Negeri “Jegog” (Antara Lelah, Pasrah, dan Salah)

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Entah kenapa sore itu rasa kantuk menyerang begitu hebat. Menunggu datangnya waktu isya’-pun terasa begitu berat. Sepulang dari musala sebelah rumah, langsung ngglosor di kursi panjang rebahan. Di arasy setengah sadar, ada terasa yang membawa pergi bersama rombongan tour ke suatu tempat. Anehnya ketua rombongan dan supir pembawa kendaraan semua bermuka “jegog”. Saya pakai sebutan jegog untuk suatu benda hidup hanya untuk menghindari sarkasme. Jegog adalah kata dalam Bahasa Jawa yang artinya gonggong.

Kami rombongan bersepuluh yang tidak saling kenal satu sama lain, menaiki kendaraan itu dan masuklah ke suatu wilayah. Di tempat tujuan, kami disambut dengan meriah oleh warganya yang semua bermuka jegog.

Selamat datang di Negeri Jegog terpampang jelas di pintu gerbang kota dengan tulisan berhuruf arkrilik berwarna keemasan. Negeri ini konon katanya gemah ripah loh jinawi, tempat di mana air tumpah bisa jadi kolam renang, dan tanah subur cukup ditanam doa langsung panen harapan. Negeri yang katanya punya budaya luhur, masyarakat ramah, dan pemerintahan bijaksana. Dan, itu tertulis jelas semua dalam brosur pariwisata. Pada kenyataannya, Negeri Jegog adalah tempat di mana akal sehat sering digadaikan demi jabatan, dan logika dikorbankan hanya mengejar konten viral. Jangan salah, negeri ini sangat demokratis karena semua orang boleh bicara apa saja, asal suaranya tidak mengganggu para penguasa.

Salah satu keajaiban Negeri Jegog adalah sistem hukumnya yang sangat “mengasyikkan”. Di negeri ini, hukum itu seperti karet: bisa melar dan mengecil tergantung siapa yang memegang. Kalau rakyat kecil mencuri singkong sebatang, hukum datang dengan sirine dan borgol. Tapi kalau pejabat mencuri uang negara triliunan, hukum datang dengan undangan makan malam dan diskon hukuman secara besar-besaran bagai bazar.

Setiap lima tahun sekali, Negeri Jegog menggelar festival yang disebut Pemilu, yaitu “Pesta Elit Menipu Umat.” Rakyat diberi panggung sejenak untuk merasa penting; dirindu puja walau berdusta, diberi air mata palsu, dan yang tidak kalah seru dikasih goyang gemoy.

Mereka disodori janji manis seperti “akan ada banyak lapangan kerja disediakan”, “semua harga akan diturunkan”, “makan siang gratis untuk anak sekolah”, “semua sekolah gratis”, dan yang dihiperbolakan “korupsi diberantas”. Namun setelah kotak suara ditutup, janji itu dibungkus rapi dan disimpan sebagai koleksi. Hebatnya lagi, pemimpin yang pernah masuk penjara karena korupsi, bisa dengan bangga mencalonkan diri lagi untuk menjadi apapun. Anehnya rakyat, Entah karena amnesia massal atau efek kebanyakan nonton sinetron, seringkali memilih kembali; dengan alasan demi stabilitas, padahal yang stabil itu cuma penderitaan tanpa akhir.

Di Negeri Jegog, media berubah fungsi menjadi alat propaganda dan pengalihan isu. Berita korupsi disisipkan di antara gosip artis dan viralnya jegog berjoget. Ketika rakyat marah soal kenaikan harga, media akan menampilkan berita: “Menteri Bagi-Bagi Sembako Sambil Tersenyum.” Di Negeri Jegog, berita buruk bukan direspon untuk perbaikan, akan tetapi untuk ditutupi.

Menarik lagi di negeri Jegog ini, sebab pulau bisa berubah penguasanya dalam tempo sesaat; hari ini dikelola oleh penguasa A; besok mendadak dikelola penguasa B. Pola kepemimpinan simsalabim adalah hal yang biasa. Jika rakyatnya teriak, buru-buru mereka meralat dengan satu kata “kesalahan komunikasi”; karena komunikasi tidak bisa dipenjarakan, didenda atau dihukum mati.

Lebih seru lagi di Negeri Jegog, hutan lindung yang merupakan hutan larangan, ternyata sudah terbit sertifikat hak milik untuk ratusan orang. Begitu terbuka persoalannya kepermukaan, mereka ramai-ramai saling tuding untuk menyalahkan. Namun setelah waktu berlalu, kasus didiamkan, maka amanlah semua. Akhirnya anak cucu mereka nanti akan diwarisi gurun gundul yang membuat banjir dimana-mana. Hebatnya mereka berkata bagai koor paduan suara “Gimana nanti aja itu urusan yang lahir belakangan”. Di Negeri Jegog bisa terjadi “orang waras di tuduh gila, orang gila dipuja-puja”; dasar Negeri Jegog semua itu dianggap biasa-biasa saja.

Sayup-sayup terdengar suara “Pak..pak..bangun…bangun jangan tidur di sini, nanti lehernya sakit…pindah kekamar sana”. Ya Allah ternyata semua itu tadi mimpi; karena tidur di kursi tamu yang posisinya tidak sempurna. Sambil berbenah, terpaksa pindah tidur ke kamar utama dengan doa “semoga tidak mimpi lagi”. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman