Butuh Uangnya, Tidak Orangnya
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Di banyak media sering kita mendapatkan informasi informasi bagaimana “rakus”nya manusia dalam mengarungi kehidupan ini. Bukan hanya nasi yang dimakan, tetapi bisa saja aspal, semen, pasir, batu koral, besi; bahkan tenaga sesama teman. Menyedihkan lagi ditemukan informasi pasangan pasutripun berperilaku demikian. Semula mereka diikat oleh cinta yang luhur; namun seiring perjalanan waktu justru berubah menjadi saling mengekploitir satu sama lain. Jika dahulu ada pemeo “ada uang abang sayang”; sekarang hal itu nyata adanya, dan berubah menjadi lebih dahsyat; “jika ada uang kau abangku, jika miskin tinggalkan aku”. Oleh sebab itu sekarang ungkapan “Butuh uangnya, tidak orangnya” mulai sering sayup-sayup terdengar di berbagai lini kehidupan masyarakat, terutama dalam percakapan sehari-hari yang berkaitan dengan relasi kerja, bantuan sosial, pinjam-meminjam, bahkan hubungan keluarga. Pernyataan ini terdengar sinis namun jujur, menunjukkan fenomena bahwa manusia hari ini cenderung lebih menghargai apa yang dimiliki seseorang, terutama secara finansial; daripada siapa sejatinya orang itu.
Di tengah era digital yang memacu produktivitas, kompetisi, dan efisiensi, manusia perlahan-lahan menjelma menjadi alat, bukan lagi subjek. Dalam berbagai ruang sosial, keberadaan individu tak lagi bernilai jika tidak memberikan manfaat ekonomi. Hubungan personal pun tereduksi menjadi transaksional: siapa yang bisa memberi, dialah yang dicari; siapa yang tidak berguna secara finansial, cepat atau lambat akan disingkirkan dari lingkaran sosial yang ada.
Fenomena ini menunjukkan bahwa kita sedang berada dalam krisis kemanusiaan yang dibungkus rapi oleh kemajuan peradaban. Maka, sebenarnya penting untuk membongkar ulang kenyataan ini; bukan hanya untuk mengkritisi budaya yang terbentuk saja, akan tetapi juga untuk memulihkan nilai-nilai dasar dalam interaksi sosial: penghargaan terhadap martabat manusia, empati, dan solidaritas.
Berbicara tentang uang; secara sosiologis, uang pada awalnya adalah instrumen tukar-menukar, diciptakan untuk mempermudah distribusi sumber daya. Namun dalam perjalanan waktu, uang mengalami transfigurasi peran: dari sekadar alat menjadi simbol kekuasaan, status, bahkan nilai diri. Seseorang yang memiliki banyak uang sering kali lebih dihormati, bahkan tanpa perlu mempertontonkan kualitas moral atau intelektualnya. Sementara yang miskin, meskipun berintegritas, kerap kali dipinggirkan. Dalam relasi personal maupun institusional, seseorang bisa menjadi “berharga” hanya karena kemampuan ekonominya. Inilah yang melahirkan fenomena “butuh uangnya, tidak orangnya” wujud dari sebuah mentalitas yang mereduksi manusia menjadi angka di rekening atau aset yang bisa dimanfaatkan.
Di media sosial, kita sering melihat konten tentang hubungan antarmanusia yang diukur dari seberapa besar pasangan “berinvestasi”: apakah ia memberi hadiah mahal, menanggung biaya hidup, atau mentransfer saldo harian. Narasi ini menjadi begitu populer hingga membentuk standar sosial baru. Bahkan, tidak jarang seseorang mengakhiri hubungan karena pihak lain dianggap “tidak bercuan”.
Fenomena ini juga melanda wilayah pertemanan, seseorang akan lebih mudah diterima jika memiliki “manfaat”: bisa mencarikan pekerjaan, punya koneksi, atau bisa “mentraktir kapan saja”. Maka tidak mengherankan jika orang mulai membangun relasi dengan tujuan yang sangat pragmatis, bukan lagi emosional atau ideologis. Akibatnya hubungan sosial menjadi sejenis investasi: harus menghasilkan return. Jika tidak ada keuntungan, maka relasi dianggap sia-sia.
Tampaknya kapitalisme modern sudah bertriwikrama bukan hanya sekedar sistem ekonomi; akan tetapi berubah; ia adalah sistem nilai yang membentuk cara berpikir manusia. Dalam logika kapitalisme, segalanya harus produktif, efisien, dan mendatangkan keuntungan. Empati, solidaritas, dan ketulusan menjadi nilai yang kalah pamor karena tidak bisa “dikapitalisasi”. Dalam iklim seperti ini, manusia lebih mencintai keuntungan dari pada mencintai sesama. Ironisnya lagi lembaga-lembaga pendidikan, termasuk pendidikan tinggi, mengarahkan peserta didiknya untuk menjadi “tenaga kerja kompetitif”, bukan warga negara yang peduli. Kita perlahan tetapi pasti akan menjadi manusia yang kering: hidup dalam lingkungan yang penuh transaksi tapi minim interaksi sejati.
Relasi darah yang semestinya jadi tempat terakhir manusia menemukan cinta tanpa syarat, kini pun tak luput dari krisis. Berapa banyak konflik keluarga yang berakar pada sumber keuangan, warisan, tanggungan jawab finansial, hingga utang-piutang sering kali membuat hubungan keluarga renggang bahkan hancur berkeping-keping. Lebih mengerikan lagi ada anak yang menilai orang tuanya berdasarkan jumlah harta yang diwariskan. Begitu pula sebaliknya, orang tua yang memperlakukan anak sebagai “investasi masa depan” demi menjamin kehidupan di hari tua. Cinta dan kasih sayang pun berubah menjadi perhitungan untung rugi, dan akhirnya menjadikan keluarga kehilangan fungsi emosionalnya. Kita tidak lagi menemukan kehangatan kemanusiaan didalamnya.
Di titik ini, kita mesti bertanya ulang: apakah kita bekerja untuk bertumbuh sebagai manusia, atau sekadar menjadi mesin ekonomi. Kemajuan teknologi, terutama media sosial, turut memperkuat kecenderungan relasi materialistic ini. Di saat yang sama, manusia menjadi lebih kesepian. Relasi yang dijalin lewat layar sering kali superficial. Kita lebih mengenal dompet digital seseorang daripada isi hatinya. Hubungan menjadi lebih instan, dangkal, dan tidak berumur panjang. Ternyata teknologi disamping memberi kecepatan, tetapi juga sekaligus mencuri kedalaman dalam relasi manusia.
“Butuh uangnya, tidak orangnya” bukan sekadar guyonan semata; ini adalah cermin atau tanda jaman. Ungkapan ini mencerminkan dunia yang lebih menghargai kapital daripada karakter, lebih menghormati rekening bank daripada rekam jejak moral, dan lebih mengejar untung daripada hubungan. Apakah ini tanda-tanda akhir jaman, entahlah…. Salam Waras. (SJ)
Editor: Gilang Agusman