Hanya Waktu dan Keadilan yang Menjawab
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Pagi menjelang siang hari itu, penulis berdiskusi dengan seorang calon doktor yang membidangi hukum, dan beliau sangat mumpuni dalam bidang filsafat, terutama Filsafat Hukum. Dalil-dalil keilmuan dan keagamaan sering menghias uraian dalam mengomentari tulisan yang dikirim ke hadapan beliau. Topik diskusi kali ini adalah bagaimana suatu lembaga akademik bergengsi bisa kehilangan maruwahnya hanya karena segelintir orang di dalamnya yang memiliki mental terabas dalam mencapai suatu jenjang akademik tertinggi. Kami berdua sepakat pelanggaran moral akademik memang sulit dibuktikan, karena itu menyangkut norma, etika dan kepatutan yang terkadang ukurannya sangat subyektif.
Pengalaman hidup yang penulis lampaui, tidak jarang niat memperingatkan berujung menjadi ketidaksukaan, bahkan menjadi kebencian yang amat sangat. Benar orang-orang suci pada zamannya yang berkata bahwa “Memperingatkan orang pandai itu jauh lebih sulit dari pada memperingatkan orang awam”.
Dalam hidup, kita semua pernah merasa diperlakukan tidak adil. Mungkin kita pernah difitnah, disalahpahami, atau bahkan dijatuhkan oleh orang yang dulu kita percaya. Rasanya seperti dunia tidak berpihak, seolah-olah kejujuran dan kebaikan itu sia-sia. Tapi di tengah semua itu, ada satu hal yang perlu kita yakini, “Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab”. Kalimat itu mungkin terdengar sederhana, bahkan klise, tetapi jika kita renungkan lebih dalam, ada kekuatan besar yang tersembunyi di dalamnya. Kekuatan untuk tetap tenang, tetap berdiri, dan tetap berjalan meski dunia seperti menolak kehadiran kita. Waktu adalah teman yang setia. Ia tidak pernah berpihak, tapi juga tidak pernah memihak yang salah. Dalam diamnya, waktu merekam segalanya—ucapan, tindakan, bahkan niat di balik setiap perbuatan. Kadang, kebenaran memang tidak langsung terlihat. Ia tersembunyi di balik kabut opini, gosip, dan prasangka. Tapi seiring berjalannya waktu, kabut itu perlahan menghilang, dan satu per satu fakta akan muncul ke permukaan.
Banyak dari kita ingin membuktikan bahwa kita benar, secepat mungkin. Kita ingin membersihkan nama, membela diri, dan membuat orang tahu bahwa mereka telah salah menilai. Namun, hidup tidak bekerja seperti itu. Ada hal-hal yang hanya bisa dijelaskan oleh waktu. Dan saat waktunya tiba, orang-orang akan melihat sendiri siapa yang jujur dan siapa yang hanya pandai bersandiwara, siapa yang tulus dan siapa yang berpura-pura.
Kita sering merasa bahwa keadilan lambat. Bahkan kadang kita bertanya-tanya: “Apakah keadilan itu benar-benar ada?” Di dunia yang penuh kepentingan dan tipu muslihat, wajar bila kita merasa kecewa, tetapi sejarah menunjukkan bahwa pada akhirnya, kebenaran selalu menemukan jalannya. Tidak selalu cepat, tidak selalu nyaman, tapi pasti.
Keadilan mungkin tidak datang dengan sorotan kamera atau tepuk tangan. Ia bisa datang diam-diam, di waktu yang tak terduga. Mungkin melalui sebuah pengakuan, sebuah keputusan, atau bahkan melalui karma yang bekerja dengan caranya sendiri, yang penting, kita tetap berpegang pada prinsip. Jangan biarkan luka membuat kita menjadi seperti orang yang melukai kita.
Ada kalanya, diam adalah bentuk perlawanan yang paling kuat. Diam bukan berarti kita lemah, atau menyerah. Tapi diam bisa berarti kita percaya bahwa waktu dan keadilan sedang bekerja. Ketika semua orang berteriak, terkadang suara paling jujur justru datang dari mereka yang memilih untuk tidak membalas.
Dalam proses ini, kita juga perlu belajar satu hal: tidak semua orang perlu diyakinkan. Tidak semua orang akan percaya pada versi kebenaran kita, bahkan jika kita telah berteriak sekuat tenaga. Dan itu tidak apa-apa. Tugas kita bukan untuk membuat semua orang setuju, tetapi untuk tetap menjadi diri sendiri. Ada orang-orang yang akan tetap percaya, meski kita diam. Ada juga yang tetap mencurigai, meski bukti sudah jelas. Fokuslah pada mereka yang tulus. Mereka yang mengenal hati kita akan tetap tinggal, bahkan saat dunia menjauh.
Kebaikan tidak selalu dibalas kebaikan. Dan itu fakta pahit yang harus kita terima. Namun, bukan berarti kita harus berhenti menjadi baik. Kita baik bukan karena orang lain selalu baik, tetapi karena kita tahu itu adalah hal yang benar. Bahkan ketika kebaikan kita tidak dihargai, jangan biarkan itu mengubah siapa kita. Orang yang tulus tidak akan kehilangan nilainya hanya karena difitnah. Sebaliknya, orang yang menipu tidak akan selamanya bisa bersembunyi di balik topeng. Waktu akan membuka semuanya, satu per satu.
Hidup tidak selalu tentang membuktikan siapa yang benar, tapi tentang siapa yang tetap bisa tenang saat disalahkan. Tentang siapa yang tetap bisa jujur saat dicurigai. Dan tentang siapa yang tetap bisa tersenyum meski hatinya penuh luka. Ketika kamu merasa dikhianati, disalahpahami, atau dijatuhkan, tarik napas dalam-dalam. Jangan buru-buru membalas. Jangan biarkan amarah menenggelamkan kamu dalam hal-hal yang kamu sesali di kemudian hari. Biarkan waktu dan keadilan yang menjawab karena pada akhirnya, kebenaran tidak butuh pembelaan keras—ia hanya butuh waktu. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman