Tetirah
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Menghubungi seorang sohib jurnalis senior untuk berbagi kabar, ternyata beliau sedang melakukan “tetirah” di tempat keluarga yang kebetulan tidak jauh dari tanah kelahiran beliau. Diksi ini sudah lama sekali tidak terdengar di telinga penulis, mungkin sudah lebih dari satu dekade, karena istilah ini untuk telinga orang yang berbudaya Jawa memiliki makna magis tersendiri.
Berdasarkan penelusuran literatur digital ditemukan definisi operasional dalam konsep filosofi Jawa, menjelaskan bahwa “tetirah” memiliki makna yang cukup dalam, tidak hanya secara harfiah tetapi juga secara simbolik dan spiritual.
Secara harfiah, tetirah berarti beristirahat sejenak atau menyepi, biasanya dengan tujuan untuk memulihkan kesehatan, baik jasmani maupun rohani. Dalam konteks modern, tetirah sering digunakan untuk menyebut rehat dari rutinitas atau menjauh dari keramaian demi mencari ketenangan.
Sementara dalam falsafah Jawa, tetirah mencerminkan proses introspeksi dan penjernihan batin. Ini sejalan dengan nilai-nilai spiritualitas Jawa yang menghargai kontemplasi (merenung), laku prihatin (hidup sederhana dan menahan diri), manembah (mendekatkan diri pada Tuhan). Pada pandangan filsafat Jawa, tetirah adalah momen ketika seseorang “munggah kawruh” (menaikkan pengetahuan dan kesadaran), dengan cara menarik diri sejenak dari dunia luar untuk mendengar suara batinnya sendiri.
Dalam praktiknya, tetirah bisa berupa retret ke alam (gunung, hutan, tempat sepi), tapa brata (sejenis meditasi atau lelaku spiritual), menepi ke padepokan atau pesantren, atau sekadar diam di rumah dan mengurangi interaksi sosial. Adapun tujuan utama dari tetirah dalam budaya Jawa adalah mencapai harmoni antara jagad cilik (diri) dan jagad gede (alam/semesta), menemukan jati diri sejati (sangkan paraning dumadi), menjernihkan hati dari hawa nafsu, ego, dan kegaduhan duniawi.
Di tengah kehidupan modern yang serba cepat dikejar target, manusia kerap terjebak dalam pusaran aktivitas yang seolah-olah tanpa henti. Waktu terasa sempit, ruang terasa penuh, dan pikiran terus bergerak bahkan saat tubuh diam. Kita hidup dalam era produktivitas, di mana diam sering kali dianggap malas, dan rehat dinilai sebagai kelemahan. Namun dalam filosofi Jawa laku tetirah adalah jawabannya. Tetirah bukan sekadar istirahat akan tetapi adalah rehat yang penuh kesadaran batin; sebuah keputusan untuk menepi, bukan karena kalah atau lelah, melainkan karena sadar bahwa diri ini butuh ruang untuk kembali utuh. Dalam budaya Jawa, tetirah adalah bentuk laku proses spiritual dan emosional untuk menyelami diri, menenangkan batin, dan menemukan kembali arah hidup yang sejati.
Hari-hari kita dipenuhi dengan kebisingan: suara mesin, notifikasi dari gawai, percakapan yang tak putus, dan tekanan dari ekspektasi luar. Kita terus bergerak, berpacu dengan waktu, mengejar target, dan memenuhi peran sebagai pekerja, anak, orang tua, pasangan, teman. Namun, pertanyaan kemudian muncul kapan terakhir kali kita duduk dalam diam dan benar-benar mendengar suara hati kita sendiri?.
Tetirah muncul sebagai bentuk jawaban atas kerinduan akan sunyi. Ia bukan eskapisme, bukan pelarian dari tanggung jawab, tapi bentuk keberanian untuk mengambil jarak. Jarak dari rutinitas, dari tekanan sosial, bahkan dari ego diri sendiri. Dalam tetirah, kita memberi waktu bagi batin untuk kembali jernih karena kita sadar, kadang justru dalam diam kita bisa melangkah paling jauh. Menggunakan istilah teman tadi “sedang reloading”; sehingga seolah-olah kita sedang mereduksi file kehidupan yang tidak terpakai.
Dalam kehidupan yang terus mendorong kita untuk bergerak lebih cepat, tetirah mengajarkan nilai yang kontras, tetapi sangat relevan: berhenti bukan berarti kalah, dan diam bukan berarti tak berjalan. Justru dalam rehat yang sadar itulah, kita bisa menemukan kembali arah, energi, dan makna untuk melangkah lebih jauh dengan hati yang lebih tenang dan jiwa yang lebih utuh.
Semoga sohib yang sedang tetirah mendapatkan ketenangan batin, dan menemukan kembali jati dirinya. Oleh karena itu tetirah bukan berarti berlama-lama menjauh dari dunia; sebab kita harus sadar bahwa kita masih ada di dunia. Kita masih perlu dunia untuk menjadikannya ladang amal; kita masih di dunia karena untuk meneruskan perjalanan abadi kelak, justru kita harus melewati dunia ini. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman