jawa, terdapat konsep yang dikenal dengan nrimo ing pandum atau menerima bagian (nasib) yang telah ditentukan. Ndherek kersane Gusti merupakan manifestasi dari konsep ini. Orang Jawa meyakini bahwa hidup harus dijalani dengan kesadaran bahwa tidak semua hal bisa dikendalikan oleh manusia. Ada kekuatan yang lebih tinggi, yaitu kehendak Tuhan, yang mengatur jalan hidup setiap individu.
Ungkapan ndherek kersane Gusti juga adalah salah satu cerminan kearifan lokal masyarakat Jawa yang mengandung makna spiritual dan filosofi hidup yang mendalam. Ia mengajarkan kita tentang pentingnya usaha, kesabaran, keikhlasan, dan ketundukan terhadap kehendak Tuhan.
Dalam dunia yang terus berubah, nilai ini tetap relevan sebagai pedoman untuk menjaga ketenangan batin dan keseimbangan hidup. Mewariskan makna ini kepada generasi selanjutnya bukan hanya menjaga budaya, tetapi juga membentuk manusia yang lebih bijaksana dan rendah hati dalam menghadapi dinamika kehidupan.
Hasil akhir sudah di dapat, kemenangan sudah diperoleh; Tuhan menunjukkan kehendak-Nya. Tinggal yang tersisa: mampukah si pemenang menjaga maruwahnya untuk tetap istiqomah memenuhi janjinya kepada masyarakat? Tagihan akan janji itu bukan hanya di dunia, namun sampai di “alam sana” kelak di hadapan Tuhan.
Demikian halnya tugas para “radio canting” alias tim sukses sudah berakhir, tinggal menepi untuk memberi jalan pada kandidat menunaikan janjinya kepada masyarakat. Jangan lagi pemenang “direcoki” oleh hal-hal yang tidak penting. Kita doakan lima tahun ke depan daerah ini menjadi lebih baik lagi. Semoga tidak ada lagi bangunan pemerintah runtuh hanya karena salah merancang dan merawatnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman