Kebaikan Jangan Ditanya, Jahatnyapun Jangan Dicoba (Dua Muka Dalam Satu Wajah)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Ruang kerja yang sejuk itu kedatangan tamu dua orang dosen muda. Dua pria tampan ini tampak sumringah; karena mereka berdua ingin melanjutkan studi lanjutnya ke program doktor di salah satu universitas ternama di negeri ini, dan hasil tes sudah diumumkan, mereka berdua diterima dengan program yang berbeda. Mereka berdua meminta wejangan, terutama bagaimana menghadapi karakter beberapa guru besar yang ada di lembaga itu. Salah satu diantara mereka berdua mengatakan bahwa ada seorang guru besar yang pernah membimbingnya saat program strata dua beberapa waktu lalu, berkarakter jika sudah baik, maka beliau sangat baik sekali, bahkan melebihi rerata orang biasa; namun jangan ditanya kalau beliau sudah tidak suka, maka jahatnyapun minta ampun.
Diskusi menjadi hangat karena berbicara menyangkut karakter manusia; dan itu tidak etis untuk dibentang pada halaman ini. Namun, yang menarik penyataan mereka berdua yaitu: “kebaikannya jangan ditanya, jahatnyapun jangan dicoba” ini menarik untuk dijadikan bahan renungan.
Manusia adalah makhluk yang penuh dengan paradoks. Di satu sisi, manusia memiliki potensi untuk melakukan kebaikan yang luar biasa, seperti misalnya; menolong, mencintai, menginspirasi, bahkan berkorban demi orang lain. Namun, di sisi lain, manusia juga menyimpan sisi gelap, diantaranya; kemampuan untuk menyakiti, menghancurkan, dan mengkhianati.
Ungkapan “Kebaikannya jangan ditanya, jahatnya pun jangan dicoba” adalah gambaran sederhana tetapi mendalam tentang kompleksitas watak manusia. Ungkapan ini juga bukan hanya sekadar kata-kata peringatan, melainkan bentuk refleksi sosial yang menunjukkan betapa seseorang bisa menjadi sangat baik bila diperlakukan dengan hormat, namun bisa sangat berbahaya jika disakiti. Melalui uraian ini kita akan membedah makna dari ungkapan tersebut dari konsep filsafat manusia.
Pada konsep filsafat, manusia dipandang sebagai makhluk yang memiliki kebebasan moral. Jean-Paul Sartre menyatakan bahwa manusia “dikondisikan untuk memilih”, dan dari pilihan-pilihan inilah karakter seseorang terbentuk. Ungkapan “Kebaikannya jangan ditanya” menyiratkan bahwa seseorang dapat menjadi sumber kebaikan yang tak terbatas ketika hidupnya selaras dengan nilai-nilai luhur. Ia bisa menjadi panutan, pelindung, dan sumber harapan bagi sesamanya. Namun, “Jahatnya pun jangan dicoba” menyiratkan bahwa sisi gelap manusia tak kalah kuat. Seperti yang dikemukakan oleh Friedrich Nietzsche dalam konsep “will to power”, setiap manusia memiliki dorongan kekuasaan yang, jika tidak dikendalikan, dapat berubah menjadi destruktif. Dalam konteks ini, kebaikan dan kejahatan bukanlah dua kutub yang terpisah, melainkan dua sisi dari mata uang yang sama: potensi yang hidup dalam diri manusia.
Psikologi modern mengakui bahwa setiap individu menyimpan sisi terang dan gelap dalam kepribadiannya. Carl Gustav Jung memperkenalkan konsep “The Shadow”—bagian dari diri seseorang yang tersembunyi, sering kali berupa keinginan, dorongan, atau karakter yang tidak disetujui oleh norma sosial. Jung percaya bahwa mengabaikan sisi gelap ini justru dapat membuat seseorang lebih mudah dikuasai oleh aspek destruktifnya.
Seseorang yang dikenal penuh kasih dan kebaikan bisa berubah menjadi sosok yang penuh kemarahan dan dendam bila disakiti atau dikhianati. Ini bukan berarti bahwa orang tersebut munafik, melainkan karena ada batas toleransi dalam diri setiap manusia. Ketika rasa sakit, pengkhianatan, atau ketidakadilan melampaui batas tersebut, maka sisi gelap dapat muncul dan mengambil alih kesadaran.
Lingkungan sosial memiliki peran besar dalam membentuk perilaku manusia. Orang yang tumbuh dalam lingkungan penuh kasih sayang cenderung berkembang menjadi pribadi yang hangat dan suportif. Sebaliknya, lingkungan yang keras, penuh kekerasan, atau pengkhianatan bisa membuat seseorang berubah menjadi pribadi yang kasar dan penuh kecurigaan. “Kebaikannya jangan ditanya” bisa bermakna bahwa seseorang telah terbukti memberi banyak manfaat dan cinta kepada orang-orang di sekitarnya. Namun ketika orang tersebut terus-menerus diperlakukan buruk, diabaikan, atau bahkan disakiti, maka muncul peringatan: “jahatnya pun jangan dicoba”. Ini bukan hanya tentang balas dendam, tetapi lebih pada fakta bahwa setiap manusia memiliki titik jenuh emosional.
Pada budaya Indonesia, ungkapan seperti ini kerap muncul dalam bentuk peribahasa atau pepatah. Contohnya, “Air tenang jangan disangka tiada buaya,” atau “Diam-diam menghanyutkan.” Ini adalah bentuk kearifan lokal yang mengingatkan kita untuk tidak menyepelekan seseorang karena sikap lembut atau diamnya. “Kebaikannya jangan ditanya, jahatnya pun jangan dicoba” bisa dianggap sebagai versi modern dari kebijaksanaan lama yang mengingatkan kita untuk tidak menilai seseorang hanya dari permukaan. Dalam budaya Timur yang menjunjung tinggi kesopanan dan kerendahan hati, orang-orang baik sering kali memilih diam daripada membalas. Namun, diam bukan berarti tidak mampu.
Ungkapan ini masih sangat relevan dalam dinamika kehidupan modern, terutama dalam dunia kerja, pertemanan, dan hubungan sosial. Seseorang yang selalu membantu, murah senyum, dan tidak pernah marah sering kali dianggap sebagai “orang baik” yang bisa diperlakukan seenaknya. Banyak kasus di mana orang-orang baik justru menjadi korban karena dianggap tidak akan melawan. Namun, ketika mereka “meledak” karena terus-menerus disakiti, orang-orang di sekitarnya terkejut. Padahal, itu adalah reaksi wajar dari rasa lelah dan kekecewaan yang menumpuk. Maka, ungkapan ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua agar tidak menyalahgunakan kebaikan orang lain.
Hormatilah batasan mereka, karena setiap orang memiliki titik rapuhnya sendiri. Maka dari itu, marilah kita saling menghargai, saling memahami, dan tidak mempermainkan emosi atau perasaan orang lain. Karena sekali saja kita membangunkan sisi gelap seseorang yang selama ini memilih untuk diam, mungkin kita akan menghadapi sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman