Menemukan Damai, Menyongsong Fajar

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Malam tahun baru Hijriah ini terbangun tengah malam. Mata sudah tidak mau lagi dipejamkan, entah apa penyebabnya. Dari pada tergolek ditempat tidur bagai bangkai bernyawa, lebih baik bangun berkontemplasi diri. Ditengah keheningan malam tahun baru itu terbersit rasa damai menyongsong fajar, bagai menyongsong kehidupan baru. Dalam kehidupan yang dipenuhi tuntutan, kompetisi, dan keramaian, manusia kerap kehilangan sesuatu yang mendasar: kedamaian. Banyak yang mengejar kekayaan, kekuasaan, atau popularitas, tetapi tetap merasa gelisah. Bahkan ketika usia merambat senja dan dunia mulai memudar, pertanyaan itu tetap datang. Diantara pertanyaan ituadalah; Apa makna semua ini? Ke mana kita menuju?. Tampaknya tanpa kita sadari semua mahluk itu berjalan menuju ufuk kehidupan dan menyongsong datangnya fajar kematian.

Dibantu oleh referensi digital dan konvensional ditemukan makna Menemukan Damai, Menyongsong Fajar; adalah merupakan renungan filosofis dan spiritual yang mengajak kita melihat kehidupan sebagai perjalanan. Dalam perjalanan itu, damai bukan ditemukan di akhir, tetapi dibangun sejak langkah pertama. Dan, fajar bukan sekadar simbol awal hari, melainkan kebangkitan menuju kehidupan yang lebih hakiki, yaitu kehidupan setelah dunia ini. Dari perspektif filsafat manusia dan sudut pandang ajaran Islam, kita akan menelusuri bagaimana manusia bisa menemukan kedamaian sejati, dan bagaimana ia dapat bersiap menyambut “fajar abadi”.

Dalam tradisi filsafat, manusia dikenal sebagai makhluk yang bertanya. Pertanyaan seperti “siapa aku?”, “untuk apa aku hidup?”, dan “apa yang terjadi setelah mati?” adalah bagian dari pencarian eksistensial. Filsuf eksistensialis seperti Martin Heidegger menyebut manusia sebagai Dasein, yaitu makhluk yang sadar bahwa ia berada dalam waktu dan menuju kematian. Kematian, bagi Heidegger, bukan sekadar peristiwa biologis, melainkan momen eksistensial yang paling jujur. Ia membangunkan manusia dari kehidupan yang “tertidur” dalam rutinitas, lalu menyodorkan pertanyaan besar, yaitu: Apakah kamu hidup dengan makna?

Damai, menurut pandangan filosofis, bukan keadaan tanpa gangguan, tapi kemampuan untuk hidup selaras dengan kebenaran diri. Dalam pemikiran Stoikisme, damai disebut ataraxia yaitu, “ketenangan batin yang datang dari menerima apa yang tak bisa diubah dan bertindak bijak atas yang bisa dikendalikan”. Oleh sebab itu, jika seseorang hidup dalam kepalsuan dengan mengikuti harapan orang lain, mengejar ambisi semu, maka jiwanya tidak pernah damai. Namun jika ia menerima keterbatasan, bersyukur atas apa yang dimiliki, dan berdamai dengan masa lalu, maka ia mulai merasakan kedamaian sebagai kondisi batin yang merdeka.

Oleh sebab itu tujuan dari perjalanan hidup dalam Islam adalah mencapai nafs muthmainnah, yakni jiwa yang damai dan tenteram karena telah bersatu dengan kehendak Ilahi. Dan, Inilah fajar abadi: kebangkitan dalam cinta dan ridha Allah, setelah hidup dijalani dengan jujur, ikhlas, dan penuh keimanan.

Di sini letak perbedaan dengan pendekatan materialis yang menganggap kematian sebagai akhir segalanya. Islam justru melihatnya sebagai awal dari kehidupan yang sesungguhnya. Kematian adalah gerbang menuju alam barzakh dan kelak hari kebangkitan. Karena itu, orang yang bijak bukan yang takut mati, tapi yang mempersiapkan bekal untuk kehidupan setelah kematian. Caranya dengan menabur amal sejak dini; dalam bentuk ilmu, kebaikan, dan cinta kasih kepada sesama mahluk, sehingga manusia dapat menanti fajar abadi dengan tenang. Ia tahu bahwa hidupnya telah berdampak, dan kematiannya bukan kehilangan, melainkan kepulangan. Oleh sebab itu kedamaian tidak bisa hadir dalam hati yang penuh dendam atau iri. Orang bijak mengatakan “Orang yang hidup dengan syukur dan memaafkan, akan mudah menemukan damai. Dan orang yang damai dalam hidup, akan lebih siap menghadapi kematian dengan senyum dan lapang dada”.

Meskipun filsafat manusia sekuler tidak selalu membicarakan akhirat, namun banyak tokohnya yang akhirnya percaya bahwa harapan adalah bagian penting dari hidup. Viktor Frankl, seorang psikolog dan filsuf, menulis: “Manusia bisa bertahan hidup dalam situasi paling berat, selama ia masih memiliki alasan untuk berharap.” Sedangkan Islam memberi harapan paling besar: “bahwa setelah malam yang panjang, akan ada fajar. Setelah hidup yang berat, akan ada keabadian dalam rahmat Allah”.

Kehidupan adalah perjalanan. Setiap kita berjalan dengan beban, luka, dan pertanyaan. Tapi jika selama hidup kita terus mencari makna, mencintai Tuhan, dan berbuat baik pada sesama, maka kita telah menapaki jalan damai. Menemukan damai bukan berarti hidup tanpa tantangan. Ia berarti menerima setiap fase hidup, termasuk senja, sebagai bagian dari rencana ilahi. Dan menyongsong fajar bukan berarti takut pada kematian, tetapi menyambutnya dengan harapan, bahwa di seberang sana, ada cahaya yang lebih terang. “Kembalilah, wahai jiwa yang tenang. Masuklah ke dalam surga-Ku.”

Selamat Tahun Baru Hijriah, semoga dimudahkan semua urusan, dan dikabulkan semua doa. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman