Katakan “Cukup”

Oleh: Sudjarwo
Guru Besar Universitas Malahayati Bandar Lampung

Menyimak diksi yang keluar dari mulut seorang mantan Menteri Luar Negeri negeri ini, yang kebetulan seorang wanita, saat ditanya reporter dalam satu acara mengenai apa lagi yang akan dilakukan setelah tidak menjadi menteri. Beliau menjawab “Cukup”. Dan, diksi ini mengandung makna yang sangat dalam bagi mereka penggemar pengkaji filsafat, terutama filsafat manusia. jika kita kaji secara mendalam diksi cukup, bukan sekedar mewakili keberhentian dari suatu perjalanan. Namun, diksi ini memiliki maknawi yang sangat mendalam. Berbekal literature digital dan konvensional, maka kajian ini dapat kita dedah sebagai berikut.

Manusia adalah makhluk yang memiliki hasrat tak terbatas di dalam dunia yang terbatas. Hasrat untuk memiliki, mengetahui, menguasai, dan bahkan menaklukkan, merupakan ciri khas manusia sebagai makhluk berkesadaran. Di tengah derasnya arus konsumsi, materialisme, dan kemajuan teknologi, manusia sering terperangkap dalam ilusi bahwa kebahagiaan terletak pada akumulasi: semakin banyak, semakin baik. Namun, di balik semangat untuk memiliki lebih, muncul pertanyaan mendalam dari ranah filsafat manusia: kapankah kita akan berkata “cukup”.

Ungkapan “katakan cukup” bukan hanya seruan moral atau sosial, tetapi menyentuh akar terdalam eksistensi manusia. Ia menantang ego, kehendak, dan bahkan konsep makna hidup itu sendiri. Dalam filsafat manusia, tema ini menyentuh batas-batas eksistensial yang menghubungkan antara kebebasan, tanggung jawab, dan kesadaran diri.

Filsuf eksistensialis seperti Jean-Paul Sartre dan Friedrich Nietzsche menekankan bahwa manusia adalah makhluk kehendak. Sartre menyatakan bahwa “eksistensi mendahului esensi”, artinya manusia membentuk dirinya sendiri melalui pilihan-pilihan yang diambil. Namun, di balik kebebasan memilih itu, tersimpan paradox, yaitu: semakin banyak pilihan, semakin sulit manusia berkata cukup.

Pada masyarakat modern, pilihan hidup tampak tak terbatas; dari makanan, pekerjaan, hingga identitas sosial. Akibatnya, manusia mudah terjebak dalam kebingungan eksistensial. Ketika kehendak tidak dibatasi oleh kesadaran akan “cukup”, manusia jatuh dalam absurditas, sebagaimana digambarkan oleh Albert Camus dalam “The Myth of Sisyphus”. Manusia menjadi seperti Sisyphus: terus mendorong batu ke atas gunung, hanya untuk melihatnya jatuh kembali. Oleh sebab itu, berkata “cukup” adalah tindakan sadar untuk membatasi kehendak. Ia bukan bentuk kekalahan, melainkan kemenangan atas hasrat yang menguasai. Dengan berkata cukup, manusia merebut kembali kendali atas dirinya dan memasuki wilayah kebijaksanaan.

Sedangkan dalam filsafat moral, pertanyaan tentang “cukup” menyentuh pada keadilan dan tanggung jawab sosial. Ketika seseorang memiliki lebih dari yang dibutuhkan, sementara yang lain kekurangan, maka akumulasi menjadi bentuk ketidakadilan. Filsuf seperti Emmanuel Levinas menekankan pentingnya wajah orang lain sebagai panggilan etis bagi kita. Kehadiran yang lain menuntut kita untuk membatasi diri, untuk berkata cukup. Oleh sebab itu dalam konteks ini, “cukup” menjadi wujud kepekaan etis terhadap dunia. Ia menolak kerakusan dan mendorong distribusi yang adil. Dalam dunia yang dilanda krisis ekologis dan kesenjangan sosial yang akut, “cukup” adalah seruan revolusioner. Ia bukan sekadar ajakan untuk hidup sederhana, tetapi panggilan untuk bertindak secara bertanggung jawab.

Filsuf Epictetus dan Seneca bahkan lebih tegas berkata bahwa: kebahagiaan sejati lahir dari penguasaan diri. Mereka percaya bahwa orang yang mampu berkata cukup adalah orang yang paling merdeka. Kekayaan tidak menjamin kebebasan; pengendalian hasratlah yang membawa ketenangan batin. Dengan demikian, “cukup” bukan kekurangan, tetapi kekuatan batin yang luhur.

Manusia, meskipun memiliki kehendak dan akal budi, tetaplah makhluk yang terbatas. Ia tidak abadi, tidak mahakuasa, dan tidak serba tahu. Namun, modernitas sering membangun narasi bahwa manusia bisa melampaui batas-batas ini: hidup lebih lama, lebih pintar, lebih cepat, lebih kaya. Transhumanisme bahkan bercita-cita menghapus kematian. Tetapi di balik semua ini, muncul pertanyaan eksistensial: apakah hidup tanpa batas itu benar-benar hidup manusiawi. Pertanyaan besar ini belum terjawabkan sampai tulisan ini diluncurkan.

Martin Heidegger dalam Being and Time berbicara tentang konsep “menjadi menu menuju kematian.” Artinya, kesadaran akan kematian memberi makna pada hidup. Justru karena hidup terbatas, maka ia berarti. Maka berkata cukup adalah bentuk penerimaan akan kefanaan. Itu bukan sikap pasif, tetapi keberanian untuk mengakui batas dan hidup secara otentik dalam bingkai batas itu. Oleh sebab itu “Cukup” dalam konteks ini adalah pengakuan akan kemanusiaan kita. Kita tidak bisa memiliki segalanya, tidak bisa menjadi segalanya. Dan itu tidak masalah. Karena makna hidup tidak terletak pada banyaknya hal yang kita capai, tetapi pada cara kita hidup dan mencintai di tengah keterbatasan itu. “Cukup” adalah jembatan menuju kontemplasi. Ia mengajarkan bahwa tidak semua hal perlu dikejar. Ada kebahagiaan dalam diam, dalam keberadaan itu sendiri. Ketika manusia mampu berkata cukup, ia tidak hanya menguasai dunia, tetapi juga menguasai dirinya.

Pada budaya kontemporer yang dibentuk oleh logika pasar dan konsumsi. Dari iklan, media sosial, hingga budaya kerja, semuanya mendorong manusia untuk merasa kurang, untuk terus membeli, bekerja, dan berprestasi. Dalam kondisi ini, “cukup” dianggap sebagai tindakan subversif. Ketika seseorang berkata cukup terhadap jam kerja yang tidak manusiawi, ia sedang memperjuangkan martabat. Ketika seseorang berkata cukup terhadap gaya hidup konsumtif, ia sedang menyatakan nilai-nilai alternatif. Dalam masyarakat yang terus meneriakkan “lebih, lebih, lebih”, berkata cukup adalah bentuk perlawanan budaya.

Filsafat manusia mengajarkan bahwa kita tidak hidup sebagai individu terpisah, tetapi sebagai bagian dari komunitas. Oleh karena itu, pilihan untuk berkata cukup juga berdampak sosial. Ia bisa menjadi gerakan bersama untuk menata ulang nilai-nilai hidup kita: dari kompetisi ke kolaborasi, dari keserakahan ke kepedulian.

Banyak diantara kita mengira bahwa kebebasan adalah kemampuan untuk memilih tanpa batas. Namun, kebebasan sejati bukanlah terletak pada jumlah pilihan, tetapi pada kemampuan untuk mengatakan tidak. Dalam hal ini, berkata cukup adalah bentuk tertinggi dari kebebasan. Manusia yang mampu berkata cukup adalah manusia yang bebas dari ketergantungan, dari ilusi, dari dorongan eksternal. Ia telah sampai pada titik di mana makna hidup tidak lagi ditentukan oleh apa yang dimiliki, tetapi oleh siapa ia menjadi. Di sinilah letak kedewasaan eksistensial.

Dalam dunia yang bergerak cepat seperti saat ini, di mana keserakahan dirayakan dan kesederhanaan diabaikan, berkata cukup adalah tindakan radikal. Ia adalah bentuk kejujuran terdalam terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, dan terhadap dunia. Ia bukan pengingkaran terhadap potensi manusia, tetapi pengakuan bahwa potensi itu mesti dijalankan dalam batas-batas yang manusiawi. Pada akhirnya, mungkin pertanyaan yang paling manusiawi bukanlah “apa lagi yang bisa saya dapatkan”, tetapi “apa yang benar-benar penting untuk saya jaga” Dan di sanalah, di tengah kesadaran itu, kita mungkin akan menemukan bahwa hidup ini, dengan segala keterbatasannya, sudah cukup. Salam Waras (SJ)

Editor: Gilang Agusman