Bangsa Ini Tak Butuh Lagi Bicara Adu Urat, tetapi Bagaimana Mendengar Lebih Baik
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
BEBERAPA hari ini, pikiran saya lama-lama ikut terganggu oleh kegaduhan yang terjadi di lembaga akademik negeri ini. Makin sesak di dada, sikap-sikap mereka yang berada pada lingkaran persoalan “memaksa” sikapnya dengan “pokoknya begini-begitu, titik.”
Tampaknya, kita sudah tak terbiasa lagi “mendengar”dan semakin larut dengan kalimat pamungkas menghadapi persoalan dengan cukup satu kata: “pokoknya”. Sehingga, masalah apapun semuanya kandas.
Padahal, di kalangan masyarakat perguruan tinggi, mendengarkan pendapat orang lain, tidak ngotot, adalah sikap dewasa akademik yang seharusnya hidup di kalangan komunitas perguruan tinggi.
Lebih elok dan elegan lagi ketika pada posisi tidak benar, kita mengakui kekeliruan atau kesalahan. Namun, hal itu jadi mustahil manakala sikap mentulikan diri sebagai penyakit baru.
Semakin banyak orang yang bersikap “pokoknya” sampai menyelusup ke para akademisi. Apalagi dengan semakin derasnya informasi dan berseliweran dari segala arah, banyak manusia yang akhirnya bersikap “mentulikan” diri.
Bukan karena tak bisa mendengarkan, tapi menolak menyimaknya, tuli secara mental dan emosional sehingga menolak mendengar saran, kritik, atau pendapat orang lain. Walau, hal itu datang dari tempat yang penuh niat baik.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di ruang pribadi, tetapi juga meresap ke dalam budaya kolektif, termasuk di dunia kerja, politik, akademisi dan juga penggiat media sosial. Kita hidup dalam era di mana semua orang ingin bicara, tapi sangat sedikit yang benar-benar mau mendengar.
Mentulikan diri seringkali bersumber dari ego. Perasaan sudah tahu segalanya, sudah cukup pintar, atau merasa paling benar menjadikan telinga tidak lagi difungsikan sebagaimana mestinya: sebagai alat untuk memahami, bukan sekadar mendengar.
Dalam kondisi ini, nasihat dianggap gangguan. Kritik dianggap serangan. Pendapat berbeda dianggap ancaman terhadap identitas diri. Padahal, pertumbuhan pribadi hanya mungkin terjadi jika kita membuka diri terhadap masukan.
Tentu saja tidak semua saran harus diikuti, tetapi menolaknya mentah-mentah hanya karena tidak sesuai dengan pandangan kita merupakan bentuk penutupan diri. Walaupun seringkali, orang yang mentulikan diri itu justru adalah mereka yang paling membutuhkan pandangan dari luar.
Dalam ruang sosial, sikap menutup telinga ini menciptakan ketimpangan komunikasi. Percakapan berubah menjadi monolog. Dialog kehilangan makna. Orang tidak lagi berbicara untuk memahami, tapi untuk menang. Akibatnya, hubungan menjadi dangkal, penuh asumsi, dan minim empati.
Kita mungkin berada dalam satu ruangan yang sama, tapi tidak benar-benar saling mendengarkan. Kita bisa melihat hal ini dalam dinamika kelompok kerja, pertemanan, bahkan dalam keluarga.
Ketika seseorang terlalu kaku dengan pendapatnya dan menolak mendengarkan sudut pandang lain, konflik menjadi tak terhindarkan. Setiap orang merasa paling tahu, paling benar, dan akhirnya tidak ada yang benar-benar didengar.
Dari hasil penelusuran referensi digital ditemukan informasi bahwa, sikap mentulikan diri tidak selalu lahir dari kesombongan. Kadang, ini adalah bentuk pertahanan diri.
Orang takut mendengar hal yang membuatnya tidak nyaman. Takut tersinggung, takut terlihat lemah, takut harus berubah. Dalam banyak kasus, ini adalah respons terhadap trauma masa lalu dimana saran pernah disalahgunakan sebagai kontrol, bukan dukungan.
Namun, bersembunyi di balik ketakutan bukanlah solusi jangka panjang. Karena dalam proses tumbuh, ketidaknyamanan adalah harga yang harus dibayar. Mendengarkan bukan berarti tunduk. Itu adalah bentuk kedewasaan untuk memahami bahwa dunia tidak berputar di sekitar kita.
Mendengarkan adalah keterampilan, bukan bawaan lahir. Oleh sebab itu, kita butuh latihan, keberanian, dan kerendahan hati. Butuh kesediaan untuk berhenti sejenak, meredam ego, dan benar-benar hadir dalam percakapan.
Dalam dunia yang dibanjiri suara, kemampuan untuk mendengar, bukan sekadar mendengarkan, menjadi semakin langka. Padahal orang-orang bijak dari masa lalu selalu menekankan pentingnya mendengar.
Dalam filsafat Timur maupun Barat, mendengarkan adalah pintu menuju kebijaksanaan. Tapi hari ini, banyak yang lebih memilih untuk mentulikan diri demi menjaga ilusi kendali atas hidupnya.
Tentu, tidak semua saran patut diikuti.
Ada saatnya kita harus teguh pada pendirian, apalagi jika saran datang dari tempat yang manipulatif atau tidak memahami konteks kita. Namun, ada perbedaan besar antara selektif dan defensif.
Menyaring saran adalah perlu, tapi memutus semua saluran masuk hanya akan membuat kita terjebak dalam gema suara sendiri. Kita butuh ruang untuk berpikir sendiri, tapi juga butuh cermin dari luar untuk melihat diri lebih jernih.
Dalam hidup, seringkali kita butuh suara orang lain untuk menyadarkan kita akan titik buta yang tak bisa kita lihat sendiri.
Di dunia yang penuh dengan orang yang ingin didengar, mungkin menjadi pendengar adalah tindakan yang paling radikal.
Dan menjadi pendengar bukan hanya soal memperhatikan orang lain, tetapi juga membuka diri terhadap kemungkinan bahwa kita belum tahu segalanya. Bahwa kita bisa salah. Bahwa orang lain bisa benar.
Sikap mentulikan diri mungkin memberi rasa aman sesaat, tapi dalam jangka panjang, ia menciptakan kesepian yang dalam. Sebab dalam dunia nyata, kita hidup berdampingan dalam arti bukan hanya dalam ruang fisik, tetapi juga dalam percakapan, pemahaman, dan keterbukaan.
Maka jika ada satu keterampilan yang layak dilatih hari ini, mungkin bukan berbicara lebih keras, tetapi mendengar lebih baik. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman