Berdamai dengan Waktu (Ruang Eksistensial Manusia)
Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung
–
Beberapa waktu lalu mendapat berita “kepulangan” seorang sahabat yang juga kerabat. Kami hanya terpaut usia satu tahun. Dan, bulan lalu tetangga dekat berusia lebih muda, juga berpulang. Tampak sekali jika manusia selalu dalam spektrum waktu; oleh sebab itu dalam filsafat, waktu bukan sekadar detik yang berdetak. Ia adalah ruang eksistensial, tempat manusia menjadi. Waktu bukan benda mati. Ia adalah pengalaman hidup itu sendiri yang terus bergerak seturut nafas dalam diri. Martin Heidegger, dalam karyanya “Being and Time”, menulis bahwa waktu adalah dimensi fundamental dari keberadaan manusia (Dasein). Artinya, manusia tak pernah terpisah dari waktu, dan manusia hidup di dalam waktu. Kita lahir, tumbuh, membuat keputusan, menyesal, berharap; semua itu terjadi karena waktu memungkinkan keberadaan itu sendiri.
Tapi anehnya, waktu juga menjadi kecemasan terbesar bagi manusia. Kita tahu bahwa waktu bergerak ke satu arah: maju, tak bisa kembali. Kita tahu bahwa dengan berjalannya waktu, kita semakin dekat pada akhir. Kesadaran akan kefanaan inilah yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Maka pertanyaannya adalah: Bagaimana kita hidup di dalam waktu, tanpa dikendalikan oleh waktu? Bagaimana kita bisa berdamai dengan sesuatu yang tak bisa kita pegang, kendalikan, atau ulangi.
Dari sudut pandang eksistensial, manusia bukan takut terhadap waktu. Manusia takut tidak bermakna di dalam waktu. Kita takut menjadi sia-sia, takut tidak sempat mencapai sesuatu, takut dilupakan. Pada dunia modern, waktu menjadi ukuran nilai. Seseorang dianggap sukses jika ia cepat mencapai puncak. Seseorang dianggap produktif jika jadwalnya penuh dari pagi sampai malam. Kita seolah dikejar oleh “jam ideal manusia sukses”. Namun di balik itu, tersembunyi kegelisahan yang dalam: kita tidak tahu apa sebenarnya arti hidup yang kita kejar ini. Kita hanya takut tertinggal, tanpa tahu sebenarnya kita sedang menuju ke mana. Jean-Paul Sartre mengatakan bahwa manusia dikutuk untuk bebas. Kita bebas memilih jalan hidup kita, tapi karena itulah kita juga bertanggung jawab atas semua makna yang kita berikan pada waktu yang kita jalani. Maka ketika kita gagal, kita merasa waktu telah menghukum kita.Padahal sebenarnya kitalah yang memberinya beban makna tertentu.
Satu hal yang membuat waktu terasa mengerikan adalah karena tidak bisa diulang. Masa lalu hanya bisa dikenang, masa depan belum tentu datang, dan masa kini terlalu cepat berlalu. Inilah paradoks eksistensial manusia: kita sadar bahwa waktu adalah anugerah sekaligus keterbatasan. Namun sejatinya justru keterbatasan itulah yang memberi hidup kita makna. Jika waktu tak terbatas, mungkin kita tak akan pernah benar-benar menghargai momen yang kita miliki.
Finitude (keterbatasan) adalah tema besar dalam filsafat eksistensial. Manusia baru akan benar-benar hidup secara otentik ketika ia sadar bahwa hidup ini tak kekal. Maka berdamai dengan waktu; artinya berdamai dengan keterbatasan kita sebagai manusia. Kita tidak bisa memiliki segalanya. Kita tidak bisa mengalami segalanya. Tapi dari situ kita belajar memilah: mana yang benar-benar penting, mana yang hanya kebisingan.
Banyak diantara kita yang merasa bahwa waktu adalah musuh. Karena terlalu cepat saat kita bahagia, dan terlalu lambat saat kita menderita. Tetapi sebenarnya ialah waktu hanya memperbesar apa yang ada di dalam diri kita. Oleh sebab itu waktu, dalam posisi ini adalah cermin. Ia memantulkan sejauh mana kita hidup dengan otentik. Apakah kita menjalani hari-hari karena kita sadar dan memilihnya, atau karena kita mengikuti tekanan sosial dan ekspektasi luar. Dengan memahami bahwa waktu bukan musuh, melainkan cermin dari eksistensi kita, kita bisa mulai berdamai dengannya. Kita berhenti berlari. Kita mulai menghadirkan diri sepenuhnya dalam momen yang ada.
Penyesalan adalah produk dari waktu yang telah lewat. Harapan adalah bentuk relasi kita dengan waktu yang akan datang. Keduanya adalah pengalaman khas manusia. Oleh sebab itu dalam filsafat kita diajarkan untuk mengendalikan apa yang bisa dikendalikan, dan melepaskan sisanya. Masa lalu adalah sesuatu yang tak bisa diubah, maka menyesalinya terus-menerus adalah menyia-nyiakan waktu sekarang. Masa depan pun belum tentu datang, maka terlalu mengkhawatirkannya adalah bentuk pemborosan eksistensial.
Seneca menulis dalam On the Shortness of Life, bunyinya: “It is not that we have a short time to live, but that we waste much of it.” Waktu yang kita miliki sebenarnya cukup. Yang kurang adalah kesadaran kita untuk menjalaninya dengan penuh makna. Maka berdamai dengan waktu berarti menerima masa lalu dengan bijak, dan menyambut masa depan tanpa ketakutan berlebih. Kita tidak menyangkal rasa menyesal, tapi kita tidak membiarkannya mengikat kita. Kita tidak mematikan harapan, tapi kita tidak membiarkan masa depan mencuri hari ini.
Waktu tak bisa dihentikan. Ia juga tak bisa dipercepat atau diulang. Tapi kita bisa mengubah cara kita memandangnya. Dari musuh menjadi teman. Dari tekanan menjadi pengingat. Dari batas menjadi keindahan. Berdamai dengan waktu bukan berarti pasrah; oleh sebab itu yang paling penting bukan berapa banyak waktu yang kita punya, tapi bagaimana kita menggunakannya untuk menjadi manusia yang utuh, sadar, dan bermakna. Seperti kata Kierkegaard, bahwa hidup hanya bisa dipahami setelah kita lewati, tapi harus dijalani ke depan. Maka jalanilah hari ini, bukan dengan terburu-buru, tapi dengan kesadaran bahwa tiap detik adalah kesempatan untuk menjadi lebih manusiawi. Tuhan sudah mengingatkan dalam FirmanNYA : Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran. Salam Waras (SJ)
Editor: Gilang Agusman
